Ketika terigu menggerogoti pangsa konsumsi beras
April lalu jagat maya diramaikan oleh video Axton Salim. Direktur Utama PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk. (ICBP) itu mencoba es krim rasa Indomie Goreng. Video di akun TikTok generasi ketiga alias cucu Grup Salim itu pun viral. Saat artikel ini ditulis, video sudah dilihat lebih 2,8 juta penonton.
Es krim bernama ChocRocks Cone varian rasa Indomie Goreng tersebut adalah kreasi baru dari ICBP. Penganan baru itu, kata Senior Brand Manager Indofood Ice Cream Leni Damayanty, hasil kolaborasi dua divisi: divisi es krim dan mi instan. Sepertinya, divisi es krim ingin mendompleng pamor merek Indomie yang sohor itu.
Tak hanya itu. ICBP juga mulai keluar dari pakem pasar. Jika selama ini Indomie identik dengan rasa khas Nusantara, kini mereka merambah produk ramen khas Jepang. Ada tiga varian. Yaitu Tori Miso Ramen dan Yoshi Ramen untuk kategori kuah dan Takoyaki untuk varian goreng. Ketiganya dilego di bawah Rp10.000 per bungkus.
Untuk memperkuat produk anyar itu, ICBP memperkenalkan Yatai. Ini semacam kedai kaki lima khas Negeri Matahari Terbit yang menjual aneka makanan, termasuk ramen. Di setiap Yatai, ICBP membuat cosplayer ala Jepang. Ini untuk membuat pengunjung Yatai merasakan suasana seolah-olah berada di Jepang.
Tak mau ketinggalan. Kompetitor ICBP, PT Mayora Indah Tbk. telah meluncurkan Mie Oven. Minya berbentuk lurus, berbeda dengan mi instan umumnya. Ada beragam varian. Semua dilego sekitar Rp3.000 per bungkus. Hadirnya Mie Oven menambah panjang daftar jenama produk berbasis mi instan yang dirilis ke pasar oleh Mayora.
Di luar itu, Wings Grup telebih dahulu merilis produk mi instan ala Korea. Berbasis merek Mie Sedaap, Wings merilis Mie Sedaap Selection Korean Chese Buldak. Bahkan, Wings Grup juga menggaet aktor sekaligus anggota grup musik Super Juniors (SUJU) asal Korea, Siwon Choi, sebagai brand ambassador merek anyar itu.
Diakui Marketing Manager Noodle Wings Food, Katria Arintya Anindyantari, varian baru Mie Sedaap ini diilhami tren Korea yang mewabah di Indonesia. "Demam K-Wave (Korean Wave) masih menjadi fenomena di mayoritas anak muda Indonesia, karena peminatnya banyak dari seluruh lapisan masyarakat," kata Katria saat peluncuran Mie Sedaap Selection Korean Chese Buldak, Selasa, 6 Desember 2022.
Korea, kata Katria, terkenal dengan makanan pedas. Buldak, sajian ayam pedas, adalah makanan yang tren di Korea. Biasanya disantap dengan tambahan ekstra keju sebagai topping yang menambah cita rasa gurih.
"Penambahan ekstra keju sebagai topping pada makanan sudah akrab di lidah masyarakat Indonesia," kata Katria.
Sebetulnya di luar perusahaan-perusahaan raksasa seperti ICBP, Mayora Indah, dan Wings Grup, mi instan juga dikembangkan pemain baru dengan merek Lemonilo. Seperti Wings Grup, Lemonilo membidik segmen milenial dan gerenasi Z yang demam K-Pop. Ada pula merek lokal, di antaranya MieMu untuk jejaring Muhammadiyah dan Javara.
Pamor terigu
Mengapa perusahaan raksasa dan kecil beramai-ramai menggarap pasar mi instan? Ini tak bisa dilepaskan dari besarnya kue dan kemungkinan cuan yang bisa diraup dari bisnis berbasis gandum tersebut. Untuk menggarap pasar 275,77 juta mulut warga negeri ini pada 2022, mereka beramai-ramai mengkreasi aneka varian rasa dan menu.
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2021 Indonesia mengimpor 11,172 juta ton senilai US$3,449 miliar atau setara Rp51,045 triliun (kurs Rp14.800/US$). Pada tahun yang sama, penjualan mi instan ICBP mencapai Rp40,99 triliun. Ini belum termasuk pelaku usaha lain seperti Mayora Indah, Wings Grup, dan usaha kecil.
Sejauh ini, kebutuhan gandum Indonesia mayoritas diimpor dari Australia. Pada 2021, pangsa pasokan gandum Indonesia dari Negeri Kanguru mencapai 41,4%. Setelah Australia, gandum diimpor dari Ukraina, dan Kanada. Peran tiga negara ini mencapai lebih dari 83%. Dalam jumlah lebih kecil diimpor dari Amerika Serikat dan Rusia.
Di Indonesia gandum impor dipergunakan untuk pangan yang populer, seperti mi instan, pasta, roti, biskuit, kue, dan bakmi basah. Betapa penganan berbasis gandum itu demikian populer bisa dilihat dari konsumsi mi instan. Merujuk data World Instant Noodles Association, penduduk RI mengonsumsi 14,26 miliar bungkus pada 2022, naik 7,46% dari 2021 sebesar 13,27 miliar bungkus.
Konsumsi mi instan penduduk RI hanya kalah dari China. Pada 2022, merujuk data World Instant Noodles Association, China mengonsumsi mi instan 45,07 miliar bungkus. Setelah Indonesia, baru Vietnam, India, Jepang, dan Amerika Serikat.
Evolusi pola pangan
Sebagai negara tropis dengan siklus iklim panas, lembab, basah, dan matahari sepanjang tahun, merujuk Agung Hendriadi dalam 'Diversifikasi Pangan' (2018, halaman 4), Indonesia dikaruniai keanekaragaman hayati yang kaya: nomor dua di dunia setelah Brazil. Sumber karbohidrat ada 77 jenis, sumber protein 75 jenis, buah-buahan 389 jenis, sayuran 228 jenis, kacang-kacangan 26 jenis, serta rempah dan bumbu 110 jenis.
Di masa lalu, nenek moyang terbiasa mengonsumsi aneka macam tanaman itu sebagai cara untuk bertahan hidup dan membebaskan diri dari kelaparan. Negeri ini, seperti dicatat Khudori dalam 'Ironi Negeri Beras' (2008, halaman 114), pernah memiliki aneka pola pangan khas. Misalnya, sagu sebagai makanan pokok warga Maluku, jagung dikonsumsi warga Madura, dan umbi-umbian makanan khas orang Papua.
Pola makan terbentuk dari hasil interaksi warga atas lingkungan. Warga yang tinggal di daerah kering rata-rata memakan jagung atau umbi-umbian sebagai makanan pokok. Sebaliknya, daerah basah dan kering seperti di Jawa mengonsumsi beras.
Namun, karena intervensi negara lewat kebijakan yang bias beras, pola makan khas, unik, dan beragam itu bergeser ke satu jenis pangan: beras. Pergeseran drastis terjadi sejak Indonesia mencapai swasembada beras pada 1984.
Pada 1954, pangan sumber karbohidrat warga masih beragam. Porsi beras baru menyumbang sekitar setengah (53,5%) dari seluruh sumber karbohidrat. Sisanya dipasok dari singkong, jagung, dan kentang. Setelah swasembada, beras mendominasi. Tingkat partisipasi konsumsi beras, dari Sabang sampai Serui, mencapai 100%.
Pemerintah mencoba mengoreksi 'kekeliruan' ini dengan menggalakkan program diversifikasi pangan. Bahwa untuk kenyang tidak harus beras. Semua periode kepresidenan tidak ada yang absen mengusung program ini. Namun demikian, langkah diversifikasi pangan itu jauh dari berhasil, bahkan bisa dibilang gagal.
Konsumsi beras memang cenderung menurun, termasuk total konsumsi sumber karbohidrat: dari 174,2 kg/kapita/tahun pada 1954 menjadi 124,9 kg/kapita/tahun pada 2020. Akan tetapi, ketergantungan sumber karbohidrat warga dari beras belum tergantikan. Ironisnya, penurunan konsumsi beras diikuti kenaikan konsumsi karbohidrat dari terigu yang diolah dari gandum impor.
Pangsa terigu terus naik
Di Indonesia tidak ada petani gandum. Akan tetapi, dari waktu ke waktu konsumsi terigu terus naik. Pada 2002 impor biji gandum masih 4 juta ton. Dengan jumlah impor 11,172 juta ton pada 2021, pangsa gandum itu mencapai 37,19% dari konsumsi beras pada tahun yang sama yang mencapai 30,04 juta ton. Pangsa terigu terus naik.
Pada 1987 konsumsi terigu per kapita Indonesia masih 1,05 kg per tahun, naik jadi 2,64 kg per tahun pada 1996, menjadi 7,2 kg per tahun pada 1999, lalu 10,1 kg per tahun pada 2013, dan meledak menjadi 17,1 kg per tahun pada 2022.
Kenaikan konsumsi diikuti membesarnya peran terigu dalam menu diet karbohidrat warga. Pada 1999, pangsa terigu baru mencapai 5,7% dari lima sumber utama karbohidrat (beras, singkong, jagung, kentang, dan terigu) yang dikonsumsi warga. Tapi pada 2013 sudah mencapai 8,4%, dan melejit mencapai 13,3% pada 2020.
Perkembangan konsumsi terigu yang demikian pesat inilah yang membuat Guru Besar IPB University, Dwi Andreas Santoso, cemas dan khawatir. Ia mendesak pemerintah memperkuat diversifikasi pangan. Jika tidak, ia memperkirakan dalam 30 tahun ke depan pangsa terigu bisa mencapai 50% atau mengalahkan beras.
Indonesia, menurut Andreas, bahkan bisa "kolaps" kalau harga gandum dunia meroket seperti saat ada invasi Rusia ke Ukraina, 24 Februari 2022 lalu. Atau jika negara yang memproduksi gandum memutuskan menghentikan ekspornya. "Kalau ada goncangan harga gandum dunia, kolaps lah Indonesia," kata Andreas.
Menurut Andreas, konsumsi terigu terus membengkak karena tiga hal. Pertama, harganya murah. Sebelum konflik Ukraina dan Rusia, harga tepung terigu antara Rp8.500 - Rp9.000 per kilogram (kg). Sementara tepung sorgum dan tapioka antara Rp16.000 - Rp30.000 per kg. Harga tepung terigu lebih mudah dari beras kualitas medium, yang saat itu berkisar Rp10.400 per kg.
Kedua, sesuai selera orang Indonesia. Perubahan pola makan ke penganan berbasis terigu itu dilakukan industri gandum puluhan tahun dengan merogoh kocek ratusan triliun. Ketiga, tidak ada diversifikasi pangan. Sejak beleid menjadikan beras sebagai makanan pokok nasional di masa pemerintahan Orde Baru, kata Andreas, konsumsi bahan pangan lokal seperti sagu, jagung, dan sorgum terus menurun.
Di luar itu, merujuk Drajat Martianto dalam "Koordinasi Isu Strategis Pangan dan Pertanian Untuk Percepatan Diversifikasi Pangan dan Gizi" (2018, halaman, 24), terigu jadi pilihan warga karena ada sejumlah atribut pendukung yang tidak ditemukan pada pangan lokal. Selain rasa, warna, tekstur, dan aftertaste yang menarik, penganan berbasis terigu diperkaya protein, vitamin, dan mineral.
Kelebihan lain, makanan berbasis terigu mudah diperoleh kapan saja dan di mana saja, praktis disiapkan, dan bisa dikombinasikan dengan pangan lain demikian luas. Harga relatif murah dan stabil. Dukungan pemerintah, baik di riset dan stabilisasi harga maupun bea masuk, komplet. Ini membuat penganan ini lebih superior dan laku keras, terutama di kota-kota Indonesia bagian timur seperti di Puncak Jaya. Kekurangan ada pada serat dan antioksidan rendah dan indek glikemik tinggi.
Sebaliknya, tulis Drajat, atribut pangan lokal hampir semua kalah dengan penganan berbasis terigu. Tampilannya kurang bagus, secara organoleptik (rasa, warna, tekstur, dan aftertaste) kurang menarik, penyajian ribet, sulit dikombinasikan dengan penganan lain, dan tidak tersedia tiap saat alias sulit didapatkan.
Selain itu, tulis Drajat, harga pangan lokal juga tidak stabil, bahkan seringkali lebih mahal dari terigu. Ini karena miskin dukungan kebijakan dari pemerintah. "Satu-satunya kelebihan pangan lokal ada pada atribut tambahan, yaitu kandungan serat dan antioksidan tinggi serta rendah indeks glikemik," papar Drajat.