close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Satpol PP Klaten saat menggelar sosialisasi pencegahan peredaran rokok ilegal. Sumber: Instagram Satpol PP
icon caption
Satpol PP Klaten saat menggelar sosialisasi pencegahan peredaran rokok ilegal. Sumber: Instagram Satpol PP
Bisnis
Rabu, 09 November 2022 17:23

Kerugian negara akibat rokok ilegal pada 2022 senilai Rp407 miliar

Pemberantasan peredaran rokok ilegal akan berhasil jika seluruh pihak bekerja sama, baik dari pemerintah maupun masyarakat.
swipe

Kementerian Keuangan pada Kamis (3/11), mengumumkan kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) untuk rokok, rata-rata setiap golongan sebesar 10% di 2023 dan 2024. Kenaikan tarif cukai juga berlaku untuk produk hasil pengolahan tembakau lainnya (HPTL), yaitu rokok elektronik rerata naik 15% tiap tahunnya selama 5 tahun mendatang dan HPTL naik 6%.

Kenaikan tarif CHT terutama untuk rokok, menurut Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Ditjen Bea dan Cukai Nirwala Dwi Heryanto, berbanding lurus dengan peredaran rokok ilegal di Indonesia. Beban pungutan negara atas rokok legal yang tinggi menyebabkan pelaku peredaran rokok ilegal kian marak.

Pangkalnya, kenaikan tarif cukai membuat selisih harga rokok legal dan ilegal semakin terpaut jauh. Ditambah daya beli masyarakat usai pandemi Covid-19 masih cukup lemah, sehingga semakin memberi peluang rokok ilegal terserap banyak oleh masyarakat karena harganya lebih terjangkau.

"Saat ini, disparitas antara rokok ilegal dan legal itu mencapai 68%. Kalau tadinya sebelum pajak pertambahan nilai (PPN) naik itu sekitar 62%, tetapi begitu PPN naik dari 9,1% menjadi 9,9%, disparitasnya menjadi 68%," kata Nirwala dalam keterangannya, diterima Rabu (9/11).

Rokok ilegal yang ada di Indonesia bersumber dari produk dalam maupun luar negeri dengan tidak mengikuti aturan yang berlaku di wilayah hukum Indonesia. Untuk mencegah peningkatan persebarannya, maka diperlukan penegakan hukum yang tegas bagi pelaku penjualan rokok ilegal dengan sanksi administratif dan pidana yang sudah diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai.

Sanksi pidana yang dimaksud dalam UU tersebut adalah pidana penjara maksimal lima tahun dan atau denda maksimal sepuluh kali lipat dari nilai cukai yang seharusnya dibayar.

Dalam pemberantasan peredaran rokok ilegal tersebut, Nirwala mengklaim bahwa bea cukai saat ini masih terus meningkatkan pengawasan peredaran rokok ilegal melalui operasi “Gempur Rokok Ilegal”. Operasi ini berdasarkan data dari bea cukai, pada periode 2018 hingga 2022 terus meningkat dalam jumlah penindakan, namun barang hasil penindakan (BPH) cenderung menurun tiap tahunnya.

"Pada 2020, jumlah penindakan berjumlah 9.018 dengan kerugian negara mencapai lebih dari Rp662 miliar. Di 2021, jumlah penindakan naik menjadi 13.125 dengan kerugian negara mencapai Rp293 miliar. Sedangkan di 2022 hingga saat ini total penindakan meningkat menjadi 18.659 dengan total kerugian negara mencapai Rp407 miliar," rinci Nirwala.

Ia mengatakan, pemberantasan peredaran rokok ilegal akan berhasil jika seluruh pihak bekerja sama, baik dari pemerintah maupun masyarakat.

"Diharapkan dengan operasi Gempur Rokok Ilegal dapat meningkatkan kepatuhan pengusaha sehingga dapat menciptakan keadilan dan keseimbangan," tandas Nirwala.

Sebagai informasi, ciri-ciri rokok ilegal adalah rokok yang tidak dilekati pita cukai atau disebut rokok polos, dilekati dengan pita cukai yang tidak sesuai dengan peruntukannya, dilekati dengan pita cukai palsu, dilekati dengan pita cukai bekas.

img
Erlinda Puspita Wardani
Reporter
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan