Kecurangan pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 mulai mendapati sorotan sekalipun belum memasuki masa kampanye. Bahkan, praktik lancung itu disebut-sebut dilakukan pembantu Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Ini seperti yang dituduhkan Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar Pranowo-Mahfud MD kepada Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang (Wamen ATR), Raja Juli Antoni, dan Wamen Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDTT), Paiman Rahardjo. Raja Juli disorot karena diduga mengampanyekan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka di sela-sela kunjungan kerja ke NTT, sedangkan Paiman disinyalir memimpin rapat kemenangan Prabowo-Gibran.
"Menurut saya, tidak boleh menteri kampanye untuk partai atau calon-calon yang lain. Nah, menurut saya, ini dua hal yang sangat kasat mata sudah diberitakan di media," tutur Deputi Hukum TPN Ganjar-Mahfud, Todung Mulya Lubis, pada Rabu (15/11) lalu.
Ia juga mempersoalkan pencopotan baliho Ganjar-Mahfud di sejumlah daerah. "Pada sisi lain, kita juga lihat ada pencopotan baliho-baliho di beberapa tempat."
Potensi kecurangan pada Pemilu 2024 juga dideteksi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Deputi Koordinator KontraS, Andi Muhammad Rezaldy, mengatakan, ada sekitar 7 manuver Jokowi yang menunjukkan keberpihakannya kepada kandidat tertentu, seperti dukungan politik, mengaku akan cawe-cawe, dan menyatakan hanya akan ada 2 pasangan calon (paslon) yang berkontestasi.
Dilakukan "ordal"
Sementara itu, aktivis perempuan, Ririn Sefsani, mengungkapkan, situasi menjelang pemilu semakin memperjelas Indonesia sedang tidak baik-baik saja bahkan terkesan horor. Itu terindikasi dengan kecurangan oleh orang dalam (ordal), yakni penyelenggara pemilu. Akibatnya, ruang masyarakat untuk memilih jagoannya semakin menyempit.
"Horornya diindikasikan dalam konteks pemilu adalah ada potensi kecurangan itu, tidak hanya atau bisa diduga bisa juga dilakukan oleh penyelenggara," katanya, dalam deklarasi JagaPemilu di Jakarta, Selasa (21/11).
Ririn mengingatkan, ia dan teman-temannya melalui JagaPemilu tak hanya ingin menjadi pengawas, tetapi juga menegaskan kepada penyelenggara agar tidak membelokkan demokrasi. Selain itu, melakukan pendidikan politik kepada masyarakat.
"Kami juga ingin mengatakan kepada penyelenggara, jangan main-main pada rakyat. Ada kami yang mengawasimu, yang memastikan bahwa demokrasi kita tidak dibelokkan," tegasnya.
Ririn dan beberapa aktivitas lainnya dalam JagaPemilu, seperti eks komisioner KPK, Erry Riyana Hardjapamekas, dan mantan Koordinator BP ICW, Luky Djani, meminta aparat negara profesional selama pemilu. Dengan begitu, menghapus isu ketidaknetralan perangkat negara.
Kecemasan dunia usaha
Kekhawatiran terjadinya kecurangan pada Pemilu 2024 juga mendapatkan atensi dari dunia usaha. Bekas Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Antonius Joenoes Supit, menyampaikan, stabilitas ekonomi dan dunia usaha bisa lahir dari pemilu yang jujur dan adil.
Ia menerangkan, pemilu yang jujur dan adil akan melahirkan pemerintahan yang kokoh karena keabsahannya tidak diragukan. Dus, menerbitkan kebijakan yang kondusif untuk dunia usaha maupun perekonomian.
"Kita membutuhkan pemerintah yang legitimate dan kokoh sehingga bisa membuat kebijakan-kebijakan yang nantinya kondusif buat dunia usaha dan perekonomian. Nah, itu hanya akan didapatkan dengan pemilu yang jujur dan adil," tuturnya.
"Jadi, legitimasinya yang penting. Sebab, kalau tidak legitimate, itu nanti enggak kokoh, kan? Lantas, yang dipertaruhkan ekonomi," imbuh Anton Supit, sapaannya. Inilah yang melatarbelakangi ia mendukung gerakan JagaPemilu.
Anton melanjutkan, pengusaha tidak memusingkan siapa paslon presiden dan wakil presiden (wapres) yang menang pada Pemilu 2024. Katanya, pelaku usaha hanya berharap kontestasi berlangsung secara jujur dan adil.
"Bahwa yang mau menang itu A, B, C, [atau] D, ya, itu pilihan rakyat sepanjang dilakukan dengan jurdil. Kalau terjadi kecurangan-kecurangan, pasti ada yang dirugikan, berkepanjangan masalahnya. Itu persoalannya dari perspektif pengusaha," urainya.
Di sisi lain, Anton enggan blak-blakan apakah kecurangan pemilu sudah terjadi atau belum. Namun, ia secara diplomatis mengakui ada tanda-tandanya.
"Ya, kalau kita lihat beginilah, kalau kita, ikutin media sajalah. Saya kira, kalian lebih paham. Itu, kan, sudah mulai terbaca. Artinya, jangan sampai terjadi lagi. Pemilu itu, kan, tidak hanya pencoblosan, [tetapi] mulai dari awal: kampanye dan lain-lain. Nah, ini yang harus adil dan jujur," ungkapnya.