Pemerintah saat ini terus berupaya menurunkan emisi gas rumah kaca hingga tercapai Net Zero Emission (NZE) pada 2060. Salah satu langkah yang digadang-gadang saat ini yaitu transisi energi fosil dengan energi baru terbarukan (EBT).
Plt Deputi Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian PPN/Bappenas RI, Vivi Yulaswati mengatakan, untuk bisa mengembangkan EBT, maka tiga tantangan utamanya adalah pembiayaan, teknologi, dan sumber daya manusia.
Terkait pembiayaan, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Rida Mulyana mengatakan, Indonesia sendiri membutuhkan biaya hingga US$1 triliun untuk bisa mewujudkan transisi energi fosil ke EBT hingga 2060. Besaran biaya ini merupakan hitung-hitungan pemerintah pada 2021 dengan kurs rupiah saat itu adalah Rp15.000 per US$1 dan ditargetkan diperoleh melalui investasi.
“Untuk mendukung transisi energi di Indonesia, dibutuhkan dukungan finansial melalui investasi hingga US$1 triliun hingga 2060 ini berdasarkan perhitungan pemerintah dengan asumsi di tahun 2021. Investasi ini digunakan untuk mengembangkan EBT dan membangun transmisi,” kata Rida dalam diskusi bertajuk New Ambition Target of Indonesia’s Energy Transition For Reaching Indonesia’s NZE Target di acara Indonesia Sustainable Energy Week (ISEW) 2022, Senin (10/10).
Berdasarkan besaran target investasi tersebut, maka rerata investasi yang harus didapatkan setiap tahunnya hingga 2060 adalah US$30 miliar hingga US$40 miliar. Namun realitanya, investasi EBT saat ini masih kurang dari US$2 miliar di Indonesia, bahkan pada 202 hanya mencapai US$1,6 miliar.
Rida pun menjelaskan, terdapat tiga strategi yang bisa dilakukan pemerintah melalui Kementerian ESDM untuk mendorong investasi EBT ini. Strategi pertama disebutkan, pemerintah harus menyediakan regulasi yang tegas dan jelas.
“Adanya regulasi yang tegas dan jelas, serta tidak berubah-ubah. Sekarang kita sudah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) 112 Tahun 2022 tentang Pengembangan EBT,” ujarnya.
Dengan adanya regulasi ini, pemerintah juga sekaligus mulai menjalankan program early retirement atau pemensiunan dini Pembangkit listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara, sehingga bisa menarik investasi dari luar maupun dalam negeri. Menurut Rida, dengan ditutupnya PLTU, maka secara bersamaan peranannya akan terganti dengan green energy.
Kemudian, strategi kedua adalah ESDM perlu melakukan bisnis usaha dengan memberikan kemudahan perizinan bagi investor. Ia mengatakan, selama ini pihaknya sudah makin maju dalam melakukan reformasi di bidang pelayanan, sehingga berulang kali mendapat apresiasi dari Kementerian Investasi atau Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
“Kami ESDM kembali menjadi Kementerian yang dapat apresiasi dari BKPM sebagai Kementerian yang untuk sementara relatif paling baik dan di 2021 ESDM terpilih menjadi Kementerian terbaik dalam pelayanan publik,” ucapnya.
Rida pun mengaku, pihaknya akan memberikan kemudahan pelayanan secara online yang bisa diakses kapan dan di mana saja. Bahkan, memberikan peluang untuk investor dalam memperoleh pelatihan dan pendampingan.
Terakhir, dengan strategi pemerintah harus gencar dalam mensosialisasikan dan mengedukasi perihal percepatan pengembangan EBT untuk penyediaan tenaga listrik. Ini diperlukan mengingat pasar dunia saat ini lebih mendukung EBT.
“Customer saat ini sudah mengarah ke energi yang green, dan customer adalah raja jadi kita harus mengupayakan agar sesuai dengan pasar dan mendorong agar investasi EBT semakin baik ke depannya,” ucap Rida.
Adanya forum Indonesia Sustainable Energy Week (ISEW) 2022 ini menurut Rida sebagai salah satu sarana sosialisasi Perpres Nomor 112 Tahun 2022 tentang Pengembangan EBT.