close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Pemerintah telah menetapkan industri kimia sebagai salah satu dari lima sektor yang akan menjadi pionir dalam penerapan industri 4.0 di Indonesia./pixabay.com
icon caption
Pemerintah telah menetapkan industri kimia sebagai salah satu dari lima sektor yang akan menjadi pionir dalam penerapan industri 4.0 di Indonesia./pixabay.com
Bisnis
Senin, 09 Juli 2018 10:45

Kemenperin pacu industri kimia

Industri kimia nasional tengah difokuskan pengembangannya agar lebih berdaya saing global.
swipe

Kementerian Perindustrian (Kemenperin) memacu pengembangan industri kimia di dalam negeri dengan mendorong pemanfaatan teknologi terbaru serta peningkatan kegiatan penelitian dan pengembangan.

Upaya ini sesuai implementasi peta jalan Making Indonesia 4.0 agar industri kimia lebih efisien, inovatif, dan produktif dalam memasuki era revolusi industri generasi keempat saat ini.

“Pemerintah telah menetapkan industri kimia sebagai salah satu dari lima sektor yang akan menjadi pionir dalam penerapan industri 4.0 di Indonesia, selain industri tekstil, otomotif, elektronika, serta makanan dan minuman,” kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartato dalam keterangan resmi.

Industri kimia nasional tengah difokuskan pengembangannya agar lebih berdaya saing global. Pasalnya, sektor ini memberikan kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, serta berperan penting sebagai penghasil bahan baku untuk kebutuhan produksi industri lainnya. “Pada tahun 2017, industri kimia menjadi salah satu sektor penyumbang utama terhadap PDB nasional sebesar Rp236 triliun,” ungkapnya.

Untuk itu, Menperin memberikan apresiasi kepada seluruh industri petrokimia yang beroperasi di Kaltim Industrial Estate (KIE) yang telah berkomitmen mendukung pembangunan industri nasional. Klaster industri petrokimia pertama di Indonesia ini sudah berjalan lebih dari 30 tahun, dimulai dengan berdirinya PT Pupuk Kaltim pada 1977.

“Dengan lokasi industri petrokimia di Bontang yang berada dalam kawasan timur Indonesia, keberadaan industri-industri ini tentunya mendorong dalam mempercepat pemerataan pembangunan di Indonesia bagian timur,” ujarnya. 

Kemenperin juga mendukung upaya pengembangan industri oleokimia berbasis minyak sawit di kawasan tersebut, yang diharapkan dapat terus ditingkatkan produksinya.

Sudah ada lima industri petrokimia yang berdiri di kawasan industri KIE Bontang dengan menghasilkan komoditas yang beragam, antara lain amoniak, pupuk urea, methanol, dan amonium nitrat. Kelima perusahaan tersebut, yakni PT Pupuk Kaltim, PT Kaltim Methanol Industri, PT Kaltim Parna Industri, PT Kaltim Nitrate Industri, dan PT Black Bear Resources Indonesia.

Subtitusi Impor

Airlangga juga menyatakan industri kimia seperti penghasil amonium nitrat sudah mampu memenuhi kebutuhan pasar domestik. Di tengah kondisi defisit neraca perdagangan, industri ini bisa mensubstitusi impor karena kapasitas produksinya.  "Kami dorong pasar domestik lebih optimal, dan terus digenjot untuk ekspor," kata dia.

Kemenperin aktif memacu pengembangan sektor-sektor industri yang berpotensi untuk meningkatkan nilai ekspor nasional. 

Pemerintah telah menyusun solusi jangka menengah dan panjang, yakni melalui substitusi impor dan investasi, sedangkan jangka pendeknya seperti pembatasan impor amonium nitrat, karena industri di dalam negeri sudah mampu mencukupi.

Klaster industri kimia di Bontang masih memiliki potensi besar  untuk pengembangan produk hilir seperti dimetil eter yang dapat digunakan sebagai sumber bahan  bakar pengganti LPG, pupuk majemuk berbasis amonium nitrat, soda ash, dan pupuk amonium klorida.

Selain itu, wilayah Kalimantan Timur juga memiliki prospek untuk pengembangan perkebunan sawit  sebagai sumber bahan baku bagi klaster industri berbasis oleokimia sebagai solusi dari menurunnya harga sawit yang cukup signifikan akhir-akhir ini sehingga dapat mengatasi defisit neraca perdagangan.

“Kemampuan pengembangan tersebut dapat diwujudkan dengan jaminan pasokan gas bumi untuk domestik, kebijakan kuota impor untuk produk unggulan tertentu serta sinergi dengan pengembangan riset teknologi,” paparnya.

Kemenperin mencatat, kebutuhan gas bumi untuk industri yang beroperasi di Bontang mencapai 452 MMSCFD atau sekitar 59% dari penggunaan gas bumi domestik di wilayah Kalimantan Timur.

Dirjen Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka (IKTA) Achmad Sigit Dwiwahjono mengatakan hal ini perlu menjadi perhatian yang besar terhadap jaminan pasokan gas bumi jangka panjang dengan harga yang wajar. Sehingga bisa menjaga kelangsungan seluruh aktivitas industri tersebut agar dapat lebih berkembang dengan struktur yang kokoh dan berkelanjutan.

Namun demikian, saat ini sekitar 804 MMSCFD gas bumi dari wilayah Kalimantan Timur masih di ekspor ke luar negeri. Melihat kondisi tersebut dan memperhatikan pasokan gas alam yang cenderung terus menurun, Kemenperin memandang perlu pemanfaatan gas bumi yang diutamakan kepada industri di dalam negeri.

“Jadi, perlu menjaga agar tidak ada perpanjangan pasokan untuk kontrak penjualan gas bumi ke luar negeri. Dengan demikian, pasokan gas yang ada di Kalimantan Timur dapat diprioritaskan kepada kebutuhan domestik terutama kelangsungan industri petrokimia di Bontang,” tegas Sigit.

img
Laila Ramdhini
Reporter
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan