Kenaikan iuran bukan solusi menambal borok BPJS Kesehatan
Pemerintah berencana menaikkan iuran BPJS Kesehatan untuk peserta bukan penerima upah (PBPU). Hal ini dilakukan untuk menutupi defisit BPJS Kesehatan yang diperkirakan mencapai Rp32,8 triliun hingga akhir 2019.
Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo menyatakanperaturan presiden tengah disiapkan sebagai landasan hukum rencana tersebut.
"Iuran ini kami naikkan, segera akan keluar Perpresnya. Hitungannya seperti yang disampaikan Menteri Keuangan pada saat rapat dengan DPR RI," kata Mardiasmo usai rapat dengan Badan Anggaran DPR RI di Jakarta, Rabu (28/8).
Sebelumnya, dalam rapat dengan Komisi IX DPR RI pada Selasa (27/8), Menteri Keuangan Sri Mulyani mengusulkan kenaikan iuran PBPU Kelas 1 sebesar 100%, atau dari Rp80.000 menjadi Rp160.000. Angka ini lebih besar dari usulan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) yang hanya Rp120.000.
Sementara, untuk kelas 2 kenaikannya diusulkan menjadi Rp110.000 dari sebelumnya Rp51.000. Atau lebih besar dari usulan DJSN sebesar Rp75.000. Sedangkan untuk kelas 3, Sri sepakat dengan DJSN menaikan iuran dari Rp25.500 menjadi Rp42.000. Kenaikan juga diberikan untuk penerima bantuan iuran (PBI) sebesar Rp42.000 dari sebelumnya Rp23.000.
Lebih lanjut, Mardiasmo menegaskan, kenaikan iuran tersebut harus dibarengi dengan kinerja BPJS Kesehatan yang harus dioptimalkan, utamanya mengenai penagihan. Sebab, katanya, masalah penagihan adalah yang juga berkontribusi terhadap defisit anggaran BPJS.
"BPJS Kesehatan harus juga optimal dalam melakukan penarikan iuran dan Kementerian Kesehatan juga cek ke rumah sakit. Semuanya lah keroyokan, termasuk peran pemerintah daerah. Nah, saldo defisitnya ditutup dengan kenaikan iuran," tuturnya.
Selain itu, Mardiasmo menuturkan perbaikan terhadap sistem Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) juga akan dilakukan, termasuk menjalankan rekomendasi yang disampaikan oleh Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
"BPJS akan memperbaiki baik sisi purchasingnya dan semuanya. Tapi dengan policy makers yang ada, dengan rekomendasi BPKP dan kolaborasi semua pihak," ujar Mardiasmo.
Bukan solusi
Dihubungi secara terpisah, Ketua BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan kenaikan yang dipatok oleh pemerintah berdasarkan usulan Sri Mulyani tersebut tidak akan menyelesaikan masalah defisit anggaran BPJS Kesehatan.
Pasalnya, ujar Timboel, yang seharusnya diperbaiki pertama dari sistem layanan jaminan sosial tersebut adalah kualitas pelayanan dan juga kepastian hukum.
Menurutnya, dengan menaikkan iuran tanpa perbaikan apapun hanya akan kontraproduktif dengan tujuan yang ingin dicapai.
"Saya sepakat harus naik, tapi ini akan kontraproduktif karena dari sisi pelayanan BPJS belum baik dan penegakan hukum juga belum jalan," katanya saat dihubungi Alinea.id.
Belum lagi, katanya, kenaikan yang diusulkan tersebut terlalu tinggi. Dengan kualitas layanan yang diberikan dan seringnya peserta BPJS tidak mendapatkan kamar inap saat perawatan, hanya akan membuat orang malas membayar iuran.
"Dengan nominal yang seperti kemarin saja iuran peserta sudah menunggak, apalagi sebesar itu," ucapnya.
Lebih jauh, Timboel mengatakan, selama ini tidak ada sanksi yang tegas dari pemerintah bagi peserta yang mengalami tunggakan bayar. Ia menjelaskan, dari temuan BPKP ditemukan tunggakan iuran peserta BPJS mencapai Rp800 miliar.
"Dengan tidak adanya penegakan hukum yang tegas orang hanya akan dengan mudah mengabaikan kewajiban mereka," lanjutnya.
Ia pun meyakini dalam jangka waktu dekat sebelum aturan baru tersebut diberlakukan, akan ada perpindahan kelas peserta BPJS Kesehatan dari kelas 1 ke kelas 2 atau kelas 3.
"Saya yakin, akan ada perpindahan kelas dari kelas 1 dan kelas 2 ke kelas 3. Apalagi sesuai Permen Kesehatan 51/2018 peserta yang sakit dapat naik satu kelas," ucapnya.
Hal ini, lanjut Timboel, hanya akan memperbesar tunggakan iuran peserta BPJS dan malah memperbesar defisit.
"Makanya saya meyakini ini akan kontraproduktif," tegasnya.
Pelanggaran regulasi
Lebih lanjut, Timboel mengatakan, selama ini pemerintah telah melanggar aturan yang dibuatnya sendiri. Pasalnya, sesuai dengan Perpres 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan, pekerja PBPU diwajibkan mendaftar paling lambat 1 Januari 2019, jika tidak akan dikenakan sanksi.
Sanksi tersebut tertuang dalam Perpres 82/2013, yang mengatur sanksi administrasi bagi masyarakat yang tidak mendaftarkan dirinya sebagai peserta BPJS Kesehatan. Jika tidak mendaftar sampai dengan waktu yang ditentukan akan dikenakan sanksi tidak diberikan pelayanan publik seperti mengurus Surat Izin Mengendarai (SIM) dan paspor.
"Tapi coba kita lihat orang gampang-gampang saja mengurus SIM dan paspor meski tidak mendaftar. Justru pemerintah kita lah yang melanggar regulasi itu sendiri; kementerian, polisi, dan pemda," tuturnya.
Timboel juga menilai memang harus ada paksaan, agar orang mau memenuhi kewajibannya. Namun, dengan jaminan BPJS Kesehatan memberikan layanan terbaik.
"Kalau infrastruktur pelayanannya baik, naik Rp10.000 mungkin orang akan rela. Tapi jangan kemahalan juga naiknya," katanya.
Selain itu, dia menuturkan seharusnya pemerintah melakukan jajak pendapat terlebih dahulu mengenai pelayanan BPJS Kesehatan dan kemampuan masyarakat untuk membayar, sebelum memutuskan besaran kenaikan.
"Ajaklah masyarakat bicara, beri ruang jawab, adakan saja survei, minta tanggapan mereka. Jangan berkonteks ria dengan sosialisasi saja," terangnya.
Sebab, menurut Timboel, sosialisasi itu langkah terakhir setelah pemerintah melakukan jajak pendapat dan kajian mendalam terhadap persoalan yang terjadi. Hasil dari keputusan tersebut yang disosialisasikan.
"Berikan hak jawab, jangan sosialisasi dulu. Tampung semua protes dan masukan, setelah itu lakukan kajian lebih lanjut, baru sosialisasi," tuturnya.
Dengan kondisi pelayanan seperti sekarang dan rencana kenaikan iuran yang tinggi, Timboel mengatakan yang berada di kelas 2 dan kelas 3 kemungkinan tidak mampu mampu membayar.
"Saya yakin dia tidak mampu membayar utamanya yang kelas 2 dan kelas 3. Sementara yang kelas 1 mampu, tapi tidak mau (bayar)," ujarnya.