Layanan jasa pinjaman online berbasis teknologi atau Financial Technology (Fintech) peer-to-peer (P2P) lending kini sedang berkembang di Indonesia. Hanya dengan mengunduh aplikasi, mengisi formulir dan mengunggah kartu identitas, kita bisa mendapatkan dana segar untuk kebutuhan.
Dengan semakin berkembangnya fintech P2P, semakin banyak pula layanan fintech P2P yang ilegal. Adapun fintech ini bisa merugikan karena memasang bunga yang sangat tinggi, denda harian yang besar, pemotongan biaya administrasi yang hampir separuh pinjaman, hingga pembacaan data kontak di handphone pengguna.
Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Hendrikus Passagi mengungkapkan terdapat indikasi debitur-debitur fintech P2P yang sengaja tidak membayar kembali utangnya.
"Bahasa sederhananya ada yang pinjam sengaja ngemplang ke-19 fintech lending ilegal. Jadi adalah tempat pertemuan mereka yang berkarakter buruk melalui transaksi online," ujar Hendrikus.
Senada, Wakil Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Sunu Widyatmoko mengatakan, debitur yang merasa dirugikan oleh bunga yang dianggap mencekik ini sengaja menghindari kewajiban membayar pinjaman yang mereka terima.
Pasalnya, jika memang memiliki etikat untuk membayar, seharusnya debitur tersebut melakukan pinjaman sesuai dengan kemampuan yang dia miliki.
Hingga September 2018, OJK mencatat ada 73 fintech P2P lending. Sampai saat ini baru satu perusahan fintech yang mengantongi tanda terdaftar dan izin sekaligus, yaitu Danamas. Sisanya baru mengantongi tanda terdaftar saja.
Dengan demikian, diluar daftar fintech P2P lending yang terdaftar di OJK merupakan fintech ilegal. Hendrikus menjelaskan ada beberapa ciri-ciri untuk fintech ilegal tersebut.
Pertama, fintech ilegal sengaja menyamarkan identitas perusahaannya, kemudian alamat perusahaan juga tak pernah dicantumkan dalam aplikasi atau laman.
"Jadi kalau ada seseorang ingin melaporkan atau menyampaikan gugatan ke polisi, maka pencarian alamat tidak akan pernah ketemu. Mereka sejak awal mendirikan memang sudah memiliki niat yang jahat," kata Hendrikus di Gedung Wisma Mulia 2, Jakarta, Selasa (13/11).
Kedua, fintech ilegal memberikan pinjaman dengan sangat mudah. Begitu calon nasabah mengisi formulir maka dana bisa langsung dicairkan.
"Sangat mudah memberi pinjaman, ini menggiurkan. Kalau fintech legal tidak mungkin semudah itu, akan ditanya kerja di mana, slip gaji, kemudian ada proses selanjutnya," ujar dia.
Ketiga, yaitu bunga tinggi diakumulasi harian dan tanpa batas. Keempat, fintech ilegal mampu mengakses data kontak dan data pribadi. Jadi ketika gagal membayar, hal itu yang digunakan oleh mereka untuk meneror. Tapi ketika anda diteror dan melapor polisi akan terap sulit karena kondisinya tak bisa dicari alamat perusahaan tersebut.
"Sedangkan untuk fintech legal sangat dilarang untuk mengakses data pribadi pengguna dengan alasan hukum. Fintech legal juga dilarang menagih di luar jam kerja," pungkasnya.