close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi stasiun pengisian bahan bakar (SPBU). Foto Unsplash.
icon caption
Ilustrasi stasiun pengisian bahan bakar (SPBU). Foto Unsplash.
Bisnis - Makro Ekonomi
Rabu, 04 Desember 2024 19:31

Kenapa perlu reformasi subsidi energi?

Subsidi energi yang tidak tepat sasaran menjadi tantangan utama di tengah fluktuasi harga komoditas energi.
swipe

Subsidi energi yang tidak tepat sasaran menjadi tantangan utama di tengah fluktuasi harga komoditas energi. Pemerintah didorong segera melakukan reformasi subsidi. 

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti mengatakan pengeluaran subsidi energi dan kompensasi energi terus meningkat seiring lonjakan harga komoditas global, sementara konsumsi energi bersubsidi didominasi oleh masyarakat mampu.

Hal ini menambah tekanan pada ruang fiskal yang semakin terbatas karena meningkatnya pembayaran utang dan penurunan penerimaan pajak.

"Kita akui subsidi energi ini belum tepat sasaran. Saya sendiri kalau di SPBU (stasiun pengisian bahan bakar) masih melihat mobil-mobil yang mewah mengantre di Pertalite. Subsidi tidak dinikmati oleh yang kelompok yang seharusnya," ujarnya, belum lama ini.

Beban berat subsidi energi 

Laporan Proyeksi Ekonomi Indonesia 2025 yang dirilis oleh Indef menyebut, dunia menghadapi risiko besar fluktuasi harga komoditas energi global. Risiko geopolitik terutama yang bersumber dari perang Rusia dan Ukraina serta genosida yang dilakukan Israel terhadap Palestina, Lebanon, dan negara-negara Arab di sekitarnya masih terus meningkat. 

Berkaca pada pengalaman pada 2022, pascapecah perang Rusia-Ukraina, harga minyak mentah Indonesia (ICP) menembus US$100 per barel, melebihi asumsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022 sebesar US$63/barel dan mendorong lonjakan anggaran subsidi dan kompensasi energi dari Rp152,5 triliun menjadi Rp551,2 triliun, yang terdiri dari subsidi energi Rp171,9 triliun dan kompensasi energi Rp379,3 triliun. 

Selain kenaikan subsidi dan kompensasi energi karena meningkatnya harga ICP dan pelemahan nilai tukar rupiah, juga dikarenakan terlampauinya volume kuota Solar bersubsidi dan Pertalite. Pada 2022, kuota Solar bersubsidi sebanyak 15,6 juta kiloliter (KL), namun realisasinya mencapai 17,61 juta KL atau lebih tinggi 12,88% dari kuota. Lalu kuota Pertalite sebanyak 23,05 juta KL dan realisasinya mencapai 29,48 juta KL, atau lebih tinggi 27,8% dari kuota.

Tekanan fiskal yang terjadi pada 2022 tersebut masih bisa dilalui karena defisit fiskal masih dapat diperlebar lebih dari 3% terhadap produk domestik bruto (PDB), sebagai konsekuensi penerapan UU No.2 Tahun 2020. Namun fleksibilitas fiskal tersebut hanya berlaku untuk periode 2020-2022 dan sejak 2023 harus kembali pada fase konsolidasi fiskal di mana defisit fiskal harus kembali ke bawah 3% terhadap PDB. Artinya, jika harga komoditas energi khususnya minyak mentah dan bahan bakar minyak (BBM) kembali mengalami lonjakan di tahun mendatang, maka ruang fiskal untuk meredam risiko tersebut semakin terbatas.

Di tahun 2024, harga minyak masih suram. Sepanjang Januari hingga 7 November 2024, harga minyak mentah dunia jenis Brent tercatat turun 3,5% secara year to date (ytd) menjadi US$74,5 per barel. Pada periode yang sama, harga natural gas meningkat 3,6% secara ytd menjadi US$2,7 per millions of british thermal units (MMBtu). Sedangkan harga komoditas kelapa sawit alias crude palm oil (CPO) menunjukkan peningkatan hingga 41,1% secara ytd menjadi US$1.132,2 per ton. 

"Meskipun harga minyak dunia cenderung menurun namun kondisi ini lebih disebabkan faktor lesunya permintaan akibat masih melemahnya akitivitas manufaktur global yang tercermin dari PMI (Purchasing Managers' Index) manufaktur yang berada di zona kontraksi," tulis laporan tersebut. 

Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi Indonesia cenderung melambat sepanjang 2024 sehingga berdampak terhadap kinerja penerimaan perpajakan. Buktinya, hingga 31 September 2024 realisasi penerimaan pajak mengalami kontraksi hingga 2,38%. Selain itu, defisit APBN juga mencapai Rp243,35 triliun atau setara dengan 1,08% terhadap PDB. Padahal pada periode yang sama tahun 2023 lalu, defisit APBN masih tercatat surplus 0,33% terhadap PDB atau senilai Rp67,90 triliun.

Sepanjang 2014 hingga 2024 (outlook), anggaran subsidi Indonesia meningkat. Peningkatan terjadi ketika ekonomi global tertekan sehingga pemerintah harus menambah subsidi dan kompensasi kepada masyarakat.

Di tengah terus meningkatnya kebutuhan belanja subsidi dan kompensasi energi tersebut, ruang fiskal khususnya dari sisi alokasi belanja pemerintah pusat semakin terbatas. Beban pemerintah pusat untuk pembayaran bunga utang semakin besar mengingat meningkatnya tren suku bunga dunia serta rendahnya rasio penerimaan pajak Indonesia sehingga defisit fiskal masih akan bergantung terhadap penarikan utang baru.

Urgensi reformasi subsidi energi

Sementara itu, perkembangan realisasi subsidi dan kompensasi per 31 Oktober 2024 telah mencapai Rp327 triliun atau tumbuh 11,3% dibandingkan periode yang sama tahun 2023. Realisasi subsidi tersebut terdiri atas subsidi energi Rp139,6 triliun, subsidi nonenergi Rp72,3 triliun, dan kompensasi Rp115,1 triliun. Lebih spesifik lagi, realisasi subsidi BBM telah mencapai 13,47 juta KL atau meningkat 1,1% dibandingkan periode yang sama tahun 2023. Begitupun dengan realisasi LPG 3 kg telah mencapai 6.131 juta kg per Oktober 2024 atau meningkat 1,3% dibandingkan Oktober 2023. Sementara itu, realiasi listrik bersubsidi telah menjangkau 41,3 juta pelanggan atau meningkat 4,3% secara tahunan alias year on year (yoy).

Di tahun 2025, kapasitas fiskal dalam menyerap gejolak harga energi global melalui instrumen subsidi dan kompensasi akan menghadapi tantangan. Terlebih lagi di tengah risiko tekanan terhadap penerimaan pajak sebagai akibat rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% dan meningkatnya beban belanja pemerintah pascapenambahan jumlah kementerian atau lembaga.

"Risiko fiskal akan meningkat ketika terjadi kenaikan pada variabel penentu besaran subsidi dan kompensasi energi, terutama variabel harga minyak mentah Indonesia (ICP) dan nilai tukar rupiah," tulis laporan yang sama.

Adapun total subsidi energi yang dialokasikan pada APBN 2025 mencapai Rp204,5 triliun, terdiri atas subsidi jenis BBM tertentu dan LPG tabung 3 kg sebesar Rp114,3 triliun dan subsidi listrik sebesar Rp90,2 triliun. Perhitungan anggaran subsidi jenis BBM tertentu dan LPG tabung 3 kg tahun 2025 tersebut menggunakan asumsi dan parameter, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika serikat (AS) dan ICP; subsidi terbatas minyak solar sebesar Rp1.000 per liter; volume BBM jenis solar sebesar 18,8 juta kiloliter dan minyak tanah sebesar 525 ribu kiloliter; dan volume LPG tabung 3 kg sebesar 8,17 juta metrik ton.

Apalagi, data historis menunjukkan konsumsi BBM dan LPG bersubsidi cenderung meningkat selama periode 2019–2024. Penyebabnya, fenomena shifting konsumen dari produk nonsubsidi ke produk bersubsidi yang didorong adanya disparitas harga yang tinggi antar kedua produk tersebut. Fenomena migrasi konsumen tersebut akan memicu terjadinya risiko over kuota BBM dan LPG bersubsidi di tengah rezim subsidi terbuka.

Menurut Indef, reformasi subsidi energi sebaiknya tidak dilakukan dengan langkah yang setengah-setengah yaitu pembatasan penjualan BBM subsidi berbasis kendaraan. Seharusnya mekanisme penyaluran subsidi energi dapat dibuat secara langsung dan tertutup (targeted) berbasis rumah tangga sebagaimana skenario awal pemerintah.

Namun demikian, dalam jangka pendek pemerintah dapat menerapkan kebijakan subsidi langsung dengan tahapan transisi di mana kelompok menengah bawah masih dapat dipertimbangkan untuk mendapatkan subsidi BBM dan LPG. Hal ini dilakukan untuk melindungi daya beli kelompok masyarakat tersebut.

"Pengeluaran subsidi dan kompensasi energi harus direformulasi lagi di tengah tekanan terhadap ruang fiskal yang semakin terbatas. Pemerintah harus didorong untuk segera mengubah mekanisme subsidi yang tadinya terbuka ke tertutup jadi targeted, tidak ke kelompok yang tidak seharusnya mendapat subsidi," tutur Esther. 

img
Satriani Ari Wulan
Reporter
img
Satriani Ari Wulan
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan