Selama pandemi Covid-19 berlangsung, tingkat emisi CO2 global sempat melandai akibat penurunan aktivitas ekonomi dan mobilitas manusia. Namun, perlahan-lahan emisi merangkak naik seiring longgarnya kebijakan mobilitas di beberapa negara. Hal tersebut disampaikan oleh analis kebijakan ahli madya BKF Kemenkeu Noor Syaifudin, dalam keterangan tertulisnya, Jumat (30/4).
Meningkatnya kadar emisi tersebut perlu menjadi perhatian bersama. Bahwa, di tengah tantangan menghadapi pandemi yang belum kunjung usai, perekonomian yang perlahan memasuki fase pemulihan rupanya mendorong kembali tingkat emisi karbon global.
“Pemerintah tidak boleh lengah karena risiko dari kenaikan laju emisi karbon dapat mengancam kesinambungan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat melalui dampak perubahan iklim,” katanya.
Hal tersebut, menyadarkan negara di dunia bahwa aspek lingkungan penting dalam pembangunan. Konsep build back better dan green recovery dirasa perlu dilakukan untuk menghindari dampak yang tidak diharapkan atas perubahan iklim.
Diketahui, pemerintah sendiri memang telah berkomitmen soal perubahan iklim dengan menyepakati Nationally Determined Contribution (NDC). Indonesia, dalam dokumen NDC itu, disebut siap menurunkan emisi karbon sebesar 29% dengan skema business as usual pada 2030, atau 41% dengan bantuan internasional.
Butuh dana yang besar untuk mencapai target NDC. Pemerintah sendiri telah melakukan climate budget tagging untuk mengetahui kapasitas fiskal sampai dengan 2030 dalam upaya mendorong komitmen terkait perubahan iklim.
“Dibutuhkan Rp3.779,63 triliun jika dengan PLTSa (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah) dan Rp3.776,52 triliun jika dengan RDF (Refuse-Derived Fuel),” ujar Noor Syaifudin.
Dia pun menambahkan, dilihat dari segi fiskal APBN dapat digunakan sebagai instrumen utama untuk mendorong transformasi menuju green economy (ekonomi hijau).
“Pendapatan negara dapat digunakan untuk menjadi stimulan berbagai pengembangan energi baru terbarukan. Belanja dapat diarahkan mendorong belanja pemerintah yang rendah karbon dan berdaya tahan iklim," ucapnya.
Sementara itu, Koordinator koalisi masyarakat sipil Generasi Hijau Misbah Hasan menyebut, penting bagi pemerintah memasukan kerangka green stimulus fiskal ke dalam APBN 2022.
Menurut Misbah Hasan, ada tiga sektor penting yang perlu diberi stimulus APBN untuk memulihkan ekonomi hijau, adalah sektor energi, pertanian, dan persampahan. Tiga sektor tersebut akan menyumbang penurunan emisi yang signifikan. Selain itu bahkan terdapat potensi ekonomi dan penciptaan lapangan kerja bagi masyarakat banyak.
“Koalisi Generasi Hijau sudah punya studi atas tiga sektor itu yang terus dimatangkan. Di sektor pertanian, misalnya, kami rasa krusial untuk melakukan peremajaan di lima jenis perkebunan rakyat yaitu sawit, kakao, karet, kelapa, dan kopi. Begitupun dengan dua sektor lainnya yaitu energi dan persampahan,” papar dia.
Mengacu paparan yang dirancang oleh koalisi Generasi Hijau, peremajaan perkebunan rakyat dapat menghasilkan 15% sampai dengan 17% peningkatan hasil panen. Persentase tersebut setara dengan nilai manfaat ekonomis langsung Rp25 juta per tahun dan manfaat ekonomi tidak langsung Rp10 juta per tahun, sekurang-kurangnya dalam periode 20 tahun mendatang.
Pada saat yang sama, diperkirakan terdapat manfaat ekonomi dari korporasi petani yang akan menggabungkan kegiatan on-farm dan off-farm petani sehingga terjadi efisiensi dan konsolidasi kekuatan pasar petani dari peningkatan skala ekonomi akibat pendirian korporasi petani.
Dampak positif yang sama juga terlihat dari sektor energi dan persampahan. Dalam perhitungan koalisi Generasi Hijau, keduanya punya manfaat jangka panjang yang mendukung keberlanjutan ekonomi sampai 20-25 tahun ke depan.
Namun sejauh ini, Misbah Hasan menilai, meski peta kebijakan pemerintah di soal ekonomi hijau sudah cukup baik di tingkat perencanaan, belum ada potret detail pada sisi sektoral sekaligus belum didorong oleh anggaran yang memadai.
“Kami ingin mendorong agar RAPBN 2022 berpihak pada ekonomi hijau. Sekaranglah momentum yang sangat krusial untuk menyusun APBN yang biasanya ditetapkan November nanti agar lebih proterhadap pemulihan ekonomi hijau,” kata Misbah Hasan.