Kemenperin blak-blakan soal manfaat hilirisasi nikel
Sejak bergulirnya program hilirisasi sumber daya alam, terutama logam nikel di tanah air, beberapa multiplier effect mulai terlihat pada ekonomi nasional. Hal tersebut disampaikan juru bicara Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Febri Hendri Antoni Arif, dalam keterangan resminya, Minggu (12/8).
Berdasarkan data Kemenperin, terdapat 34 smelter yang sudah beroperasi dan 17 smelter yang sedang dalam kontruksi. Investasi yang telah tertanam di Indonesia sebesar US$11 miliar atau sekitar Rp165 triliun untuk smelter Pyrometalurgi, serta sebesar US$2,8 miliar atau mendekati Rp40 triliun untuk tiga smelter Hydrometalurgi yang akan memproduksi MHP (Mix Hydro Precipitate) sebagai bahan baku baterai.
Selama masa konstruksi, kehadiran smelter tersebut menyerap produk lokal. Saat ini, smelter tersebut mempekerjakan sekitar 120.000 orang tenaga kerja. Dilihat dari lokasi, smelter tersebar di berbagai provinsi yaitu Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, serta Banten.
“Hal ini mendorong pertumbuhan perekonomian di daerah tersebut dengan meningkatnya PDRB di daerah lokasi Smelter berada,” kata Febri.
Besarnya multiplier effect smelter nikel ini dapat dilihat dari nilai tambahnya. Kemenperin menghitung nilai tambah yang dihasilkan dari nikel ore hingga produk hilir meningkat berkali-kali lipat jika diproses di dalam negeri atau menghilirkan proses barang mentah. Febri menyampaikan, apabila nilai nikel ore mentah dihargai US$30/ton, ketika menjadi Nikel Pig Iron (NPI) harganya akan naik 3,3 kali mencapai US$90/ton. Sedangkan bila menjadi Ferronikel, akan naik 6,76 kali atau setara US$203/ton.
Ketika hilirisasi berlanjut dengan menghasilkan Nikel Matte, maka nilai tambahnya juga akan naik menjadi 43,9 kali atau US$3.117/ton. Terlebih, sekarang Indonesia sudah punya smelter yang menjadikan MHP sebagai bahan baku baterai dengan nilai tambah sekitar 120,94 kali (US$3.628/ton).
“Apalagi, jika ada ada pabrik baterai yang mengubah ore menjadi LiNiMnCo, maka nilai tambahnya bisa mencapai 642 kali lipat,” papar Febri.
Hal ini tentu akan menambah pemasukan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan pajak-pajak lain yang nilainya triliunan rupiah. Dari sini saja sudah terbukti, seperti yang disampaikan oleh Bapak Presiden, jika kita mengekspor bahan mentah, angkanya Rp17 triliun, dibandingkan dengan ekspor produk hasil hilirisasi nikel yang mencapai Rp510 triliun. Sehingga penerimaan negara dari pajak akan jauh lebih meningkat.
Melihat performa kontribusi logam dasar ke ekonomi, Febri menjelaskan, PDB logam dasar di triwulan I-2023 tumbuh 11,39%. Pada semester I-2023 ini, logam dasar mencatatkan PDB sebesar Rp66,8 triliun. Selama periode 2022, subsektor ini tumbuh di atas 15% dengan nilai Rp124, 29 triliun, juga 2021 tumbuh double digit setara Rp108,27 triliun. Bahkan di 2020 yang penuh tekanan akibat pandemi Covid-19, industri logam dasar berhasil tumbuh mengesankan.
“Indikator ini sangat jelas menunjukkan bahwa benefit smelter memberi manfaat bagi ekonomi nasional, bukan untuk negara lain. Hadirnya PMA merupakan pengungkit investasi untuk pertumbuhan ekonomi nasional,” imbuh Febri.
Posisi Indonesia sebagai eksportir utama produk hilir logam nikel terus menguat dalam beberapa tahun terakhir, utamanya setelah kebijakan hilirisasi dan pelarangan ekspor biji nikel dijalankan. Ekspor stainless steel, baik dalam bentuk slab, HRC maupun CRC, menyentuh angka US$10,83 miliar di 2022. Nilai ekspor ini meningkat 4,9% dari 2021 yang sebesar US$10,32 miliar.
Berdasarkan data worldstopexport 2022, Indonesia menjadi eksportir HRC urutan pertama dunia dengan nilai US$4,1 miliar. Febri menambahkan, ekspor produk hilir dari nikel lainnya juga terus meningkat pesat.
Tercatat pada 2022, nilai ekspor ferronikel mencapai US$13,6 miliar, atau meningkat 92% dibandingkan nilai ekspor pada 2021 yang sebesar US$7,08 miliar. Nilai ekspor nikel matte juga melonjak sebesar 300%, dari US$0,95 miliar pada 2021 menjadi US$3,82 miliar pada 2022.
Tidak hanya itu, hadirnya nikel di Indonesia juga mampu mengerek PDRB industri di provinsi tempat smelter nikel berada. Sulawesi Tengggara, sebagai produsen nikel terbesar di Indonesia, mengalami pertumbuhan PDRB industri pengolahan sebesar 16,74% pada 2022, yang sebagian besar disumbang oleh industri pengolahan nikel. Keutamaan lainnya ekonomi hilirisasi ini adalah ekspor Sulawesi Tengggara pada 2022 mencapai US$5,83 miliar dengan US$5,7 milliar atau 99,30% didominasi oleh golongan besi baja berupa Ferronickel (FENI), Nickel Pig Iron (NPI), dan baja tahan karat yang diproduksi oleh sejumlah pabrik peleburan (smelter) Nikel di wilayah ini. Besarnya ekspor nikel ini mengindikasikan besarnya peran dari industri nikel.
Kemudian, jika dilihat dari perolehan PNBP, sektor logam nikel juga mengalami kenaikan yang mengagumkan, terutama dari daerah-daerah penghasil nikel. Pada 2022, PNBP dari daerah penghasil nikel mencapai Rp10,8 triliun, meningkat dari 2021 yang sebesar Rp3,42 triliun. Total PNBP dari lima provinsi penghasil nikel mencapai Rp20,46 triliun sepanjang 2021 hingga triwulan II-2023, dengan Provinsi Sulawesi Tenggara merupakan penyumbang terbesar PNBP (Rp8,73 triliun), disusul provinsi Maluku Utara (Rp6,23 triliun).
Hadirnya smelter dalam kerangka hilirisasi nikel ini juga memberikan dampak pada sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di wilayah sekitar smelter. Selain itu, aglomerasi ekonomi di wilayah tersebut juga ikut meningkat.
“Hilirisasi jangan dilihat dari ownersip smelter, baik itu PMA atau PMDN, tetapi lebih ke arah pendekatan nilai tambah ekonomi, sehingga benefit yang dirasakan dengan berjalannya hilirisasi memberikan nilai nyata bagi pembangunan nasional,” pungkas Febri.