Suku bunga acuan The Federal Reserve (The Fed) berada di level 5,25%-5,50%. Angka ini disebut menjadi yang tertinggi sejak lebih dari dua dekade lalu. Lalu apa dampaknya bagi ekonomi global dan bagaimana pengaruhnya terhadap ekonomi domestik Indonesia?
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira Adhinegara menjelaskan, kenaikan suku bunga oleh bank sentral Amerika Serikat sangat jelas memiliki pengaruh bagi negara-negara berkembang. Namun bagi Indonesia, kenaikan ini ternyata tidak memiliki pengaruh yang signifikan.
“Tetapi untuk kasus Indonesia itu agak menarik. Ketika suku bunga negara maju seperti The Fed, biasanya kita juga melakukan hal yang sama, seperti yang dilakukan oleh Bank Indonesia (BI). Tetapi kali ini berbeda, kenaikan suku bunga dari The Fed ternyata tidak diikuti oleh kenaikan suku bunga BI. Faktornya banyak, karena menaikan suku bunga secara agresif dapat berdampak pada pinjaman konsumen yang akan jauh lebih mahal dan akan mengganggu pemulihan konsumsi domestik. Selain itu, banyak industri yang juga akan terpengaruh dengan kenaikan suku bunga tersebut,” papar dia dalam keterangan resminya, Selasa (15/8).
Bhima bahkan menganalisis, roda ekonomi Indonesia lebih terhubung dengan pergerakan China ketimbang Amerika, sehingga kenaikan suku bunga The Fed tidak secara otomatis mengganggu pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Ini karena China adalah salah satu negara asal investasi yang terbesar, dan mitra investasi Indonesia. Selain itu, China adalah mitra dagang. Di mana ekspor ke China itu bisa seperempat dari total ekspor Indonesia, dan itu tentu sangat memengaruhi ekoomi nasional.
Bhima menyebutkan riset sebuah studi, bahwa setiap satu persen penurunan ekonomi yang terjadi di Amerika Serikat, pengaruhnya ke Indonesia hanya 0,01%. Namun jika ekonomi China turun 1% saja dalam PDB mereka, maka imbas ke Indonesia bisa mencapai 0,3%.
“Jadi kita lebih sensitif dengan ekonomi China. Sehingga kenaikan suku bunga AS belum tentu berdampak langsung ke capital market maupun surat utang di Indonesia, setidaknya dalam jangka waktu yang dekat,” tambahnya.
Meski fundamental ekonomi nasional kuat, Bhima menyatakan, pada tahun depan Indonesia perlu mewaspadai gejolak ekonomi yang akan terjadi. Pasalnya pada semester II-2023 dan 2024, akan banyak dinamika yang terjadi.
The Fed tetap penting untuk diperhatikan tetapi mesti ditambah dengan faktor-faktor lainnya sehingga kita bisa mitigasi beberapa risiko. Inflasi di Indonesia saat ini masih bisa ditahan, cadangan devisanya masih bagus, suku bunga pun masih bisa ditahan, tetapi kalau Amerika suku bunganya masih terus 5,25%, maka Indonesia harus menawarkan bunga.
Bila ada penyesuaian jangka panjang, kasihan industri karena suku bunga pinjaman juga akan menjadi mahal dan pengaruhnya juga pada penyaluran pertumbuhan kredit perbankan dan berdampak pada imbal hasil yang harus ditawarkan oleh berbagai instrumen investasi di Indonesia,” katanya.
Bhima juga meyakini ekonomi kuartal III-2023 akan banyak tantangan yang mesti diwaspadai, terutama mengenai ketidakseimbangan antara pendapatan dan kebutuhan.
“Di kuartal III ini, ada kebutuhan yang terus meningkat, meskipun inflasi kita terbilang cukup baik dan terkendali bahkan agak sedikit menurun, tetapi yang perlu diketahui di kuartal II adalah ini tidak ada momen musiman dimana masyarakat bergerak untuk berwisata secara masif, itu tantangannya. Di kuartal III biasanya belanja pemerintah mulai meningkat tetapi belum setinggi di kuartal IV. Meski begitu, kemungkinan pertumbuhan pada kuartal III berada pada kisaran 4,9%,” katanya.
Sementara itu, Co-Founder Tumbuh Makna,Benny Sufami memprediksi, situasi ekonomi global tidak memberikan tekanan yang signifikan bagi ekonomi domestik di Indonesia. Karena faktanya ekonomi nasional pada kuartal II sangat baik, khususnya angka PDB Indonesia yang berada di atas 5% dengan tren inflasi yang relatif stabil, yang tentunya menunjukan sentimen positif.
“Berdasarkan data riset yang Tumbuh Makna peroleh, ekonomi kuartal II-2023 PDB kita 5,17%. IMF menyatakan maksimal pertumbuhan ekonomi dunia hanya akan bertumbuh maksimal 3%, itu sudah cukup bagus bagi ekonomi domestik kita. Itu sudah cukup baik di tengah kondisi tekanan ekonomi global. Kedua, data inflasi awal bulan sudah diumumkan, dan hasilnya inflasi harga konsumen lebih rendah dari kuartal sebelumnya yakni dari 3,52% ke 3,08% (yoy),” katanya.