Pengamat Ekonomi Industri dari Universitas Padjajaran, Maman Abdurahman, mengatakan perang tarif yang berkepanjangan bisa mengancam keberlangsungan bisnis industri digital, khususnya penyedia jasa transportasi berbasis aplikasi.
“Kondisi saat ini sudah tidak sehat bagi industri digital penyedia transportasi online. Mereka harus sadar bahwa cepat atau lambat akan mengancam keberlangsungan bisnisnya,” kata Maman di Jakarta.
Menurut dia, persaingan sehat yang seharusnya dilakukan para aplikator transportasi online, baik Grab maupun GoJek dengan beradu inovasi dan strategi peningkatan kualitas pelayanan bagi konsumen. Dengan demikian, konsumen benar-benar menerima manfaat nyata dari kemampuan masing-masing aplikator dalam berinovasi namun tetap bisa melayani dengan baik.
“Tanpa inovasi, perang tarif dipastikan terus berlanjut. Ini tidak sejalan dengan visi-misi sebuah industri digital. Aplikator yang minim inovasi hanya mengandalkan kemampuan finansial untuk menciptakan perang tarif," katanya.
Selama ini, kata Maman, Grab sebagai aplikator yang memulai strategi perang tarif memang cukup ampuh menarik minat pasar dengan menarik pelanggan sebanyak-banyaknya. Tapi, dampak positifnya hanya akan dirasakan secara jangka pendek. “Jor-joran tarif murah tak bisa dilakukan selamanya,” ujarnya.
Jika terjadi dalam jangka panjang, perang tarif justru berpotensi menghasilkan satu pemain dominan di pasar.Pemain dengan kemampuan finansial paling kuat tentunya akan memenangkan perang tarif tersebut, namun tak berarti bisa meraup untung besar. Situasi seperti ini justru tak baik bagi iklim usaha di Indonesia.
"Kalau ada duopoli dan mereka tidak berkolusi, maka yang terjadi adalah perang harga. Mereka akan adu kuat modal sampai salah satunya habis," kata dia.
Oleh karena itu, diperlukan peran Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang lebih aktif untuk menjalankan fungsi pengawasan terhadap fenomena perang tarif tersebut. KPPU mesti jeli dalam melihat seperti apa praktik predatory pricing dalam bisnis transportasi online.
"Harus jeli melihat apakah aplikator sengaja menjual rugi untuk membunuh kompetitor atau tidak. Kalau terindikasi untuk membunuh ya harus ditindak tegas," ujar Maman.
Meski industri digital merupakan model bisnis baru, KPPU tetap bisa menghitung biaya produksi aplikator transportasi online berdasarkan kajian akuntansi. Selain itu, pemerintah juga bisa menghitung berdasarkan acuan di suatu negara yang kondisinya serupa.
"Bisa diketahui biaya produksi per kilometer berapa besar, sehingga bisa diketahui terjadi predatory pricing atau tidak," katanya.
Menurut Maman, perang tarif selain mengancam kelangsungan industri digital itu sendiri, juga akan merugikan mitra pengemudi. Tarif yang terlampau murah dalam perang tarif cenderung hanya menguntungkan konsumen, namun tidak bagi mitra pengemudi.
Kondisi itu bisa menurunkan kualitas pelayanan dan akhirnya berdampak pada kesejahteraan mitra pengemudi karena dicap jelek oleh konsumen. Meski membayar murah, karakter konsumen yang kritis umumnya tetap ingin mendapat kualitas pelayanan bagus.
Akibatnya, kata Maman, saat ini kerap terjadi konsumen dianggap rewel oleh mitra pengemudi yang tahu sedang menjalankan order promo. Konsumen pun memberikan penilaian buruk terhadap mitra pengemudi karena dinilai tak memberikan pelayanan prima.
Selama ini, aplikator Grab menerapkan tarif batas bawah ojek online sebesar Rp1.200 per kilometer, adapun Go-Jek memberikan Rp1.600 untuk mitra pengemudi. Berdasar penetapan tarif bawah itu, Maman menilai GoJek telah lebih mampu menentukan dan membentuk ekosistemnya dalam bisnis transportasi online ketimbang Grab. (Ant)