close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi Alinea.id/Bagus Priyo.
icon caption
Ilustrasi Alinea.id/Bagus Priyo.
Bisnis
Sabtu, 17 April 2021 08:20

Kemenristek bubar: Langkah mundur menuju Indonesia cemas

Sejumlah pihak pesimistis dengan kemajuan riset dan inovasi nasional.
swipe

Minggu lalu, pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sepakat untuk membubarkan Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek). Kementerian ini akhirnya kembali melebur ke dalam Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). 

Komando riset nasional kini ada di bawah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sebagai badan otonom di bawah presiden. Pada saat yang sama, kedua pihak juga setuju untuk membentuk Kementerian Investasi. 

Tujuannya, agar investasi yang saat ini masih ditangani terpisah oleh Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dapat diurus oleh satu kementerian khusus.

“Apakah hasil keputusan rapat Bamus (Badan Musyawarah) pengganti rapat konsultasi terhadap pertimbangan penggabungan dan pembentukan kementerian dapat disetujui?” tanya Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad dalam Rapat Paripurna, di Kompleks Parlemen, Jumat (9/4) lalu. 

“Setuju,” jawab 288 anggota dewan yang hadir secara serempak.

Sementara itu, Juru Bicara Presiden Joko Widodo, Fadjroel Rachman mengungkapkan, keputusan Jokowi untuk meleburkan Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan membentuk Kementerian Investasi telah melalui banyak pertimbangan. Salah satunya sesuai Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2008.

"Semua pertimbangan tersebut sudah disetujui DPR sesuai Pasal 19 ayat 1, pengubahan sebagai akibat pemisahan atau penggabungan kementerian dilakukan dengan pertimbangan DPR," kata Fadjroel kepada Alinea.id, Kamis (15/4).

Selain itu, kepala negara juga menitikberatkan efisiensi dan efektivitas saat membubarkan kementerian yang membidangi urusan riset dan inovasi nasional itu. Ada juga pertimbangan untuk perubahan atau perkembangan tugas dan fungsi, cakupan tugas dan proporsionalitas beban tugas, kesinambungan, keserasian, dan keterpaduan pelaksanaan tugas.

"Peningkatan kinerja dan beban kerja pemerintah, kebutuhan penanganan urusan tertentu dalam pemerintahan secara mandiri," imbuh Fadjroel.
 
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Donny Gahral Adian menambahkan, perubahan nomenklatur dua kementerian itu hanya kebetulan saja dilakukan serentak. Selain itu, dia juga menampik anggapan bahwa pemerintah membubarkan Kemenristek hanya untuk membentuk Kementerian Investasi. 

Dia bilang, peleburan Kemenristek ke dalam Kemendikbud dilakukan lantaran pemerintah menginginkan agar ada kesinambungan antara pendidikan dan riset. “Jadi enggak ada hubungannya. Tidak ada yang dikorbankan,” ujarnya, kepada Alinea.id, Sabtu (10/4).

Jadi anak tiri

Meski begitu, langkah Jokowi untuk meleburkan Kemenristek ke dalam Kemendikbud dan membentuk Kementerian Investasi nampaknya mengundang banyak perdebatan di masyarakat. Salah satunya karena pemerintah cenderung menganaktirikan riset dan sebaliknya, menganakemaskan investasi.

Hal itu terlihat dari keputusan Presiden untuk mengakhiri perjalanan Kementerian yang didirikan oleh Presiden Soekarno pada 1962 itu. 

Sementara itu, menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara Pasal 15 disebutkan, "Jumlah keseluruhan Kementerian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14 paling banyak 34 (tiga puluh empat)." 

Artinya, apabila pemerintah ingin mendirikan Kementerian Investasi, harus ada satu kementerian yang dikorbankan. Dengan cara itulah Kementerian yang dipimpin oleh Bambang Brodjonegoro itu harus berakhir.

Bambang Brodjonegoro saat diwawancara pewarta dalam suatu kesempatan. Setelah DPR mengumumkan pembubaran Kemenristek, Bambang pamit sebagai Menristek. Foto Reuters/Beawiharta.

“Jika mempertimbangkan paket perombakan ini secara utuh, pembubaran Kemenristek seakan-akan sekedar untuk memberi ruang pada Kementerian Investasi yang baru dibentuk,” jelas Mantan Deputi II Kantor Sekretariat Presiden (KSP) Yanuar Nugroho kepada Alinea.id, Rabu (14/4). 

Di sisi lain, pemerintah juga dinilai tak serius karena nasib BRIN yang tak jelas lantaran tidak juga memiliki struktur. Bahkan, menurut Yanuar, rumornya badan yang dibentuk pada 2019 lalu itu tersandera urusan politis yang menginginkan adanya Dewan Pengarah dan struktur yang masif. Langkah itu hanya bisa dipenuhi jika BRIN tak bersatu lagi dengan Kemenristek. 

Tak banyak orang menyadari bahwa upaya untuk menyorongkan kepentingan terhadap BRIN ini secara tidak masuk akal bahkan telah disisipkan ke dalam RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang tahun lalu pernah menuai kontroversi. Sayangnya, selain isu komunisme, atau upaya untuk menghidupkan kembali rumusan Pancasila versi awal, waktu itu publik melewatkan “pasal selundupan” mengenai BRIN di RUU HIP ini. Keberadaan BRIN di RUU HIP dimuat dalam Pasal 38, Pasal 45, Pasal 48, dan Pasal 49.

Dalam Pasal 48 ayat 6 RUU HIP disebutkan, “(6) Ketua dewan pengarah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a menjabat ex officio ketua dewan pengarah di badan yang menyelenggarakan riset dan inovasi nasional.” 

Lalu, dalam Pasal 49 ayat 2 RUU HIP berbunyi, “Selain memiliki tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ketua dewan pengarah di badan yang menyelenggarakan riset dan inovasi nasional memiliki kewenangan untuk mengarahkan, monitoring, dan evaluasi kebijakan, antara lain dalam kebijakan riset dan inovasi yang dijalankan dan diintegrasikan oleh badan riset dan inovasi nasional, kebijakan hukum nasional yang dilaksanakan dan diintegrasikan oleh kementerian atau badan yang menyelenggarakan hukum dan/atau perundang-undangan, serta kebijakan Pembangunan Nasional yang dijalankan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.”

Padahal, masih menurut Yanuar, bagi mereka yang sungguh memahami peran riset dan inovasi dalam pembangunan, langkah ini sangat sulit diterima dan juga tidak masuk akal. Dia menegaskan riset dan inovasi adalah dua hal yang tidak boleh dipolitisasi.

Dihubungi terpisah, Pengamat pendidikan dari VOX Populi Institute Indonesia Indra Charismiadji mengatakan, peleburan Kemenristek dengan Kemendikbud membuat arah program pengembangan sumber daya manusia (SDM) unggul yang tengah dijalankan pemerintah semakin tidak dapat dibaca. Ditambah lagi, pemerintah selama ini tidak memiliki desain atau cetak biru (blue print) untuk mengembangkan SDM Indonesia dengan baik.

“Kelihatan pembangunan SDM enggak punya planning sama sekali. Terbukti, di tengah jalan ada kementerian dibubarin, terus dimerger (digabung-red) ke Kemendikbud,” katanya, saat berbincang dengan Alinea.id, Selasa (13/4).

Sementara itu, dengan digabungnya dua kementerian itu, praktis membuat beban kerja seluruh pegawai di Kemendikbud bertambah berat. Dengan begitu, dikhawatirkan nantinya program riset nasional tidak akan tertangani dengan baik atau hanya dijalani setengah-setengah. 
 
Di lain pihak, meski Kemenristek dan Kemendikbud sama-sama melakukan riset, namun penelitian yang dilakukan adalah hal yang sangat berbeda. Kata Indra, riset yang dilakukan oleh Kemendikbud cenderung mengarah kepada penelitian untuk mengembangkan kemampuan dasar atau disebutnya sebagai ilmu murni.

Mulai dari bagaimana kemampuan untuk berpikir, hingga bagaimana seorang anak didik tidak cepat lelah untuk berpikir. Sedangkan riset yang dilakukan oleh Kemenristek cenderung mengarah kepada ilmu terapan. 

Syarif Hidayat (57), seorang dosen dan peneliti tengah memberi arahan kepada relawan untuk menggunakan Vent-I. Mesin ventilator inovasinya itu akan digunakan untuk pasien Covid-19. Foto Reuters/Willy Kurniawan.

“Jadi, kalau nature-nya seperti itu, kalau mau dilebur bukan ke Dikbud, tapi ke perindustrian (Kementerian Perindustrian). Kan terapan,” tegas dia.

Indra menyarankan agar sebelum menentukan siapa menteri yang akan didapuk sebagai pemimpin Kementerian Pendidikan, Kebudayaan dan Riset, pihaknya terlebih dulu dapat mengumpulkan seluruh tokoh-tokoh pendidikan dan ahli pengembangan SDM. 

Jika hal ini tak juga dilakukan oleh Pemerintah, praktisi pendidikan itu khawatir misi Indonesia Emas 2045 yang digadang-gadang Jokowi tidak akan berhasil dicapai. Karena bonus demografi yang diimpikan akan berubah menjadi bencana demografi.

“Kalau ini tetap dilanjutkan, tidak ada perbaikan, 2045 itu adanya Indonesia Cemas. Bukan Indonesia Emas,” ujar dia.

Investasi tidak maksimal

Selain itu, ketidaksiapan pemerintah dalam menjalankan program SDM unggul juga dapat membuat Omnibus Law yang bertujuan memanfaatkan investasi asing untuk perekonomian nasional tidak berjalan optimal. Sebab, masuknya investasi asing yang tidak diimbangi dengan kemampuan SDM justru membuat potensi ekonomi dari bonus demografi Indonesia menjadi bencana. Pasalnya, kekosongan lapangan kerja pada akhirnya bisa diisi oleh pekerja asing.

“Saya berharap, pemerintah menyusun desain pembangunan SDM unggul di sisa 3 tahun ini. Baru kemudian mendesain organisasi penyangganya, termasuk kementerian," ucap Indra.

Dihubungi terpisah, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance Nailul Huda mengatakan, dengan dibubarkannya Kemenristek dan dibentuknya Kementerian Investasi, tidak serta-merta menjamin pertumbuhan investasi Tanah Air akan berkembang pesat.

Sebab, penyebab mengapa investasi di Indonesia masih sangat lemah adalah karena kurangnya SDM berkualitas,  ketidaksiapan teknologi, kurangnya inovasi, serta masih menjamurnya korupsi. 

Sebaliknya, menurut dia, pembentukan Kementerian Investasi ini hanya sebagai kedok bagi pemerintah untuk membagi kekuasaan saja. Bukan benar-benar untuk memperbesar investasi nasional. 

“Karena sebenarnya, kalau untuk menangani investasi ini enggak perlu ada sebuah kementerian khusus juga bisa,” ungkapnya, kepada Alinea.id, Rabu (15/4).

Sementara itu, langkah Jokowi untuk meleburkan Kemenristek ke dalam Kemendikbud juga dapat dianggap sebagai langkah mundur pemerintah dalam menangani riset dan inovasi di Tanah Air. Belum lagi, anggaran riset yang cenderung mengalami penurunan setiap tahunnya semakin memperjelas sikap pemerintah yang mengesampingkan bidang RnD (research and development) itu.

Bahkan, menurut Nailul, selama ini keberpihakan pemerintah kepada riset dan inovasi bisa dibilang minim. Dari total belanja negara di dalam APBN 2021 yang mencapai Rp2.750 triliun, alokasi untuk riset hanya Rp9,9 triliun atau 0,36%. Masih jauh dari rasio minimal 1%. 

Dana riset di Indonesia juga jauh lebih rendah dibanding anggaran riset negara lain di Asean. Berdasarkan data Kementerian Riset dan Teknologi, pada 2019 dana riset Indonesia terhadap PDB hanya 0,2%. Lebih tinggi sedikit dibanding Vietnam yang memiliki dana riset 0,19%. Sementara Thailand 0,39% terhadap PDB, Malaysia 1,1%, Singapura 2%, Korea 4,2%, dan Jepang 3,5%.

Karenanya, jika ingin menyelamatkan riset dan SDM Indonesia, Nailul menyarankan agar pemerintah menambah anggaran riset dan inovasi. Di sisi lain, pemerintah juga harus mengubah pola pikir terkait keberhasilan riset.

“Selama ini, riset di Indonesia diharuskan untuk berhasil. Padahal kan kalau riset yang berhasil itu lebih banyak gagalnya. Kalau di Indonesia enggak, kalau riset gagal dianggap korupsi,” tukas dia.

Ilustrasi Alinea.id/Bagus Priyo.
 

img
Qonita Azzahra
Reporter
img
Kartika Runiasari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan