Royalti batu bara dikabarkan akan dinaikkan oleh pemerintah. Pengamat Hukum Energi dan Pertambangan Universitas Tarumanegara Ahmad Redi menyebut, rencana kenaikan ini merupakan sesuatu yang wajar dalam rangka meningkatkan penerimaan negara.
Saat ini, kata Redi, royalti batu bara untuk Izin Usaha Pertambangan (IUP) hanya 4%-7% sesuai kualitas (kalori) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) sebesar 13,5%.
"Momentum kenaikan batu bara ini menjadi momentum bagi negara untuk memperoleh manfaat yang lebih besar dari ekspor batu bara," ucapnya kepada Alinea.id, Jumat (11/3).
Akan tetapi, menurutnya, besaran kenaikan royalti batu bara juga harus mempertimbangkan besaran yang rasional dan berkeadilan bagi perusahaan tambang.
"Mengingat perusahaan tambang saat ini juga dibebani PPn 10% sesuai UU CK dan pajak karbon sesuai UU HPP," ujarnya.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu bara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia menyampaikan, jika pihaknya memahami soal keinginan pemerintah ini dan mengaku tidak keberatan. Akan tetapi, pihaknya meminta agar kenaikan tarif royalti ini tidak terlalu membebani bagi pengusaha atau masih dalam batas kemampuan pengusaha.
"Intinya kami memahami keinginan pemerintah untuk menaikkan tarif royalti dan pada prinsipnya tidak keberatan," ucapnya kepada Alinea.id, Kamis (10/3).
Hendra menyebut, jika outlook batu bara kedepannya akan semakin berat. Seperti diketahui, transisi energi ke energi terbarukan membuat komoditas seperti batu bara semakin ditinggalkan.
"Ada dua PP yang akan diterbitkan, revisi PP 91/2018 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang antara lain akan mengatur tarif royalti batu bara bagi pemegang IUP, dan PP tentang Perlakuan Perpajakan Industri batu bara yang akan mengatur tarif royalti bagi pemegang IUPK OP," ujarnya.