Kementerian Keuangan (Kemenkeu) meragukan proses audit laporan keuangan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. (GIAA) tahun buku 2018. Audit dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) Tanubrata Sutanto Fahmi Bambang & Rekan yang merupakan anggota dari BDO Internasional Limited.
Menurut Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Keuangan Hadiyanto proses audit tersebut tak sepenuhnya mengikuti standar akuntansi yang berlaku.
Untuk itu, demi membuktikan keraguan tersebut pihaknya akan berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait level pelanggaran maupun sanksinya.
"Tidak bisa serta-merta kita putuskan sanksinya, kita harus berkoordinasi dulu dengan OJK terkait emiten ini. Sehingga OJK punya assesment baik down side risk mengenai sanksi yang akan dikenakan, ataupun juga level pelanggaran bagi konteks transparansi dan keterbukaan informasi di perusahaan terbuka seperti apa," ujarnya ketika ditemui di Gedung Dhanapala Kemenkeu, Jakarta, Jumat (14/6).
Dia menyatakan, komunikasi dengan pihak OJK terkait persoalan emiten berkode saham GIAA ini pun terus berjalan. Namun, untuk penetapan sanksinya masih menunggu kesiapan dari OJK.
"Kita masih tunggu koordinasi final dengan OJK. Sudah ada komunikasi di level teknis, tapi kan di OJK pengambilan keputusan itu ke Dewan Komisioner. Nah, ini mungkin yang perlukan waktu," ucapnya.
Kemudian, terkait sanksi pada KAP, Hadiyanto menyebut hal tersebut menjadi wewenang Kemenkeu sebagai Pusat Pembinaan Profesi Keuangan (PPPK).
"Jadi terkait akuntansi publiknya dari Kemenkeu, tapi kepatuhan dari perusahaan publik itu dari OJK," katanya.
Jika Garuda terbukti bersalah, menurut dia, sanksi kepada maskapai tersebut akan diberikan oleh OJK. Sementara, Kementerian Keuangan akan menentukan nasib dari kantor akuntan publik yang mengaudit laporan keuangan Garuda.
"Pembinaan-pembinaan akuntansi publiknya dari kami, lalu urusan perusahaan publik itu OJK," ucapnya.
Kendati demikian, Hadiyanto enggan menjawab lebih lanjut terkait potensi revisi laporan keuangan yang harus dilakukan oleh manajemen Garuda Indonesia akibat dugaan proses audit yang tak sesuai dengan standar yang berlaku.
"Jangan terlalu jauh dulu," ucapnyaa.
Seperti diketahui, dua Komisaris Garuda Indonesia Chairal Tanjung dan Dony Oskaria enggan menandatangani laporan keuangan 2018 karena tak setuju dengan keputusan manajemen menjadikan piutang dari transaksi kerja sama dengan PT Mahata Aero Teknologi (Mahata) menjadi pendapatan perusahaan.
Dari kerja sama itu, Garuda Indonesia seharusnya meraup pendapatan sebesar US$239,94 juta. Namun, hingga akhir 2018 Mahata belum juga membayarnya ke perusahaan.
Sehingga, yang seharusnya Garuda Indonesia mencatatkan rugi senilai US$244,95 juta pada 2018, malah GIIA dalam laporan keuangannya tercatat mencetak laba bersih US$809.840 atau meningkat tajam dari 2017 yang rugi US$216,58 juta.