Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) saat ini terus berusaha semaksimal mungkin mengumpulkan penerimaan dari semua subjek pajak sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku untuk menggali potensi pajak.
Menurut Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat, (P2Humas) DJP Neilmaldrin Noor, DJP terus memperbaiki sistem administrasi serta kepastian regulasi untuk memperluas basis data perpajakan.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 9 tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan menjadi Undang-Undang, pemerintah memiliki kewenangan untuk meminta data keuangan berupa laporan keuangan seperti perbankan, pasar modal, perasuransian, atau jasa keuangan lainnya. Pemerintah juga aktif berpartisipasi dalam pertukaran data otomatis (AEOI) dengan banyak yurisdiksi di dunia.
DJP menjalankan tugas dan fungsinya dengan melakukan pengujian dan pengawasan baik formal maupun material terhadap kepatuhan wajib pajak. Pengujian dan pengawasan pajak di Indonesia didasarkan pada self-assessment system, yaitu wajib pajak melakukan penghitungan, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri kewajiban perpajakannya.
“Pengawasan terhadap kepatuhan wajib pajak juga dipetakan berdasar skala usaha wajib pajak, yaitu wajib pajak strategis dan wajib pajak kewilayahan. Klasifikasi ini dilakukan agar pengawasan berjalan lebih efisien” ujar Neilmaldrin dalam keterangan resminya, Senin (25/7).
Lebih lanjut, dalam melakukan penggalian potensi pajak, DJP juga menerapkan cara yang terstruktur, metodis, dan objektif dengan menggunakan compliance risk management (CRM) untuk memetakan profil wajib pajak berbasis risiko kepatuhan. Selain itu DJP juga menyediakan Program Pengungkapan Sukarela (PPS) yang memberikan kebebasan wajib pajak untuk mengungkapkan hartanya secara sukarela. DJP juga terbuka terhadap informasi terkait kegiatan usaha atau potensi pajak dari masyarakat.
“Setiap informasi yang masuk, kami tindaklanjuti secara sistematis. Kami punya prosedur bernama pemeriksaan atas Informasi, Data, Laporan, dan Pengaduan (IDLP),” imbuh Neilmaldrin.
Saat ini pemerintah juga telah mengintegrasikan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dengan Nomor Pajak Wajib Pajak (NPWP), sehingga semua yang memiliki NIK sudah secara otomatis masuk dalam sistem administrasi perpajakan dan wajib memenuhi kewajiban perpajakannya apabila sudah memenuhi syarat subjektif dan objektif. Meski demikian, petugas pajak diwajibkan menjaga kerahasiaan data wajib pajak sesuai dengan ketentuan Pasal 34 UU KUP.
“Dengan berbagai milestone reformasi perpajakan yang sudah diterapkan di DJP, maka langkah pengawasan DJP akan semakin efektif karena didukung basis data yang sudah sangat lengkap, walaupun belum sempurna, namun terus ditingkatkan. Sehingga, bila ada wajib pajak yang tidak patuh, atau jika ada yang tidak mendaftar sebagai wajib pajak, cepat atau lambat pasti akan diketahui dan akan menghadapi risiko ketidakpatuhan dimulai dengan imbauan sampai penegakan hukum pajak,” pungkas Neilmaldrin.