close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi utang. Foto Freepik.
icon caption
Ilustrasi utang. Foto Freepik.
Bisnis - Makro Ekonomi
Senin, 07 Oktober 2024 20:34

Kenapa utang RI melonjak di era Jokowi?

Utang pemerintah dalam satu dekade kepemimpinan Presiden Joko Widodo atau Jokowi naik 224,42%.
swipe

Utang pemerintah dalam satu dekade kepemimpinan Presiden Joko Widodo atau Jokowi naik 224,42%. Pada 2014, outstanding utang tercatat sebesar Rp2.608 triliun yang kemudian meningkat signifikan menjadi Rp8.461,93 triliun per Agustus 2024 atau setara 38,49% terhadap produk domestik bruto (PDB). Komposisinya terdiri atas surat berharga negara (SBN) Rp7.452,65 triliun dan pinjaman senilai Rp1.009,37 triliun.

Dalam Seminar Nasional - Evaluasi 1 Dekade Pemerintahan Jokowi yang ditayangkan kanal Youtube Indef, Kamis (3/10), Deputi III Kepala Staf Kepresidenan Edy Priyono mengatakan, utang yang terus meningkat karena sejalan dengan kapasitas ekonomi dan kebutuhan uang yang meningkat. Bahkan, pemerintah mengambil 20% dari total pengeluaran negara untuk membayar cicilan utang. 

Catatan Alinea.id, era pemerintahan Jokowi mengejar pembangunan yang masif di berbagai sektor, termasuk pembangunan infrastruktur. Data Kementerian Keuangan menunjukkan anggaran infrastruktur naik dari Rp154,6 triliun di 2014 menjadi Rp392 triliun pada outlook 2023 dan Rp427,7 triliun dalam Rancangan Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2024.

Selain itu, ujar Edy, utang baru menjadi sumber dana untuk membayar utang. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kerap mencatatkan keseimbangan primer yang negatif. Artinya, pemerintah harus membayar cicilan utang dengan mengambil utang baru. 

"Utang saat ini masih sesuai dengan regulasi yang ada karena UU Keuangan Negara mengizinkan utang pemerintah hingga 60% terhadap PDB (produk domestik bruto). Saat ini utang pemerintah tidak sampai 40% terhadap PDB," kata Edy yang hadir mewakili Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, dikutip Senin (7/10).

Di sisi lain, terjadi defisit anggaran lantaran belanja negara yang lebih besar ketimbang pendapatan. Utang digunakan untuk menambal defisit tersebut.

"Utang muncul dari defisit anggaran," ujar Edy. 

Menilik data Kementerian Keuangan dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), defisit anggaran pada pemerintahan Jokowi semakin melebar dibandingkan pada masa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) seiring dengan belanja negara yang mengalami peningkatan cukup tajam.

Rata-rata defisit anggaran selama periode 2005-2014 mencapai Rp90,9 triliun per tahun, selanjutnya pada periode 2015-2019 rata-rata defisit anggaran semakin melebar menjadi Rp313,2 triliun per tahun bahkan pada periode 2020-2024 melambung dua kali lipat menjadi Rp638,48 triliun per tahun akibat adanya pandemi Covid-19.

Edy mengakui, ada dua cara yang dapat memecahkan masalah utang, yakni menambah penerimaan negara atau mengurangi belanja negara. Namun, keduanya rumit untuk diterapkan. 

Dia bilang, strategi menambah penerimaan negara melalui pajak sering mendapatkan respons negatif dari masyarakat. Belum lagi, masyarakat tengah menekan daya beli.

Upaya untuk menerapkan efisiensi atau menekan belanja negara juga tak mudah.

"Sampai sekarang pemerintah juga masih struggle, dalam arti berjuang, untuk meningkatkan kualitas belanja. Banyak belanja-belanja kementerian atau lembaga yang bisa dilakukan secara lebih efisien," ujarnya.

Pertumbuhan ekonomi

Sayangnya, tingginya utang dalam 10 tahun terakhir tak mampu mendorong pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi di era Jokowi stagnan sebesar 5% per tahun.

Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Didin S Damanhuri mengatakan pertumbuhan ekonomi 5% belum cukup untuk melepaskan Indonesia dari middle income trap atau negara berpenghasilan menengah serta deindustrialisasi dini. Didin berkaca pada pemerintahan Presiden SBY yang sanggup mencapai pertumbuhan ekonomi di 5,7% dan Presiden Soeharto di angka 7%.

Didin menyampaikan, sektor pertanian dan industri pengolahan yang banyak menyerap tenaga kerja tumbuh relatif lebih rendah dibanding rata-rata nasional. Dus, pertumbuhan ekspor yang tinggi masih banyak didominasi oleh sektor hulu yang kurang melibatkan perekonomian rakyat.

Kemudian, ucap Didin, terjadi peningkatan tenaga kerja informal sebagai dampak dari pandemi Covid-19. Kondisi itu mengakibatkan turunnya kesejahteraan kelas menengah. 

Menurutnya, pemerintah terlalu fokus pada PDB sebagai alat ukur sehingga mengakibatkan trickle-up kekayaan ke elite bisnis di kota-kota besar, alih-alih ke daerah. Maka dari itu ia berharap, Prabowo dapat menggeser orientasi PDB ke basis kelanjutan dan keadilan.

"Hal ini dapat dilihat dengan meningkatnya kesenjangan antargolongan pendapatan dengan parameter Indeks Oligarki yang meningkat di 2023 dibandingkan 2014," ucap Didin.

img
Immanuel Christian
Reporter
img
Satriani Ari Wulan
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan