Ratifikasi perjanjian dagang internasional di lingkup ASEAN dan ASEAN+1 FTA yang finalisasinya baru saja dibahas oleh Kementerian Perdagangan bersama Komisi VI DPR RI pada Rabu (7/11) ternyata telah mencapai titik terangnya.
Menurut Sekretaris Jenderal Kemendag Karyanto Suprih, ratifikasi perjanjian dagang internasional tersebut sudah ditandatangani secara resmi oleh Presiden Joko Widodo.
"Ratifikasi tersebut sudah siap dan tadi pagi sudah ditandatangani oleh Presiden Jokowi," ujar Karyanto dalam diskusi media di Hotel Artotel, Jakarta Pusat, Selasa (13/11).
Sebelumnya, Kemendag bersama Komisi VI DPR RI membahas tahap akhir dari rencana ratifikasi enam Perjanjian Perdagangan Internasional di lingkup ASEAN dan ASEAN Mitra.
Enam perjanjian tersebut meliputi, ASEAN Agreement on Medical Device Directive (AMDD), First Protocol to Amend the ASEAN-Australisa-New Zealand FTA (AANZFTA). Lalu, Third Protocol to Amend the Agreement on Trade in Goods under ASEAN-Korea FTA (AKFTA), Protocol to Amend the Framework Agreement under ASEAN-China FTA (ACFTA).
Kemudian, Protocol to Implement the 9th Package of ASEAN Framework Agreement on Services (the 9th AFAS Package), dan Agreement on Trade in Service under the ASEAN-India FTA (AITISA).
Seiring dengan ditandatangani perjanjian dagang internasional oleh Presiden Jokowi, maka status perjanjian itu kini dapat segera diundangkan.
"Setelah diratifikasi jadi Perpres, maka tinggal diundangkan ke Kementerian Hukum dan HAM," tambahnya.
Sebelumnya, Anggota Komisi VI DPR RI Lili Asdjudiredja mengaku khawatir, Ratifikasi Perjanjian Perdagangan Internasional dapat berdampak negatif dan menjadi ancaman jika tidak dilakukan secara hati-hati. Menurutnya, ratifikasi perdagangan itu tidak boleh berdampak negatif untuk perdagangan Indonesia. Untuk itu, ia mengusulkan agar Perjanjian Perdagangan Internasional diatur dalam aturan pemerintah, sehingga apabila suatu waktu terjadi sesuatu dapat segera dilakukan perubahan.
“Saya condong kepada Peraturan Pemerintah (PP). Karena kalau undang-undang itu prosesnya akan lama. Kalau PP itu perubahannya bisa segera. Umpamanya suatu waktu terjadi, kan bisa itu dilaksanakan perubahan di dalam aturan pemerintah,” kata Lili seperti dilansir dpr.go.id.