Kepak bisnis waralaba terhantam Corona
Subway, restoran cepat saji dari Amerika Serikat kembali hadir di Indonesia. Sebelumnya, kehadiran waralaba/franchise dengan menu roti lapis itu diduga hanya isapan jempol semata. Bisnis makanan dan minuman (food and beverages/F&B) dengan konsep waralaba di Indonesia pun menjadi kian ramai.
Kabar Subway yang bakal membuka beberapa gerainya di Jabodetabek pada Kuartal-IV 2021 itu sontak mendapat sambutan meriah dari masyarakat. “Bener-bener enggak sabar untuk cobain (sandwich Subway-red). Karena dia banyak jadi sponsor di drama Korea, terus kan banyak muncul adegan tokohnya lagi makan di Subway dan itu kelihatan enak banget,” kata salah seorang mahasiswa Universitas Padjajaran Iffah Shofiyah Arriefah (19) saat berbincang dengan Alinea.id, Selasa (31/8).
Subway sendiri resmi menjalin kerja sama dengan anak perusahaan dari peritel makanan dan minuman PT. Mitra Adiperkasa Tbk. (MAP), PT. Sari Sandwich Indonesia, Senin (23/8) lalu. Kerja sama tersebut sekaligus menjadi awal kembalinya jaringan sandwich terbesar di dunia itu ke Indonesia, setelah sebelumnya sempat hengkang pada 1998.
Subway memang bukanlah satu-satunya waralaba yang akan masuk ke Indonesia. Ketua Perhimpunan Waralaba dan Lisensi Indonesia (WALI) Levita Supit mengungkapkan, ada beberapa franchise asing yang tengah menimbang-nimbang untuk melebarkan sayap bisnisnya ke Tanah Air. Beberapa waralaba tersebut antara lain berasal dari Timur Tengah, Amerika Serikat dan Eropa. Semuanya berasal dari lini F&B.
“Kalau untuk namanya masih belum bisa (disebutkan-red). Tapi kemungkinan mereka akan masuk 2022,” ujar dia kepada Alinea.id, Rabu (8/9).
Levita bilang, hadirnya franchise asing di Tanah Air dapat menjadi bukti bahwa Indonesia merupakan pasar yang seksi bagi bisnis waralaba dunia. Selain karena jumlah penduduk yang banyak, pelaku waralaba asing juga tertarik dengan karakteristik bangsa Indonesia. Masyarakatnya dikenal gemar menghabiskan waktu untuk sekadar nongkrong di restoran maupun warung kopi (coffee shop).
Tak hanya pelaku waralaba asing, pengusaha-pengusaha waralaba dalam negeri pun banyak yang berpikir demikian. Hal itu lah yang kemudian membuat pertumbuhan bisnis waralaba semakin menjamur beberapa tahun belakangan.
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, sepanjang 2018 hingga 2021 pemerintah telah menerbitkan sebanyak 107 Surat Tanda Pendaftaran Waralaba (STPW) untuk pemberi waralaba dalam negeri dan 120 STPW untuk pemberi waralaba luar negeri.
Angka itu jelas meningkat jika dibandingkan STPW yang diberikan pemerintah pada periode 2013-2018. Saat itu hanya ada 90 pemberi waralaba dalam negeri yang diberikan STPW dan 83 STPW untuk pemberi waralaba luar negeri.
Sementara itu, dari 107 pelaku usaha yang menjalankan sistem bisnis waralaba sebagai Pemberi Waralaba dalam negeri sebanyak 58,37% merupakan pelaku usaha waralaba di bidang jasa makanan dan minuman, 15,31% bidang ritel, dan 13,40% bidang jasa pendidikan non formal. Kemudian disusul berurutan bidang jasa kecantikan dan kesehatan, jasa binatu serta jasa perantara perdagangan properti.
Waralaba lokal | Waralaba asing |
Kuliner: 40% | Kuliner: 60,7% |
Pendidikan: 11,9% | Pendidikan: 13,1% |
Ritel modern: 13,1% | Ritel modern: 11,9% |
Jasa kecantikan: 9% |
“Bisnis waralaba beberapa tahun belakangan ini kan memang lagi booming," sebutnya.
Hal itu tak lepas dari keinginan banyak orang menjadi enterpreneur. Di sisi lain, pemerintah mendukung pengembangan para wirausahawan ini demi mengurangi dampak Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Terhantam pandemi
Banyaknya waralaba asing yang masuk ke Tanah Air nyatanya tak seimbang dengan jumlah waralaba lokal yang mendunia. Apalagi, pertumbuhan bisnis waralaba pun terdampak pandemi Covid-19 seperti halnya sektor usaha lain. Bahkan, sejak pagebluk melanda Indonesia pada Maret 2020 lalu, waralaba nasional tak lagi bisa melebarkan sayapnya ke negeri orang.
“Yang go international dari sebelum pandemi. Pada saat pandemi, tentu tidak ada waralaba yang go International,” beber perempuan yang juga menjabat sebagai Ketua Komite Tetap Bidang Waralaba, Lisensi dan Kemitraan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia itu.
Selain itu, kondisi waralaba nasional yang ada di luar negeri pun tak kalah tertekan dibanding franchise-franchise yang ada di dalam negeri. Hal itu disebabkan oleh ketatnya kebijakan pembatasan wilayah di luar negeri.
“Contoh kecil Malaysia. Mereka PPKM-nya (pembatasan wilayah-red) lebih dahsyat dibanding Indonesia," sebutnya.
Artinya, pembatasan wilayah yang lebih kejam itu akan berdampak ke semua bisnis. Termasuk bisnis waralaba Indonesia yang ada di sana.
“Boro-boro keluar negeri. Mereka masih fokus pemulihan dulu nanti di Kuartal-IV 2021,” kata Pengamat Ritel Yongky Susilo.
Namun, hal tersebut lantas ditampik oleh Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Oke Nurwan. Menurutnya, saat ini kondisi ritel Indonesia sudah lebih baik, dibanding tahun 2020 lalu.
Seperti yang telah diketahui, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada Kuartal-II 2021 melejit hingga 7,07% secara tahunan (year on year/yoy). Pada periode yang sama, sektor perdagangan mengalami pertumbuhan sebesar 9,44% dan indeks penjualan ritel (eceran) kategori makanan, minuman serta tembakau yang juga diperkirakan mengalami lonjakan, yakni berada di level 19,3%.
“Semakin membaiknya ritel kita juga bisa dilihat dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang juga sudah semakin positif. Selama Kuartal-II kemarin sudah di atas 100 (107,4 poin-red),” urainya, saat dihubungi Alinea.id, Jumat (10/8).
Berdasarkan laporan tahunan kegiatan usaha waralaba tahun 2020 yang telah diolah Kementerian Perdagangan, waralaba telah berkontribusi sebesar 1,9% terhadap PDB Indonesia di tahun 2020.
Dengan total gerai yang berhasil dibuka dan dioperasikan mencapai 93.732 gerai, sehingga dapat menyerap sebanyak 628.622 tenaga kerja. Sedangkan omzet yang tercipta secara keseluruhan melalui waralaba di tahun 2020 ialah sebesar Rp54,4 Miliar.
"Harapan baru dari keberhasilan penemuan vaksin covid-19 juga menjadi semacam garis start baru bagi masyarakat untuk mulai berdamai dengan keadaan dan berusaha kembali menjalankan bisnis usahanya dengan lebih percaya diri," jelas Oke.
Tetap jadi pilihan
Meski berpeluang kembali mengalami gejolak, pada kenyataannya waralaba tetap menjadi pilihan masyarakat yang ingin menghasilkan pundi-pundi uang. Dia bilang, alasan waralaba menjadi salah satu pilihan bisnis yang menjanjikan bagi pelaku usaha adalah stigma sulitnya memulai usaha. Tidak sedikit pula yang merasa skill entrepreneurship tidak memadai.
"Menjalankan model bisnis waralaba, diibaratkan sebuah pijakan awal pelaku usaha telah dapat dipastikan," imbuhnya.
Apalagi, waralaba adalah model bisnis yang telah memiliki merek dan standar usaha yang jelas. Dengan begitu, mitra tidak perlu lagi menempuh cara coba-coba dalam menjalankan bisnis. Selain itu, adanya metode pemasaran yang jelas dikombinasikan dengan dukungan berkesinambungan dari Pemberi Waralaba. Ini menjadikan model bisnis waralaba minim risiko.
Di sisi lain, model investasi melalui kemitraan ini juga dapat menggerakkan aktivitas perdagangan usaha domestik, menyerap tenaga kerja dan produksi dalam negeri. Menciptakan inovasi produk waralaba dan hasil akhirnya dapat meningkatkan kontribusi industri ini pada Perekonomian Indonesia.
Oke mengatakan, melalui model bisnis ini, pemerintah hadir sebagai wasit. Pemberi dan Penerima Waralaba dapat berkonsultasi mengenai kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam mengelola bisnis waralabanya, sepanjang hal tersebut tertuang dalam Perjanjian Waralaba sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 Tentang Waralaba.
"Sejak tahun 2012 Kementerian Perdagangan secara rutin menyelenggarakan kegiatan Pendampingan Waralaba Nasional," beber Oke.
Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas dan skala usaha pelaku usaha waralaba berasal dari dalam negeri, melalui pelatihan mengenai sistem, manajemen dan operasional bisnis waralaba. Hasil akhir yang diharapkan dari kegiatan ini adalah peningkatan jumlah penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Waralaba atau STPW.
"Dengan kepemilikan STPW, waralaba bisa memperoleh kesempatan difasilitasi oleh Kementerian Perdagangan untuk mengikuti kegiatan seperti pameran waralaba, business matching dengan investor asing dan kegiatan pembinaan lainnya," tuturnya.
Melalui langkah-langkah itu, barulah waralaba nasional siap untuk go international. Meski tak banyak, Oke mengaku selama pandemi tetap ada franchise yang berhasil mengepakkan sayapnya di negeri orang. Beberapa diantaranya adalah J.Co Donuts dan Kebab Turki Baba Rafi.
CEO dan Founder Baba Rafi Group, Hendy Setiono mengatakan, rencananya untuk ekspansi ke luar negeri sebetulnya telah ada sejak pertengahan tahun 2020. Namun, dengan merebaknya wabah Covid-19 di seluruh dunia, pihaknya baru bisa merealisasikan rencana itu Desember 2020, dengan membuka sekitar 100 gerai Kebab Baba Rafi di Kolkata, India.
Menurut Hendy, alasannya memilih India sebagai tempat melebarkan kepak bisnisnya adalah karena negara tersebut memiliki populasi terbesar kedua di dunia. Selain itu, karakteristik demografi untuk masyarakat India hampir sama dengan masyarakat di Indonesia.
"Saya optimistis, produk Kebab Baba Rafi dapat diterima di India dan secara bisnis bisnis dapat berkembang pesat di sana," ujar dia, belum lama ini.
Sementara itu, untuk menarik minat konsumen di negara yang terkenal dengan film Bollywood-nya itu, Hendy melakukan beberapa penyesuaian pada produk Kebab Baba Rafi. Salah satunya dengan menyesuaikan rasa saus dan bumbu kebab, namun tanpa menghilangkan cita rasa dan karakteristik khas mereka.
Di saat yang sama, selain India, perusahaan juga sedang menjajaki peluang ekspansi ke beberapa negara seperti Amerika Latin dan Afrika. Dengan berbagai ekspansi globalnya ini, Hendy menargetkan Baba Rafi bisa menjadi salah satu pemain jaringan waralaba kebab terbesar dunia. Sejak didirikan pada 2003, hingga kini Baba Rafi telah memiliki 1300 outlet di 10 negara.
"Sebab, meski banyak pelaku usaha kuliner sejenis di beberapa negara, hingga kini belum ada pelaku usaha kebab yang memiliki jaringan outlet sebanyak Baba Rafi Grup," katanya bangga.
Hendy tak menampik pandemi Covid-19 juga berdampak terhadap kinerja perusahaan. Secara rata-rata penjualan Kebab Baba Rafi turun 30%, khususnya terhadap beberapa gerai yang berlokasi di dalam mal.
"Pandemi corona mempengaruhi bisnis Baba Rafi di Indonesia dan Malaysia. Terutama ketika banyak mal tutup, pembatasan sosial berskala besar (PSBB) serta larangan makan di tempat," ujarnya.
Namun, penurunan ini menurutnya mulai bisa diimbangi dengan pemesanan makanan via online. Dengan dukungan fitur ini, pergeseran pembeli melalui online tumbuh hingga enam kali lipat. Sehingga efek penurunan penjualan akibat Covid-19 bisa diminimalisir.
Sementara itu, pemilik JCO Donuts & Coffee Johnny Andrean beberapa waktu lalu mengatakan, pihaknya baru saja memperluas cakupan bisnisnya di Singapura. Dia bilang, peluang untuk ekspansi ke negara tetangga itu pada 2021 terbuka lebar karena kepercayaan konsumen Singapura cenderung terus membaik.
Meski begitu, pihaknya mengaku tetap berhati-hati dalam menjalankan rencana bisnisnya tersebut. Apalagi kondisi penyebaran Covid-19 di Singapura kembali masif. Kehati-hatian itu utamanya dilakukan dalam menentukan mal tempat ia akan membuka gerai barunya.
“Mal di pemukiman kunjungannya cenderung naik, sementara di wilayah turis memang turun seperti di Orchard. Penyebabnya selama work from home banyak pekerja yang memilih bertugas dari kafe,” tuturnya.
Dia menyebutkan penjualan JCO sempat terkoreksi sampai 50% ketika kebijakan circuit breaker atau pembatasan aktivitas diberlakukan secara ketat pada April sampai Mei 2020. Meski demikian, kapasitas penjualan langsung melesat di level 80% pada Juli setelah kebijakan ini berakhir dan berlangsung normal setelahnya.
Selain kepercayaan konsumen yang berangsur pulih, berlanjutnya bisnis di Singapura tak lepas dari berbagai stimulus yang digelontorkan pemerintah setempat. Dia mencatat sepanjang 2020 JCO telah menerima transfer uang tunai sebanyak 5 kali dari pemerintah setempat untuk menjamin upah pekerja tetap disalurkan dan tidak ada pemutusan hubungan kerja.
Meski pasar Singapura terbilang kecil dengan populasi sekitar 5,7 juta orang, tetapi jaminan stimulus ini memberi kepastian tersendiri bagi pelaku usaha. Dia mengemukakan penjualan di Singapura cenderung tak terkoreksi sedalam di Indonesia. Sebaliknya, di negara lain seperti Malaysia dan Uni Emirat Arab, penjualan JCO masing-masing tumbuh 5% dan terkoreksi 22%.
“Indonesia turun paling besar karena confidence konsumen menurun," tutupnya.