Kemajuan aksi perubahan iklim Indonesia: Leading by examples
Indonesia terus menunjukkan komitmennya untuk dapat berkontribusi dalam upaya global pengendalian perubahan iklim, dengan tetap menjaga kepentingan bangsa Indonesia. Kerja sama pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan untuk menguatkan aksi nyata dan memimpin dengan contoh (leading by examples) dalam penanganan perubahan iklim dan pencapaian target Nationally Determined Contribution (NDC) disebut telah membuahkan berbagai capaian.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya menyebut tingkat pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) di tahun 2022 sebesar 1.220 Mton CO2e yang diperoleh dari masing-masing kategori atau sektor yakni energi sebesar 715,95 MtonCO2e, proses industri dan penggunaan produk sebesar 59.15 Mton CO2e, dan pertanian sebesar 89,20 Mton CO2e. Kemudian, kehutanan dan kebakaran gambut sebesar 221,57 Mton CO2e dan limbah sebesar 221,57 Mton CO2e. Apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya (2021), total tingkat emisi naik sebesar 6,9 %. Meskin demikian, tingkat emisi tahun 2022 apabila dibandingkan dengan business as usual (BAU) pada tahun yang sama menunjukkan pengurangan 42%.
Demikian juga untuk keberhasilan di sektor lain seperti FOLU (Forestry and Other Land Use). Dengan memperhatikan hasil permantauan perubahan tutupan hutan dari tahun 2020 dan 2021, angka deforestasi netto Indonesia tahun 2021-2022 mengalami penurunan sebesar 8,4 %. Apabila dilihat dari data series setiap periode pengamatan mulai periode tahun 1996-2000, besaran deforestasi dapat mengalami peningkatan atau pengurangan. Menteri Siti menjelaskan hal itu terjadi karena dinamisnya perubahan penutupan lahan akibat aktivitas manusia dalam memanfaatkan lahan sehingga mengakibatkan hilangnya penutupan hutan atau penambahan penutupan hutan karena penanaman.
“Sebagai gambaran umum, data deforestasi mulai periode tahun 1996-2000 hingga periode tahun pemantauan 2020-2021 menunjukkan deforestasi berhasil diturunkan pada titik terendah dalam 20 tahun terakhir yaitu pada angka 0,11 juta ha. Kemudian, data tahun 2022 menunjukkan angka deforestasi yang lebih menurun lagi hingga 104.000 hektare (ha) dan di tahun 2023 juga lebih menurun lagi,” ujarnya.
Lebih lanjut, Menteri Siti menyampaikan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) tahun 2023 berhasil ditekan lebih kecil dibandingkan tahun 2019 dengan pengaruh El-Nino yang hampir sama, bahkan kondisi 2023 lebih kering. Kondisi ini diantisipasi melalui berbagai upaya pencegahan karhutla sejak awal tahun dan secara konsisten dilakukan berbagai upaya untuk mencegah karhutla, mulai dari monitoring hotspot, penetapan kebijakan, aksi-aksi di lapangan baik aksi pencegahan, pemadaman, hingga penegakan hukum.
“Hal ini dapat menjadi indikasi adanya keberhasilan upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan yang efektif. Keberhasilan ini dicapai melalui keterpaduan dan kolaborasi para pihak dalam pengendalian karhutla,” katanya.
Indonesia juga berhasil memitigasi dampak El Nino sehingga jumlah hotspot dan luas karhutla tidak setinggi tahun-tahun sebelumnya. Luas karhutla pada tahun 2023 adalah 1.161.192 ha, sedangkan luas karhutla pada tahun 2019 adalah 1.649.258 ha. Penurunan luas karhutla jika dibandingkan tahun 2019 seluas 488.065 ha atau 29,59%.
Perbandingan total jumlah hotspot tahun 2019 dan 2023, berdasarkan Satelit Terra/Aqua (NASA) dengan confident level high 10.673 titik pada periode 2023, di 2019 sebanyak 29.341 titik.
Selain itu, sektor energi memiliki peran strategis dalam menciptakan lingkungan yang lebih baik melalui proses transisi energi, khususnya pengembangan Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan (EBTKE), rencana pengembangan PLT berbasis EBT pada Green RUPTL PLN 2021 hingga 2030 dengan mengacu Green RUPTL, pengembangan EBT akan menghasilkan total investasi sekitar US$55,18 miliar, membuka 281.566 lapangan kerja baru dan mengurangi emisi GRK sebesar 89 juta ton CO2e.
Menteri Siti mengatakan kinerja pengurangan emisi GRK Indonesia melalui REDD+ telah mendapatkan rekognisi internasional yang diwujudkan melalui pembayaran berbasis kinerja/Result-Based Payment (RBP). Pada saat ini Indonesia tercatat sebagai negara yang menerima RBP paling besar, dengan total komitmen RBP sebesar US$439,8 juta, di mana dari total komitmen tersebut Indonesia telah menerima pembayaran sebesar US$279,8 juta.
“Keberhasilan Indonesia dalam mengimplementasikan REDD+ dan menerima RBP telah direkognisi oleh UNFCCC dan menjadi contoh baik implementasi skema REDD+,” katanya.
Menteri Siti mengungkapkan berbagai keberhasilan di atas, tidak terlepas dari peran penting masyarakat yang secara partisipatif telah melakukan aksi iklim baik adaptasi maupun mitigasi perubahan iklim di tingkat tapak. Pada tahun 2023, ProKlim telah bertransformasi (rekonseptualisasi) menjadi Program Komunitas untuk Iklim (ProKlim).
“Dengan konsep yang baru diharapkan ProKlim dapat menjangkau kelompok yang lebih luas dan membuka peluang seluruh pihak untuk memberikan konstribusi lebih luas, seperti: komunitas sekolah, komunitas kampus, komunitas pesantren, komunitas penggiat lingkungan, dan komunitas lainnya,” ujarnya.
Keberhasilan negosiasi di tingkat global pun berperan penting bagi kemajuan aksi perubahan iklim Indonesia. Melalui diplomasi dan negosiasi, Indonesia memperjuangkan upaya pengendalian perubahan iklim di tingkat global. Partisipasi dan diplomasi Indonesia, melalui aksi nyata (leading by example) telah memberikan warna dan mempengaruhi hasil berbagai negosiasi isu perubahan iklim. Lebih lanjut, aksi-aksi nyata yang telah dilakukan Indonesia menunjukkan Indonesia lebih awal menginisasi beberapa aksi pengendalian perubahan iklim sebelum menjadi komitmen atau keputusan di tingkat global.
Tidak hanya di forum global, Indonesia juga berkontribusi dalam konteks regional khususnya ASEAN. Pada masa keketuaan ASEAN 2023, Indonesia telah menginisiasi tiga deliverables terkait pengendalian perubahan iklim, yakni ASEAN Joint Statement on Climate Change to the COP 28 UNFCCC (AJSCC); ASEAN Community-based Climate Action; dan ASEAN Co-ordinating Centre for Transboundary Haze Pollution Control (ACCTHPC).
Terlepas dari berbagai keberhasilan yang diraih, Indonesia terus melakukan upaya-upaya penguatan aksi perubahan iklim. Dalam upaya mendorong upaya pengurangan emisi gas rumah kaca, Indonesia telah memikirkan pemberian insentif kepada para pelaku aksi mitigasi melalui kebijakan Nilai Ekonomi Karbon (NEK), yaitu melalui Perdagangan Karbon. Indonesia juga telah mengimplementasikan Enhance Transparency Framework sebagai mandat artikel 13 Paris Agreement, yang antara lain membangun Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN-PPI) untuk merekognisi aksi-aksi yang telah dilakukan oleh stakeholders yang telah mengikuti metodologi dan aturan-aturan yang telah disepakati internasional. Melalui proses di SRN dapat diterbitkan Sertifikat Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (SPE-GRK) yang dapat diperjualbelikan sebagai bagian dari insentif kepada para pelaku aksi mitigasi.
Pemerintah Indonesia juga terus meningkatkan upaya penyadartahuan dan mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim kepada seluruh elemen masyarakat terkait dengan masalah Iklim dan karbon, seperti efisiensi energi, pengelolaan, dan mencegah kebakaran hutan dan lahan.
"Sangat diharapkan kepada masyarakat luas di tingkat tapak untuk menghindari terjadinya kebakaran hutan dan lahan yang akan berkontribusi besar terhadap pengurangan emisi gas rumah kaca.," ujarnya.
Untuk itu, lanjutnya, pemerintah melalui KLHK membangun dan menyediakan layanan publik berupa Rumah Kolaborasi dan Konsultasi Iklim dan Karbon (RKKIK) untuk meningkatkan literasi perubahan iklim dan kolaborasi antara para pemangku kepentingan.