Konflik Rusia dan Ukraina berdampak pada melonjaknya harga batu bara yang sempat menyentuh di atas US$400 per ton. Ketua Umum Indonesian Mining Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo mengatakan, kenaikan harga ini hanya sentimen sesaat saja.
Dia mengatakan, bisa saja harga batu bara tetap ada di level tinggi, akan tetapi tidak akan bergerak naik dan menguat. Harganya akan menurun kembali secara perlahan.
"Harga perlahan akan turun kembali di bawah US$ 300 per ton. Dan bahkan, bisa saja di 2022, sebatas akan berada di kisaran US$ 175 per ton," ucap dia kepada Alinea.id, Jumat (4/3).
Dia menjelaskan, jika melihat industri pertambangan batubara Rusia, China merupakan importir terbesar batubara Rusia. Mencapai 17%, sementara 31% ditujukan bagi berbagai negara Eropa (OECD).
Menurutnya, perang antara Rusia dan Ukraina secara logika sebatas memberi pengaruh langsung untuk Pasar Atlantik (Negara OECD). Sementara, Pasar Atlantik terlalu jauh bagi Indonesia.
"Tuntutan harus menggunakan kapal capesize dan freight cost yang tinggi, dipastikan akibat tertutupnya pasokan Rusia, Eropa akan memprioritaskan kebutuhan batubara dari South Africa. Dari besarnya kebutuhan Eropa, sangat mungkin South Africa akan dapat menutupi, mengingat produksi South Africa di 2021 mencapai 244 juta ton," ujarnya.
Akan tetapi, menurutnya, bisa saja Eropa akan menutup dari Indonesia dan Australia, dengan pertimbangan sejauh mana terganggunya pasokan Rusia ke depan. Selain itu, seberapa besar negara Eropa akan menggerakkan kembali Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara mereka.
"Kalau melihat posisi politik China terhadap Rusia, bisa jadi justru China akan mendapatkan tambahan pasokan dari Rusia akibat tertutupnya pasar ke Eropa. Posisi tawar China akan kuat," tuturnya.
Menurutnya, apalagi kebutuhan batu bara China akan terus meningkat sampai 4,3 miliar ton di 2025. Terus mencoba menjaga level harga batu bara di dalam negeri, sekaligus mengontrol harga impor. Namun, kondisi menjadi berbeda mengingat, impor bukan sebatas diletakkan pada volume, tapi juga membutuhkan keterlibatan perbankan.
"Dengan kondisi tekanan internasional terhadap transaksi perbankan Rusia, akhirnya menjadikan China pada posisi sulit memperbesar impor batu bara dari Rusia," ucapnya.
Mengingat kebutuhan China yang cukup besar, maka, menurutnya, sangat masuk akal sentimen awal indeks harga batubara melejit. Namun, melihat dampak perang Rusia- Ukraina, terbentuknya pasar Atlantik dan Pasifik, sekaligus sebagian negara Eropa yang telah menurunkan kapasitas PLTU jauh sebelum perang terjadi, maka menurut Singgih melonjaknya harga hanya sentimen sesaat.