Kejar tayang proyek gasifikasi batu bara
Pemerintah tengah menggenjot proyek hilirisasi batu bara, salah satunya melalui gasifikasi. Langkah ini selain berguna untuk meningkatkan nilai tambah juga untuk menjawab respons atas senjakala komoditas batu bara.
Proses konversi batu bara menjadi produk gas yang dapat digunakan untuk bahan bakar maupun bahan baku industri kimia rencananya akan menghasilkan berbagai produk seperti Dimethyl Ether (DME) dan methanol.
Pada proyek ini, produk DME dan methanol bisa digunakan untuk mensubstitusi bahan bakar minyak (BBM), bahan bakar gas (BBG), dan bahan bakar baku industri kimia. Ujungnya, substitusi itu akan mengurangi impor.
Salah satu proyek gasifikasi batubara yang sedang digarap PT Bukit Asam Tbk (PTBA) bersama dengan PT Pertamina (Persero), dan Air Product, diproyeksikan akan mulai beroperasi pada kuartal-II tahun 2024. Perjanjian Kerja Sama ini sudah ditandatangani pada 11 Februari 2021 lalu.
DME yang menjadi produk dari proyek gasifikasi PTBA-Pertamina ini, nantinya akan digunakan untuk mengganti Liquified Petroleum Gas (LPG). Hal ini seiring dengan meningkatnya kebutuhan LPG yang berdasarkan data Kementerian ESDM, 75-78% konsumsi LPG dalam negeri berasal dari impor.
Kementerian ESDM mencatat hingga saat ini proses proyek gasifikasi PTBA sedang dalam tahap finalisasi kajian dan skema subsidi DME untuk subsidi LPG. Skema bisnis proyek juga masuk tahap penyelesaian. Proyek ini ditargetkan menghasilkan DME hingga 1,4 juta ton/tahun.
Ada pula proyek gasifikasi methanol oleh PT KPC yaitu Bumi Resource, Ithaca Group dan Air Product. Proyek yang juga sudah ditetapkan sebagai proyek strategis nasional ini ditargetkan beroperasi pada 2024.
PT KPC kini dalam status finalisasi FS (feasibility study/studi kelayakan) dan detail proyek. Pada Mei 2021 nanti, proyek ini ditargetkan sudah mulai masuk tahap konstruksi.
Sama seperti PT KPC, proyek gasifikasi methanol juga akan dijalankan oleh PT Arutmin Indonesia pada tahun 2025. Berlokasi di IBT terminal, Pulau Laut Kalimantan Selatan, proyek ini disinyalir dapat memproduksi sebanyak 2,8 juta ton methanol per tahun. Sampai saat ini, status dari proyek ini adalah finalisasi kajian (pra-FS).
Tidak hanya itu, PT Adaro Energy sekarang juga sedang melakukan kajian dan penjajakan kerja sama dengan PT Pertamina (Persero) dalam gasifikasi batu bara. Penjajakan itu meliputi, kajian volume, pasar, hingga harga dari proyek gasifikasi.
Head Of Corporate Communication Adaro Febriati Nadira menjelaskan kerjasama Adaro dan Pertamina ini masih dalam tahap langkah awal untuk mengembangkan gasifikasi batubara. Aksi korporasi ini dilakukan sebagai upaya untuk mendukung upaya pemerintah dalam program peningkatan nilai tambah batu bara.
"Jadi kita menunggu nanti hasil kajiannya," ujar Febriati kepada Alinea.id, Senin (22/3).
Potensi gasifikasi
Berdasarkan paparan Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin, pemerintah merencanakan produksi batu bara bisa mencapai 678 juta ton pada 2040. Adapun jatah ekspor diperkirakan sebanyak 403 juta ton. Sementara saat ini, kebutuhan dalam negeri sekitar 275 juta ton dan kebutuhan gasifikasi sekitar 32,4 juta ton.
Menurut Ridwan, angka tersebut menggambarkan produksi batu bara dalam negeri masih akan cukup banyak dan sebagian besar penggunaannya bisa digunakan di pasar domestik.
"Gasifikasi akan meningkat, walaupun harus kita upayakan lebih besar dari tahun ke tahun," kata Ridwan dalam 'Bimasena Energy Dialogue 4', Jumat (19/03).
Dalam rentang tahun 2020 hingga 2040, Ridwan memproyeksikan, batu bara paling besar produksinya terjadi pada tahun 2030 yaitu sekitar 684 juta ton. Estimasinya, proyeksi ekspornya sebanyak 416 juta ton, jatah domestik 269 juta ton, dan gasifikasi 26,6 juta ton.
Untuk tahun 2021 ini, pemerintah menargetkan produksi batu bara di level 550 juta ton, sama seperti tahun lalu. Meski begitu, realisasi produksi tahun lalu lebih tinggi 10% menjadi 564 juta ton. Menurutnya, target produksi per tahun bisa saja berubah. Terlebih, forecast produksi tahun ini mencapai 591 juta ton.
"Tahun ini kita antisipasi dinamika, jika diperlukan dan bawa manfaat negara, angka 550 juta ton ini bisa berubah. Tahun ini (jatah) untuk domestik target 137 juta ton yang sebagian besar untuk listrik PLN dan mitranya sehingga dinamika ini akan kita antisipasi juga," kata dia.
Prediksi Ridwan, produksi batu bara akan bisa menurun hingga 90% pada tahun 2050. Kondisi ini seiring pula dengan perkembangan dunia internasional yang berusaha mengurangi penggunaan energi kotor seperti batu bara. Imbas permintaan produksi yang merosot ini bisa menyebabkan produksi pun anjlok.
Jika ini terjadi, efek gandanya juga bisa berdampak terhadap perekonomian nasional. Termasuk terkikisnya lapangan pekerjaan.
"Ini acuan dunia saat ini, secara umum di 2050 dunia akan turunkan permintaan batu bara 40% saat ini. Inilah yang mendasari kita buat skenario ke depan," jelasnya.
Pemerintah memang baru saja mengesahkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral. Aturan ini merupakan peraturan pelaksana UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja.
Guna menjalankan proyek gasifikasi, pemerintah lantas menebar sejumlah insentif. Tujuannya tidak lain, untuk mengejar target gasifikasi oleh para perusahaan dalam beberapa tahun mendatang.
Misalnya saja, insentif di sisi hulu yaitu pemberian royalti 0% serta formula harga khusus batu bara untuk proyek hilirisasi batu bara. Selain itu, di midstream ada pula tax holiday, pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan pembebasan PPN EPC (Enginering Procurement Construction) kandungan lokal. Di hilir, ada insentif harga patokan batu bara dan pengalihan sebagian subsidi LPG ke DME.
"Lalu, yang paling penting adalah kepastian offtaker (pembeli)," jelasnya.
Lebih mahal ketimbang impor
Menyoal 'kejar tayang' gasifikasi batu bara ini, Ketua Indonesian Mining & Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo mengatakan proyek ini terkesan terburu-buru karena memang akibat keterlambatan pemerintah dalam mendorong upaya peningkatan nilai tambah.
"Melihat kondisi bisnis internasional. Memang kita terjebak mundur-mundur," ujar Singgih ketika dihubungi Alinea.id, Minggu (21/3).
Kebijakan gasifikasi juga didorong oleh tuntutan pengajuan perpanjangan izin operasional batu bara yang mensyaratkan adanya peningkatan nilai tambah, termasuk melalui gasifikasi. Selain itu, dampak pendapatan perusahaan yang akan berkurang dengan terhambatnya izin ini juga bisa jadi ancaman.
"Mau tidak mau kan perusahaan, kalau tidak diperpanjang kan berhenti, kendaraan untuk menghasilkan profit kan enggak ada," katanya.
Meski begitu, dia pun bilang, proyek gasifikasi batu bara ini, jika berhasil akan bisa menghasilkan pengurangan importasi serta menimbulkan multiplier effect bagi perekonomian.
Terkait untung-rugi proyek gasifikasi batu bara yang diwacanakan untuk substitusi impor LPG, Peneliti dari Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), Elrika Hamdi menilai hal tersebut salah satunya bergantung pada harga LPG.
Pasalnya, LPG sebagai komoditas memiliki harga yang fluktuatif mengikuti harga dunia. Sehingga, bisa saja dalam bulan ini untung, namun bisa juga buntung kala harga LPG ternyata anjlok sehingga produk DME batu bara akan tampak lebih mahal.
"Selain itu, punya risiko currency exchange karena selalu bergantung ke dolar. Dia fluktuatif dan volatile," ujar Elrika kepada Alinea.id, Selasa (23/3).
Sebelumnya, Analis keuangan energi Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) Ghee Peh sempat menyebutkan bahwa gasifikasi batubara menjadi DME jauh lebih mahal ketimbang biaya impor elpiji.
Dia bilang, butuh biaya besar untuk menghilangkan kadar air yang terdapat di dalam batu bara berkalori rendah yang menjadi bahan baku utama dalam proyek gasifikasi batubara di Indonesia. Dari kajian IEEFA terakhir, biaya produksi DME per ton bisa mencapai US$470, lebih tinggi dari impor elpiji saat ini yang harganya US$365 per ton. Dus, harga DME harus lebih murah 30% dari harga elpiji agar bisa bersaing.
”Apabila di Indonesia memproduksi 1,5 juta ton DME per tahun, akan ada potensi kerugian US$377 juta per tahun,” ujarnya dalam webinar mengenai riset IEEFA tentang proyek hilirisasi batubara, Selasa (2/3).
Namun begitu, Elrika menegaskan bahwa kondisi harga LPG tersebut dihitung dari periode per Oktober 2020. Artinya, ada dinamika harga tiap bulan hingga periode Maret 2021 ini. Meskipun, trennya terbilang mengalami penurunan karena banyaknya produksi gas.
"Keuntungan dan kerugian proyek (gasifikasi) ini sangat bergantung pada harga LPG pada saat itu, dibandingkan dengan impor LPG. Karena kita membandingkan dengan produk komoditi pasti fluktuatif," tegas Elrika.
Di samping soal harga, hal lain yang harus menjadi perhatian menurut Elrika ialah soal kejelasan perjanjian kerja sama dalam proyek gasifikasi batu bara ini. Bukan saja soal risiko pinjaman untuk operasional, namun juga kepastian volume hingga harga.
"Apakah subsidi (insentif gasifikasi dibanding impor LPG) membengkak atau tidak? Belum tahu, karena jenis kontraknya belum ditentukan sama mereka. Karena detail yang ada dikontrak yang akan menentukan seberapa banyak risiko yang akan ditanggung oleh pemerintah, Pertamina, dan si pembuat DME," kata dia.
Elrika juga menyoroti 'kejar tayang' proyek gasifikasi batu bara untuk upaya diversifikasi yang kini semakin surut. Utamanya, kala pasar global saat ini sudah mulai berpaling dari batu bara dan beralih ke energi yang lebih bersih.
Menurut Institute for Energy Economics and Financial Analysis, hingga Maret 2021, sekitar 160 institusi keuangan bank dan nonbank telah mengumumkan divestasi terhadap perusahaan tambang batubara dan pembangkit listrik berbasis batubara. Pasalnya, perusahaan tambang itu menghasilkan emisi karbon dioksida yang tinggi dan gangguan kesehatan.
Sehingga, mau tak mau, Indonesia kini berupaya untuk mencari pasar domestik. "Permasalahannya, domestic market ini diciptakan untuk produk yang sudah ditinggalkan oleh dunia. Dunia itu sudah menuju transisi energi ke lebih renewable, sustainable, green," imbuhnya.
Sementara itu, sektor batu bara ini memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia. Tak terkecuali ekspornya yang masih mendominasi pendapatan negara. Namun di sisi lain, keterkaitan politiknya juga kental.
Kita tahu, di masa bersamaan dengan proyek penggenjotan gasifikasi ini, sejumlah perusahaan tambang batu bara juga sedang habis masa kontrak. Menurut Elrika, ini bisa jadi ada keterkaitan.
"Itu yang membuat semua keputusan di Indonesia itu, akhirnya semua istilahnya lebih ke memberikan insentif ke sana (batu bara)," pungkasnya.