Kenapa publik mendesak pemerintah batalkan PPN 12%?
Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada tahun depan mendapatkan penolakan dari masyarakat. Selain petisi daring bertajuk "Pemerintah, Segera Batalkan Kenaikan PPN!" yang mengumpulkan lebih dari 100.000 tanda tangan, sebagian kalangan juga turun ke jalan.
Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat mengatakan petisi yang ditandatangani oleh ratusan ribu warga tidak hanya menjadi alat protes, tetapi juga representasi aspirasi publik yang mendesak.
Tingginya jumlah tanda tangan dalam bit.ly/pajakmencekik menunjukkan kebijakan kenaikan PPN tidak diterima oleh sebagian besar masyarakat.
"Banyak warga merasa pemerintah cenderung memilih jalan yang mudah untuk meningkatkan penerimaan negara tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap kesejahteraan rakyat," kata Achmad, Jumat (20/12).
Insentif setengah hati
Rencana pemerintah menaikkan PPN menjadi 12% pada Januari 2025 didasarkan pada UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara, yang diproyeksikan menambah sekitar Rp100 triliun per tahun dari sektor pajak konsumsi.
Namun, Achmad bilang, kenaikan ini dapat meningkatkan inflasi hingga 0,5% pada tahun pertama implementasi, terutama berdampak pada harga kebutuhan pokok dan barang lainnya.
Meski berpotensi menambah pendapatan negara, pemerintah juga harus mengeluarkan anggaran untuk mengguyur stimulus guna mengungkit daya beli masyarakat.
"Pemerintah perlu mempertimbangkan dampak pada pengeluaran lain untuk stimulus yang mungkin diperlukan guna meredam tekanan kenaikan harga terhadap daya beli masyarakat," katanya.
Pemerintah menyiapkan Paket Kebijakan Ekonomi untuk Kesejahteraan dengan total nilai Rp445,5 triliun atau 1,83% dari produk domestik bruto (PDB). Rincian paket ini mencakup 15 jenis insentif fiskal dan nonfiskal, termasuk pembebasan PPN untuk bahan kebutuhan pokok seperti beras, daging, ikan, telur, dan gula konsumsi.
Lalu, PPN ditanggung pemerintah (DTP) sebesar 1% sehingga hanya dikenakan tarif 11% untuk barang kebutuhan pokok strategis seperti tepung terigu dan minyak goreng curah; bantuan pangan berupa 10 kilogram beras per bulan untuk 16 juta masyarakat di desil 1 dan 2; diskon tarif listrik sebesar 50% selama Januari hingga Februari 2025; dan insentif untuk sektor usaha, termasuk pajak penghasilan atau PPh final usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) 0,5%.
Selain itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, dalam konferensi pers Paket Kebijakan Ekonomi di Jakarta juga mengatakan akan membebaskan PPh Pasal 21 bagi pekerja dengan gaji Rp4,8 juta hingga Rp10 juta per bulan, khusus untuk pekerja di sektor industri padat karya.
Airlangga juga menyinggung upaya pemerintah untuk mengoptimalkan jaminan kehilangan pekerjaan melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. Salah satu perubahan yang diterapkan adalah memperpanjang masa klaim hingga enam bulan dengan manfaat sebesar 60% dari upah bulanan. Tujuannya, guna memberikan perlindungan bagi pekerja yang menghadapi risiko kehilangan pekerjaan, terutama di tengah kondisi ekonomi yang menantang.
Paket kebijakan tersebut dirancang untuk meredam tekanan inflasi akibat kenaikan PPN dan mendukung daya beli masyarakat yang rentan.
Namun di sisi lain, jika tidak ada kenaikan PPN, pemerintah tak perlu belanja stimulus sebesar Rp445,5 triliun, sehingga efisiensi anggaran dan keberlanjutan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bisa tercapai lebih kuat.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan stimulus tersebut bersifat parsial dan belum memberikan dampak signifikan.
“Misalnya pembebasan PPh 21 hanya berlaku untuk industri padat karya, sementara pekerja di sektor lainnya tidak mendapatkan insentif serupa. Kebijakan ini terasa setengah hati karena tidak ada kejelasan durasi pemberlakuannya,” tutur Bhima kepada Alinea.id, Rabu (18/12).
Menurut Bhima, pelemahan daya beli di sektor formal terancam akan berlanjut karena keterbatasan paket kebijakan stimulus pemerintah. “Kebijakan tersebut terbilang nanggung, parsial, dan tidak ada kejelasan waktu sampai kapan,” lanjutnya.
Yang harus dilakukan pemerintah
Sementara Achmad menyebut pemerintah seharusnya mendengarkan suara rakyat. Kegagalan merespons penolakan secara tepat dapat menimbulkan erosi kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Alih-alih mengerek PPN hingga 12%, pemerintah bisa mengoptimalkan pajak digital. Saat ini, perkembangan ekonomi digital di Indonesia sangat pesat, tetapi penerimaan pajak dari sektor ini masih belum maksimal.
Pada 2023, sektor ekonomi digital Indonesia diproyeksikan mencapai nilai transaksi sebesar US$77 miliar, dan terus meningkat setiap tahun.
"Namun, kontribusi pajak dari sektor ini masih berada di bawah 5% dari total penerimaan pajak," kata Achmad.
Pemerintah perlu memperbaiki mekanisme pemungutan pajak dari platform digital, termasuk e-commerce, layanan streaming, aplikasi ride-hailing, dan marketplace daring.
Salah satu langkah yang dapat diambil adalah peningkatan pengawasan dan penegakan aturan terhadap perusahaan digital asing yang beroperasi di Indonesia. Misalnya, katanya, banyak perusahaan digital global masih belum terdaftar sebagai wajib pajak resmi di Indonesia, sehingga pemerintah kehilangan potensi penerimaan pajak yang signifikan.
Dia menghitung, jika pemerintah dapat mengenakan pajak yang adil pada transaksi digital, termasuk PPN dan PPh untuk pelaku usaha digital, penerimaan negara dari sektor ini diperkirakan dapat mencapai tambahan Rp70 triliun hingga Rp100 triliun per tahun.
Sebagai perbandingan, negara seperti Inggris telah mengimplementasikan pajak digital khusus yang dikenal sebagai Digital Services Tax (DST). Pajak ini menetapkan tarif sebesar 2% untuk pendapatan perusahaan teknologi dari pengguna domestik. Dalam tahun pertama penerapannya, DST Inggris berhasil mengumpulkan lebih dari US$700 juta.
Sementara itu, Prancis juga telah memberlakukan pajak digital serupa dengan tarif 3%, yang menyasar raksasa teknologi seperti Google, Amazon, dan Facebook.
"Indonesia dapat mempelajari model ini dan menyesuaikannya dengan kondisi lokal," katanya.
Selain itu, pemerintah Indonesia juga bisa memperkenalkan skema kerja sama dengan platform digital untuk mempermudah pelaporan dan pemungutan pajak. Contohnya, Korea Selatan menggunakan integrasi data waktu nyata antara platform e-commerce dan otoritas pajak untuk memastikan semua transaksi tercatat secara akurat.
Model seperti ini disebut dapat diterapkan di Indonesia untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas.
Dengan optimalisasi kebijakan pajak digital, pemerintah tidak hanya dapat meningkatkan penerimaan negara secara signifikan, tetapi juga menciptakan iklim persaingan yang lebih adil bagi pelaku usaha lokal dan global. Langkah ini disebut mengurangi ketergantungan pada pajak konsumsi tradisional yang membebani masyarakat umum.
Selain itu, pemerintah bisa mereformasi PPh untuk golongan atas; memperbaiki tata kelola pemungutan PPN; evaluasi paket bebas pajak untuk investasi pertambangan dan hilirisasi; efisiensi belanja negara; serta pengembangan ekonomi hijau.