Ketua Indonesian Mining & Energi Forum (IMEF) Singgih Widagdo menilai, hasil studi Center of Economic and Law Studies (Celios), yang menyatakan insentif atau royalti 0% bagi industri batu bara akan berdampak buruk pada perekonomian, ketahanan energi, dan lingkungan hidup, adalah salah dalam menginterpretasi. Insentif ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Cipta Kerja paragraph 5 Pasal 128 A.
“Ini salah menginterpretasi UU Cipta Kerja. Royalti 0% diberikan bukan untuk total produksi batu bara, tetapi sebatas untuk royalti yang dimanfaatkan dalam hilirisasi atau peningkatan nilai tambah (PNT),” kata Singgih saat dihubungi Alinea.id, Senin (13/2).
Selain itu, menurut Singgih, industri batu bara yang melakukan PNT juga merupakan kewajiban perusahaan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang mengajukan perpanjangan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), dan sifatnya opsional.
Oleh karena itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) kata Singgih, memasukkan perpanjangan PKP2B menjadi IUPK untuk diusulkan membuat Dimethyl Ether (DME) agar bisa diarahkan untuk mensubstitusi impor LPG yang mencapai 7,2 juta ton. Strategi ini dinilai sejalan dengan target Net Zero Emission (NZE) di 2060.
“Lantas Menteri ESDM memasukkan dalam Grand Energy National. Dalam Grand Energy National, sebatas 6 perusahaan hingga 2030, dan dari rata-rata per perusahaan, sebatas memanfaatkan 6,5 juta ton untuk PNT,” ujarnya.
Singgih mengatakan, yang termasuk enam perusahaan tersebut yakni, PT Bukit Asam Tbk (PTBA) dengan proyek pembuatan DME PT Arutmin Indonesia (Arutmin), PT Kaltim Prima Coal (KPC) dengan proyek hilirisasi batu bara menjadi metanol, PT Adaro Energy Indonesia, PT Kideco Jaya Agung, PT Multi Harapan Utama (MHU), dan PT Berau Coal Energy. IUPK seluruh perusahaan tambang tersebut dinyatakan telah disetujui.
“Sehingga kalau ini jalan, maka total royalti 0% sebatas untuk 6.5 juta ton batu bara dikali enam perusahaan, atau sekitar 39 juta ton sampai di 2030,” ucap Singgih.
Bahkan dengan royalti 0%, menurut Singgih keekonomian proyek DME masih belum mampu terangkat oleh internal rate of return (IRR) yang ada. Sedangkan proyek DME tersebut bukan lagi industri pertambangan, tetapi industri kimia yang sangat berbeda.
“Justru tuntutan tambahan atas kebijakan fiskal dan nonfiskal harus terus dilekatkan pada proyek PNT ini. Jadi tidak benar royalti diberikan kepada perusahaan atas kapasitas produksi, tetapi sebatas volume yang dimanfaatkan untuk PNT,” kata dia.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira menyampaikan pada paragraf 5 Pasal 128 A Perppu Cipta Kerja, ditemukan perhitungan bahwa jika insentif 0% batu bara diberlakukan, maka bisa memicu kerugian yang cukup besar bagi negara.
"Dengan asumsi total produksi batu bara sebesar 666,6 juta ton per tahun, potensi kehilangan royalty ditaksir mencapai Rp33,8 triliun per tahunnya,” ujar Bhima dalam keterangan resminya pada Rabu (1/2).
Dia menilai, ,jika kebijakan itu berlaku dalam 20 tahun ke depan, maka dapat merugikan negara dengan nilai hingga Rp676,4 triliun. Potensi kerugian tersebut setara dengan membangun 305.632 sekolah dan 4.039 rumah sakit, sehingga Bhima menyatakan sebaiknya peraturan tersebut tidak dilakukan.