close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi Alinea.id/Bagus Priyo.
icon caption
Ilustrasi Alinea.id/Bagus Priyo.
Bisnis
Senin, 22 Februari 2021 16:17

Ketika perusahaan manajer investasi terlibat megaskandal korupsi

Megaskandal korupsi Jiwasraya, Asabri, dan BPJS Ketenagakerjaan berdampak pada kinerja instrumen investasi.
swipe

Kasus korupsi yang melanda tiga perusahaan asuransi plat merah Indonesia, Jiwasraya, Asabri dan BPJS Ketenagakerjaan, berimbas pada dinamika pasar modal. Salah satunya, kinerja instrumen reksa dana menyusul terjeratnya puluhan Manajer Investasi (MI) dalam kasus megakorupsi itu. Padahal, peminat instrumen investasi tersebut tengah mengalami peningkatan di masa pandemi.

Adanya beragam masalah itu membuat Uhti (25) memilih jalur 'mandiri' dalam berinvestasi di pasar modal. Semula, ia memang mempertimbangkan untuk investasi saham melalui MI sebagai pihak ketiga. Namun dengan mencuatnya kasus Jiwasraya pada akhir 2019 lalu, dia lantas mengurungkan niatnya itu dan memilih untuk berivestasi secara individu.

“Karena takut. Kan niat invetasi buat cari tambahan (uang). Kalau nanti lewat MI terus rugi kan percuma,” ujar perempuan yang berprofesi sebagai pengajar Bahasa Jepang di salah satu SMA di Semarang itu kepada Alinea.id, Jumat (19/2).

Berdasarkan catatan PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), investor reksa dana sepanjang 2020 mencapai 3,165 juta. Jumlah ini naik hingga 78,38% dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya sebanyak 1,744 juta investor. Sedangkan dana kelolaan atau asset under management (AUM) pada 2020 mencapai Rp796,19 triliun, naik 0,81% dari posisi tahun lalu yang hanya sebesar Rp789,8 triliun.

Sebaliknya, jumlah reksa dana justru mengalami penurunan, dari 2.506 pada 2019 menjadi 2.318 pada 2020. Direktur KSEI Supranoto Prajogo mengatakan penurunan jumlah reksa dana ini merupakan hasil pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Lembaga ini telah mengevaluasi sejumlah reksa dana karena terindikasi melakukan pelanggaran.

“Jadi harus ditutup,” ujarnya, di Jakarta, Kamis (4/2) lalu.

Beberapa reksa dana yang ditutup sementara atau suspensi oleh OJK diantaranya, tujuh produk milik PT Sinar Mas Asset Management, yaitu Danamas Pasti, Danamas Stabil, Danamas Rupiah, Danamas Rupiah Plus, Simas Saham Unggulan, Simas Syariah Unggulan, dan Simas Syariah. Instruksi pembekuan itu tertuang dalam surat S-452/PM.21/2020 yang dikirimkan ke sistem S-INVEST per 20 Mei 2020 lalu. 

Selain itu, pada awal Februari OJK kembali mensuspen dua produk reksadana dari PT Sucorinvest Asset Management, yaitu Sucorinvest Money Market Fund dan Sucorinvest Citra Dana Berimbang. 

Sebelumnya, Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK Hoesen pernah menjelaskan, suspensi yang dilakukannya terhadap produk-produk reksa dana merupakan bagian dari tindakan otoritas terkait aspek market conduct atau penyelesaian sengketa pada industri pasar modal. 

“Itu terkait supervisory action yang akan kita lakukan, sehingga bisa memperdalam isu-isu atau pemeriksaan reksa dana,” ujar dia beberapa waktu lalu.

Seorang pria memakai masker di dalam Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta pada September 2020 lalu. Foto Reuters/Willy Kurniawan.

Pengamat Pasar Modal Reza Priyambada menilai suspensi dilakukan OJK karena MI yang menerbitkan produk reksa dana telah terindikasi melakukan pelanggaran. Bahkan, penutupan sementara produk tersebut mungkin juga atas rekomendasi dari Kejaksaan Agung yang telah ikut andil dalam pemeriksaan fraud oleh MI.

Namun demikian, penutupan sementara produk reksa dana dinilai memberikan kerugian besar bagi investor. Karenanya, Reza meminta agar OJK lebih berhati-hati sebelum membuat keputusan untuk membekukan suatu produk reksa dana, mengingat banyaknya investor di balik produk kelolaan itu. 

“Yang bermasalah itu kan yang harusnya ditangani, bukan produknya yang dibekukan,” bebernya kepada Alinea.id, Minggu (21/2).

Hal berbeda diungkapkan Direktur Avere Investama Teguh Hidayat. Menurutnya, tindakan OJK membekukan produk reksa dana dari MI bermasalah adalah langkah tepat untuk mencegah timbulnya korban baru. Sebab, jika izin MI yang bermasalah tidak segera dicabut dan produknya tidak disuspensi, maka perusahaan aset manajemen itu akan tetap menjual produk reksa dana mereka kepada investor-investor baru.

Dalam kasus Jiwasraya dan Asabri misalnya, MI yang terindikasi terlibat dalam megaskandal tersebut akan diperiksa terlebih dulu, baik oleh OJK maupun Kejaksaan Agung. Di masa tersebut, perusahaan-perusahaan aset manajemen itu tidak bisa menjual produk mereka kepada para investor.

Lalu, bagaimana dengan nasib investor yang telah membeli produk reksa dana dari MI bersangkutan? Teguh bilang, investor masih tetap bisa mencairkan atau me-reedem reksa dana yang telah mereka beli sebelumnya. Investor juga tetap mendapat nilai aktiva bersih (NAB) reksa dana yang berlaku pada saat itu. 

“Jadi enggak masalah bagi mereka yang sudah pegang reksa dana tersebut. Tapi, yang dibekukan ini mereka tidak bisa jualan ke investor baru,” urainya kepada Alinea.id,  Jumat (19/2).

Kinerja reksa dana menurun

Megaskandal yang menjerat Jiwasraya, Asabri hingga BPJS Ketenagakerjaan, menurut Teguh, jelas akan mempengaruhi kinerja reksa dana. Bahkan, sejak Kejaksaan mengumumkan tersangka kasus korupsi Asabri, transaksi reksa dana sejak akhir Januari hingga Februari terus stagnan. Tidak turun, tidak juga meningkat. 

Padahal, transaksi instrumen ini sempat moncer pada akhir tahun 2020 hingga awal Januari 2021. Terbukti dari nilai transaksi reksa dana yang pada saat itu dapat melebihi Rp20 triliun dalam satu hari.

“Sekarang cuma sekitar Rp10 triliun - Rp11 triliun, kadang di bawah itu, cuma Rp8 triliun atau Rp7 triliun. Itu saya pikir memang ada hubungannya dengan kasus Asabri dan lain-lain,” katanya.

Tidak hanya itu, tidak sedikit MI yang tidak berani melakukan transaksi reksa dana maupun saham dalam jumlah besar menyusul adanya megaskandal tersebut. Dia memperkirakan, kondisi ini akan terus berlangsung hingga seluruh dalang dari megaskandal ini terungkap dan kasus ini reda.

Namun imbas yang lebih parah adalah kasus-kasus ini dapat membuat investor pasar modal menjadi ragu untuk berinvestasi di produk reksa dana dan saham. Dampak selanjutnya justru dapat menjalar pada industri MI. Pasalnya, saat ini banyak investor ritel yang lebih memilih untuk berinvestasi secara individu atau tidak melibatkan perusahaan aset manajemen.

“Minimal kalau rugi juga rugi sendiri, bukan karena dikerjain Manajer Investasi,” imbuhnya.

Ilustrasi. Pixabay.com.

Pengamat Pasar Modal itu juga menilai, banyaknya kasus korupsi yang melibatkan berbagai MI mencerminkan bahwa ekosistem pasar modal belum berjalan baik sepenuhnya. Meski begitu, kondisi pasar modal saat ini masih jauh lebih baik, jika dibandingkan dengan beberapa tahun lalu. Kala itu, manipulasi transaksi harga saham hingga insider trading  saham masih dibiarkan.

Praktik-praktik itulah yang menyebabkan adanya pelanggaran atau fraud yang menyeret MI. Untuk itu, Teguh meminta otoritas maupun aparat penegak hukum dapat mengusut tuntas kasus korupsi tersebut.

“Harusnya semua diusut, enggak cuma satu dua pihak saja,” tegasnya.

Edukasi investor

Di sisi lain, Teguh mengingatkan calon investor yang ingin berinvestasi melalui MI untuk mencari tahu terlebih dulu kinerja perusahaan pengelola aset manajemen tersebut. Terkait kinerja produk reksa dana yang ingin dibeli, calon investor dapat mencari tahu melalui prospektus produk yang telah disediakan oleh perusahaan MI.

“Kalau tidak mau pusing berhubungan dengan MI, bisa langsung beli saham, reksa dana sendiri saja di pasar. Tapi ya sama, itu juga harus research dulu,” katanya.

Melihat banyaknya MI yang terseret dalam kasus korupsi perusahaan-perusahaan asuransi plat merah, Ketua Presidium Asosiasi Pelaku Reksadana dan Investasi Indonesia (APRDI) Prihatmo Hari Mulyanto menghormati seluruh proses hukum yang sedang berlangsung. Pihaknya juga meminta agar penindakan hukum dapat dilakukan sesuai dengan peraturan yang berlaku bila ada perusahaan MI anggotanya yang terbukti bersalah.

Adapun dari 97 MI yang terdaftar dalam Perkumpulan Wakil Manajer Investasi Indonesia (PWMII), Prihatmo memperkirakan hanya sebagian kecil saja dari anggotanya yang terlibat dalam pusaran kasus korupsi tersebut.

“Kita hormati sampai nanti ada yang bersalah atau tidak. Kalau memang bersalah, ya silakan diterapkan tindakan sesuai koridor hukum yang berlaku,” ujarnya kepada Alinea.id, Sabtu (20/2).

Lebih lanjut, pihaknya tak bosan-bosan mengingatkan kepada seluruh anggotanya untuk tetap bekerja secara profesional, mentaati peraturan yang berlaku dan menjunjung tinggi integritas. Sehingga, kasus seperti ini tidak akan terulang lagi di kemudian hari.

Seperti yang telah diketahui, dalam kasus Jiwasraya Kejaksaan Agung telah menjerat 13 Manajer Ivestasi dengan tuduhan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Perusahaan-perusahaan itu diketahui telah menyepakati dan melaksanakan pengelolaan transaksi pembelian dan penjualan instrumen keuangan yang menjadi underlying pada produk reksa dana milik Jiwasraya dan dikelola oleh para terdakwa.

Adapun ketiga belas Manajer Investasi itu antara lain, PT Dana Wibawa Management Investasi, PT Oso Management Investasi, PT Pinekel Persada Investasi, PT Milenium Danatama, PT Prospera Aset Management dan PT MNC Asset Management.

Kemudian PT Maybank Aset Management, PT GAP Capital, PT Jasa Capital Asset Management, PT Corvina Capital, PT Iserfan Investama, PT Sinar Mas Asset Management, serta PT Pool Advisa Management.

Sedangkan dalam kasus Asabri, hingga saat ini Kejaksaan Agung telah memanggil beberapa Manajer Investasi yang meliputi PT Maybank Aset Management, PT Asanusa Asset Management, PT Insight Investment Management, PT Oso Management Inesyasi, PR Eureka Prima Jakarta, PT CGS-CIMB Sekuritas Indonesia, PT Pratama Capital Assets Management, PT Victory Aset Manajement, dan PT Pool Advisa Aset Manajemen sebagai saksi.

Kinerja reksa dana 2016-2010 (Sumber: Statistik pasar modal OJK).
Periode Jumlah reksa dana Nilai Aktiva Bersih (NAB) Jumlah UP beredar Subscription Redemption
2016 1.425 338.749 240.237.854.788,62 350.645,34 302.719,79
2017 1.777 457.506,57 324.223.922.190,67 527.061,89 458.791,26
2018 2.099 505.390,30 373.725.898.271,97 613.482,30 541.657,24
2019 2.181 542.196,36 424.796.068.151 711.217,13 656.327,13
2020 2.219 573.542,15 435.143.042.392 480.318,14 463.904

Namun demikian, meski tengah terjebak dalam tiga kasus korupsi besar, Prihatmo tetap optimistis, kinerja reksa dana di tahun ini akan mengalami peningkatan. Bahkan, dana kelolaan diprediksi bisa tumbuh 10-15% untuk reksa dana saham dan pendapatan tetap. Kedua jenis ini diproyeksikan akan menjadi primadona di tahun 2021.

“Ini berkaitan erat dengan pemulihan ekonomi nasional. Kalau pemulihan ekonomi berjalan lancar, maka IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan) akan positif,” jelasnya.

Untuk menciptakan iklim investasi yang aman, OJK sendiri telah menerbitkan berbagai regulasi. Baik untuk mengatur, mengawasi hingga melindungi investor maupun pelaku pasar modal lainnya.

Deputi Komisioner Hubungan Masyarakat dan Logistik OJK Anto Prabowo bilang, langkah-langkah tersebut dilakukan OJK sembari turut serta dalam mendorong pemulihan ekonomi Indonesia. 

Pihaknya percaya peraturan yang baik dapat menciptakan kepastian hukum. Ini menjadikan iklim usaha kondusif sehingga mengundang pemodal, baik dari dalam maupun luar negeri. 

“Iklim investasi harus menjadi rangkaian kebijakan di bidang ekonomi - hukum yang esensial menciptakan kepastian hukum dan iklim usaha,” tandas Anto.

Dia menegaskan berdasarkan Undang-Undang OJK dan Undang-Undang Pasar Modal, OJK diberi wewenang untuk melakukan pengawasan dan memberikan perintah tertulis kepada pelaku usaha sektor jasa keuangan termasuk MI dan Reksa Dana. Tujuannya untuk melakukan langkah korektif, penyesuaian dan/atau tindakan perbaikan sebagaimana hasil pengawasan OJK. Hal tersebut juga dilakukan sebagai salah satu upaya pembinaan OJK terhadap pelaku usaha sektor jasa keuangan.

img
Qonita Azzahra
Reporter
img
Kartika Runiasari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan