Kembang kempis warteg: Sepi pembeli dan menunggak bayar kontrakan
Hamparan berbagai lauk pauk tersaji dalam nampan-nampan kecil. Dari balik kaca, pengunjung tinggal menunjuk hidangan apa yang akan ada di piringnya.
Begitulah warung tegal (warteg) mengemas bisnisnya. Warung yang identik dengan harga makanan murah ini diperkirakan mulai menginvasi kota besar seperti Jakarta di era 1960-an.
Kini, nasib warteg dipertaruhkan dampak pandemi. Sejak wabah Covid-19 melanda Indonesia, arus kas (cash flow) para pengusaha warteg kian tiris.
Bahkan, pandemi yang tak juga usai membuat usaha mikro kecil menengah (UMKM) warteg semakin sulit bertahan. Hal ini ditandai dengan tutupnya satu per satu warteg di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Bisnis makanan milik sejumlah pendatang asli Tegal dan Brebes ini pun makin di ujung tanduk.
Suratno, pemilik warteg yang akhirnya menutup satu-satunya sumber penghasilan yang dia miliki. Jumlah pelanggan warteg yang terletak di Jalan Raya Cilandak KKO, Ragunan, Pasar Minggu itu terus menyusut. Tentunya, pendapatan warteg pun kian merosot.
Pria asal Tegal ini mengaku susutnya jumlah pengunjung lantaran pekerja yang masuk kantor semakin berkurang. Warteg milik Ratno, sapaan akrabnya, memang berada di kawasan perkantoran. Berdasarkan pantauan Alinea.id, warteg Ratno dikelilingi beberapa kantor, di antaranya PT Trakindo Utama, PT Karya Mandiri, PT Citas Otis Elevator, hingga PT John Crane Indonesia.
“Kami enggak bisa berusaha kembali karena untuk omzetnya sangat drastis menurun dan enggak bisa nutup (modal) kembali. Enggak bisa buka kembali, karena selalu nombok (tambah untuk modal-red),” keluhnya, kepada Alinea.id, Selasa (2/2).
Kondisi serupa pun dialami juga oleh warteg-warteg lain di sekitar lokasi tersebut. Meski memang masih ada satu, dua warteg yang tetap bertahan.
“Kalaupun ada yang buka, itu buat bertahan hidup. Untuk menyimpan (pendapatan) ini susah sekali,” imbuhnya.
Dia mengisahkan penurunan pendapatan sebenarnya telah dirasakan sejak awal pandemi, saat pemerintah menerapkan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) pertama. Nyatanya, penurunan pendapatan terus berlanjut seiring PSBB yang diterapkan berjilid-jilid. Ditambah lagi kini ada penerapan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) untuk wilayah Jawa-Bali.
“Kalaupun mereka (para pegawai kantor) beraktivitas kembali, itu 25% dan itu juga mereka enggak keluar. Makan di dalam kantor, mereka lebih pilih online. Sedangkan saya belum kerja sama dengan GoFood sama Grab Food,” terangnya.
Sebelum menutup Warteg Nusantara Bahari miliknya itu, Ratno mengaku pendapatannya telah menurun 60% sampai 70%. Jika di masa normal ia biasa mengantongi penghasilan sekitar Rp2 juta per hari, kini penghasilannya hanya Rp500.000 sampai Rp600.000.
Ratno juga terpaksa menutup usaha yang telah dilakoninya lebih dari satu dekade itu karena tak lagi mampu membayar sewa tempat. Dia bilang, untuk biaya sewa saja, Ratno harus merogoh kocek Rp80 juta per tahun.
“Kami masih cari tempat yang masih bisa jalan. Artinya, ini kan memang terutama di lingkungan kantor yang terasa. Jadi kalau ada di lingkungan penduduk masih bisa eksis, walaupun turun enggak terlalu drastis,” urai laki-laki 57 tahun itu.
Sementara itu, untuk bertahan hidup, saat ini dirinya beserta keluarganya hanya mengandalkan sisa-sisa pendapatan dari hasil usaha warteg tersebut. Meskipun masih bisa mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, Ratno tetap tidak bisa berlama-lama menganggur. Ia harus segera mencari tempat baru untuk memulai kembali usaha wartegnya.
Sayangnya, sampai saat ini ia dan pengusaha-pengusaha warteg lain masih menunggu uluran tangan dari pemerintah. Pasalnya, ia mengaku kesulitan untuk mengajukan pinjaman kredit modal. Terlebih dengan banyaknya persyaratan yang diajukan oleh pemberi pinjaman, baik itu bank, pemerintah, maupun koperasi.
“Kalau memang pemerintah peduli dengan pengusaha-pengusaha warteg, permodalan yang dibutuhkan. Kalau bisa tolong dibantu untuk sewa sama biaya operasional untuk membuka kembali usaha warteg itu,” jelasnya.
Nasib serupa dialami pula oleh Ira Wahyuni. Pemilik Warteg Berkah Abu yang terletak di Cisauk, Tangerang Selatan itu terpaksa menutup wartegnya sejak September 2020 lalu. Alasannya pun tak jauh beda. Penurunan jumlah pembeli dan ketiadaan modal untuk bayar sewa tempat.
Ira bilang, selama pandemi usahanya itu hanya kedatangan paling banyak 7-8 pelanggan per hari. Sedangkan sebelumnya, pembeli yang datang bisa mencapai 20 orang, bahkan lebih.
“Itu saja biasanya cuma buat beli lauk,” katanya, kepada Alinea.id melalui sambungan telepon, Rabu (3/2).
Kala itu, dengan jumlah pembeli yang semakin menurun, Ira hanya dapat menggunakan pendapatannya untuk biaya makan sehari-hari. Sisanya akan kembali diputar untuk berbelanja bahan baku masakan. Tidak ada sedikit pun uang yang dapat ia tabung untuk melunasi biaya sewa tempat.
“Makanya, kemarin pas mau melunasi biaya sewa tempat pakai tabungan yang sudah ada dari hasil sebelumnya,” imbuh ibu dua anak itu.
Ira akhirnya memutuskan untuk pulang ke kampungnya di Kabupaten Tegal, Jawa Tengah. Namun sembari menunggu wabah mereda, ia masih menggantungkan harapan bisa kembali membuka usaha yang digelutinya sejak 2004 itu.
“Sekarang ya sudah lah, pulang kampung dulu, di sini kerja seadanya,” tutur wanita 53 tahun itu.
Imbas PSBB
Sementara itu, menurut Ketua Koordinator Komunitas Warung Tegal Nusantara (Korwantara) Mukroni, penutupan warteg akan semakin banyak terjadi pada tahun ini. Berdasarkan hitungannya, dari sekitar 40.000 warteg yang ada di wilayah Jakarta, Depok, Bogor dan Bekasi (Jabodetabek), setidaknya 50% di antaranya atau sekitar 20.000 pengusaha warteg terpaksa pulang kampung.
Menurutnya, penutupan warteg utamanya disebabkan oleh kebijakan PSBB yang ditetapkan pemerintah sejak awal pandemi. Lalu kini berlanjut dengan istilah PPKM yang mulai diberlakukan sejak Januari lalu. Aturan tersebut memaksa pengunjung warteg hanya dibatasi maksimal 25% dari jumlah normal.
Hal itulah yang membatasi orang-orang untuk makan di warung. “Karena orang makan di warteg kan juga ingin sambil nongkrong, ngobrol apa saja, mau politik, ekonomi, keluarga, sembako,” ujarnya kepada Alinea.id melalui sambungan telepon, Rabu (3/2).
Selain itu, penutupan warteg juga disebabkan oleh gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan dengan bisnis skala menengah hingga besar. Adanya PHK membuat jumlah karyawan yang datang ke kantor atau pabrik-pabrik semakin berkurang.
Ditambah lagi, daya beli masyarakat kelas menengah ke bawah juga terpukul akibat pandemi. Masyarakat dinilai semakin irit dalam membelanjakan uangnya, termasuk untuk pengeluaran makan.
“Informasi dari temen-temen, pelanggan ini sudah mulai pelit. Artinya mereka ini mengetatkan ikat pinggang. Yang tadinya makan ayam, sekarang mereka ya telur. Ada yang tahu tempe,” kisah Mukroni.
Karenanya, jika harga bahan makanan semakin meroket, Mukroni khawatir, pelanggan akan lebih pikir panjang untuk makan di warteg. Di sisi lain, pengusaha warteg pun tak bisa asal menaikkan harga makanan. Warteg juga tidak bisa menolak pengunjung yang ingin makan meski dengan budget minim.
“Kami enggak bisa juga menolak, kasian juga mereka,” ujar dia.
Dengan kondisi tersebut, omzet warteg saat ini menurun bahkan ada yang sampai 90%. Dari pendapatan semula per hari Rp3 juta, kini menjadi hanya Rp300.000.
“Selanjutnya, ini kan sudah setahun dan temen-temen banyak yang mau memperpanjang kontrakan. Ini beban juga,” jelas Mukroni.
Karenanya, untuk menghindari agar warteg yang gulung tikar tak semakin banyak, pihaknya meminta bantuan pemerintah. Misalnya dengan memberikan stimulus berupa restrukturisasi kredit dan tambahan plafon modal usaha, hingga meningkatkan kembali daya beli masyarakat dengan memberikan bantuan langsung tunai (BLT).
Mukirno bilang, saat ini pemerintah memang telah memberikan fasilitas berupa restrukturisasi kredit. Namun, fasilitas tersebut diberikan tanpa menambah lagi plafon modal usaha bagi para pengusaha kecil. Selain itu, lanjutnya, restrukturisasi kredit juga hanya menyasar pengusaha skala mikro seperti pedagang bakso keliling.
Padahal, para pengusaha warteg sangat membutuhkan tambahan plafon pinjaman yang nantinya dapat digunakan untuk membayar sewa tempat dan modal awal membuka kembali warung makan.
“Barangkali juga ada kompensasi listrik untuk yang daya 900 (VA) ke bawah. Terus juga pemerintah, baik itu Kemenkop atau stakeholder lain juga harus turun tangan bareng untuk mengatasi usaha kecil yang banyak tutup ini,” tegasnya.
Bantuan pemda
Dihubungi terpisah, Ekonom Indef Eko Listyanto mengatakan, bantuan untuk para pengusaha warteg seharusnya juga diberikan oleh pemerintah daerah. Khususnya DKI Jakarta yang memiliki banyak warteg. Salah satunya dengan mengalokasikan anggaran tersendiri untuk membantu bisnis UMKM ini.
Terlebih, perputaran uang di daerah yang disumbang oleh warteg cukup besar. Eko mencontohkan, jika dalam satu bulan satu warteg dapat meraup omzet hingga Rp300 juta, maka potensi dana yang hilang akibat 20.000 warteg tutup bisa mencapai Rp6 triliun per bulan.
“Itu baru baru di Jabodetabek, belum kawasan lain,” tutur dia, saat berbincang dengan Alinea.id, Selasa (2/2),
Selain itu, Eko juga menyarankan agar pemerintah memperluas penyaluran bantuan melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Dus, diharapkan akan ada bantuan tersendiri yang ditujukan untuk pelaku UMKM, khususnya pengusaha-pengusaha warteg.
“Jadi bukan hanya usaha kecil atau skala mikro. Tapi mungkin bisa ke warteg-warteg yang hampir tutup,” lanjutnya.
Di sisi lain, usaha untuk membangkitkan kembali usaha warteg yang hampir tutup harus dilakukan pula oleh pengusaha warteg itu sendiri. Salah satunya dengan melakukan transformasi hingga inovasi pada model bisnis warteg.
Direktur Usaha Kecil Menengah (UKM) Center Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Zakir Machmud mengatakan, penurunan pendapatan sudah pasti akan dialami oleh para pengusaha warteg di masa pandemi Covid-19. Sebab, jika melihat model usahanya, warteg biasanya mengandalkan pembelian langsung.
Artinya, para pelanggan harus datang ke tempat untuk makan maupun hanya sekadar memesan makanan untuk kemudian dibawa pulang. Pembayaran pun biasanya juga dilakukan dengan menggunakan uang tunai.
Sementara saat pandemi, masyarakat dibatasi mobilitasnya. “Jadi kenapa banyak yang tumbang, ya saya enggak heran. Kebijakan itu perlu dilakukan untuk mencegah penyebaran pandemi,” jelasnya kepada Alinea.id, Rabu malam (3/2).
Karenanya, salah satu cara agar warteg dapat tetap bertahan dari hantaman pandemi adalah dengan melakukan transformasi digital. Harapannya, dapur pengusaha-pengusaha warteg dapat tetap mengepul dan konsumen pun juga tetap bisa mendapatkan makanan dengan harga terjangkau.
“Karena kita juga bisa ketemunya lewat digital. Tapi bagaimana caranya? Macam-macam, kan bisa lewat GoFood, Grab Food, bisa dia punya IG (Instagram) atau FB (Facebook) sendiri, atau malah punya website sendiri,” tuturnya.
Guyuran insentif
Sementara itu, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengklaim, selama ini pemerintah telah memiliki program khusus untuk membantu pengusaha mikro dan menengah guna menghadapi pandemi.
Bahkan, pada 2020, pemerintah melalui Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop UKM) telah menyalurkan Bantuan Presiden Produktif yang bertujuan untuk memperkuat permodalan dan arus kas pengusaha mikro.
Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara bilang, setidaknya 12 juta pengusaha mikro telah menerima bantuan yang disalurkan melalui perbankan ini. Di samping itu, pemerintah juga memiliki program subsidi bunga kredit usaha mikro.
“Jadi, bunga kredit dari para pengusaha mikro dibayari APBN,” katanya, di Jakarta, Sabtu (30/1).
Pada lain kesempatan, Direktur Jenderal Anggaran (DJA) Kemenkeu Askolani mengatakan, pemerintah di tahun ini memastikan akan memberikan bantuan kepada para pengusaha warteg yang terancam gulung tikar. Saat ini pemerintah membahas konsep insentif yang akan diberikan kepada para pelaku usaha kelas menengah hingga kecil ini.
Rencananya, insentif yang diberikan akan berupa KUR (Kredit Usaha Rakyat) dan bantuan non-KUR. “Desainnya sedang disiapkan oleh Kemenko Perekonomian,” ujarnya singkat, kepada Alinea.id, Selasa (2/2).
Di sisi lain, Kemenkop UKM tengah mengumpulkan data warteg, baik yang telah terdampak pandemi maupun yang masih bisa bertahan. Dengan adanya data yang akurat, pemerintah dapat mengukur secara pasti kebutuhan bantuan bagi pengusaha kuliner tersebut.
Selain itu, Kemenkop UKM juga mendorong agar pengusaha warteg dapat berkolaborasi dengan pedagang kaki lima untuk meningkatkan kemampuan sumber daya manusia (SDM). “Pemberdayaan pelaku usaha dapat difasilitasi lewat program bapak asuh yang melibatkan BUMN dan atau swasta,”jelas Deputi Bidang Usaha Mikro Kemenkop UKM Eddy Satriya kepada Alinea.id, Rabu (3/2).
Pada akhirnya, bapak asuh dapat menghubungkan para pengusaha warteg dengan akses pasar dalam program sosial mobilisasi makan gratis yang dibiayai pemerintah atau swasta.