Kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2025 sebesar 6,5% menuai beragam reaksi.
Kalangan pengusaha waswas kenaikan ini menjadi beban tambahan yang memberatkan industri dan memicu pemutusan hubungan kerja (PHK). Sementara ekonom menilai kenaikan UMP bisa menciptakan lapangan kerja baru.
Peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios), Jaya Darmawan mengatakan kenaikan UMP yang ideal dapat menjadi motor penggerak ekonomi, bukan ancaman bagi dunia usaha. Naiknya upah yang berkisar antara 8,7% hingga 10% justru akan menciptakan lapangan kerja baru karena mendorong konsumsi masyarakat.
“Secara konsep, kenaikan UMP yang cukup akan meningkatkan konsumsi rumah tangga dan pada akhirnya memberikan manfaat bagi pengusaha melalui peningkatan surplus usaha. Idealnya, kenaikan upah nasional berada di rentang 8,7% hingga 10% untuk mengimbangi inflasi dan mengikuti pertumbuhan ekonomi,” ujar Jaya kepada Alinea.id, Minggu (22/12).
Belum ideal
Presiden Prabowo Subianto telah mengumumkan rata-rata kenaikan upah minimum nasional sebesar 6,5% pada 2025. Prabowo mengungkapkan kenaikan ini lebih tinggi dibandingkan dengan usulan Menteri Ketenagakerjaan yang sebelumnya merekomendasikan kenaikan sebesar 6%.
Kenaikan upah minimum 2025 itu berlaku rata bagi provinsi serta kabupaten/kota sebagaimana tertera dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan atau Permenaker Republik Indonesia nomor 16 Tahun 2024 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2025 yang telah diundangkan pada Rabu (4/12).
Menurut Ekonom Bhima Yudhistira kenaikan UMP sebesar 6,5% belum ideal. "Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi di atas 5%, bahkan hingga 8% seperti yang ditargetkan pemerintah, kenaikan upah minimum harus lebih signifikan,” ujar Bhima kepada Alinea.id, beberapa waktu lalu.
Simulasi Celios menunjukkan kenaikan UMP sebesar 6,5% saja dapat memberikan dampak positif berupa peningkatan output ekonomi sebesar Rp107,1 triliun pada 2025. Konsumsi rumah tangga diproyeksikan bertambah hingga Rp43,7 triliun, sementara surplus usaha meningkat sebesar Rp46,2 triliun.
Namun, Bhima juga mengingatkan kenaikan UMP ini belum cukup untuk menutup kebutuhan pekerja yang menghadapi beban ekonomi semakin berat, seperti kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% dan kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
“Kenaikan upah yang lebih tinggi dapat membantu pekerja mengimbangi inflasi dan menciptakan sisa upah riil yang lebih besar untuk dibelanjakan. Ini akan memutar ekonomi dan meningkatkan omzet pelaku usaha,” tambah Bhima.
Kondisi daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah, menjadi sorotan dalam konteks kenaikan UMP. Dalam satu dekade terakhir, kelas menengah menghadapi tekanan ekonomi signifikan akibat kenaikan biaya hidup yang tidak sebanding dengan naiknya upah riil. Data menunjukkan jumlah kelas menengah turun dari 57,33 juta jiwa pada 2019 menjadi 47,85 juta jiwa pada 2024.
Kondisi ini diperburuk oleh pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang melambat, hanya mencapai 4,91% secara tahunan pada kuartal III-2024. Bhima menilai, menjaga daya beli kelas menengah sama pentingnya dengan mencapai target pertumbuhan ekonomi.
Di sisi lain, pandangan kenaikan UMP akan merugikan dunia usaha dianggap tidak relevan. Bhima mengutip penelitian David Card, peraih Nobel Ekonomi 2021, yang membantah asumsi kenaikan upah minimum menyebabkan pengangguran. Sebaliknya, Card menemukan wilayah dengan kenaikan upah lebih tinggi justru mampu menciptakan lapangan kerja baru.
“Dengan upah minimum yang tinggi, rumah tangga mendapatkan pendapatan lebih besar, yang pada akhirnya akan dibelanjakan kembali kepada pelaku usaha domestik. Ini menciptakan siklus ekonomi yang sehat,” jelas Bhima.
Bhima menilai, pemerintah perlu segera mengubah formula pengupahan agar tidak lagi menggunakan regulasi yang membatasi kenaikan upah, seperti yang diatur dalam PP 51/2023.
Kenaikan UMP yang lebih signifikan dapat menjadi langkah strategis untuk menggerakkan ekonomi domestik di tengah tantangan perlambatan ekonomi global. “Kebijakan upah minimum tidak hanya soal perlindungan pekerja, tetapi juga alat stimulus ekonomi yang efektif,” tutup Bhima.