close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Sekjen Kementrian Perindustrian Haris Munandar (tengah) menyerahkan Penghargaan Industri Hijau kepada Direktur Marketing Sido Muncul Irwan Hidayat (kanan) disaksikan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Ngakan Timur Antara (kiri) di Jakarta,
icon caption
Sekjen Kementrian Perindustrian Haris Munandar (tengah) menyerahkan Penghargaan Industri Hijau kepada Direktur Marketing Sido Muncul Irwan Hidayat (kanan) disaksikan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Ngakan Timur Antara (kiri) di Jakarta,
Bisnis
Senin, 15 Januari 2018 15:44

Kiat Sido Muncul bertahan hingga kini, modernisasi hingga masuk Nigeria

Pendirian perusahaan anyar ditargetkan akan meningkatkan ekspor ke Nigeria dan wilayah sekitarnya.
swipe

Produsen jamu legendaris, Nyonya Meneer, dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga (PN) Semarang, tahun lalu, setelah digugat kreditur asal Sukoharjo, Hendrianto Bambang Santoso. Perusahaan yang telah berdiri sejak 1919 itu dinyatakan bangkrut akibat utang yang melilit. 

Pailitnya Nyonya Meneer tentunya tidak bisa dinyatakan bahwa industri jamu sudah senja. Mendengar kata jamu, ada nama lain yang sering terlintas di benak orang Indonesia, yaitu Sido Muncul yang kini masih berdiri tegak. 

Inovasi dan modernisasi produk menjadi salah satu kunci Sido Muncul untuk bertahan. Meskipun masih berkutat di industri obat-obatan herbal, namun porsi produk jamu tradisional terbilang kecil atau hanya berkisar 15%. Kondisi ini berbeda dengan Nyonya Meneer yang bermain di produk jamu tradisional. 

Selain industri jamu, Sido Muncul juga bergerak di industri farmasi melalui beberapa anak usahanya yaitu PT Semarang Herbal Indo Plant, PT Muncul Mekar, dan PT Berlico Mulia Farma. Produk-produk Sido Muncul yang dikenal masyarakat antara lain Kuku Bima, Temulawak, Kopi Jahe, Tolak Angin dan lain-lain. 

Salah satu contoh modernisasi produk Sido Muncul yang berhasil adalah Tolak Angin. Obat herbal yang berguna untuk meredakan masuk angin, perut mual dan tenggorokan kering itu telah diformat dari sebelumnya yang berbentuk bubuk dan pahit, menjadi cair. Hasilnya, produk ini tak hanya tenar di Indonesia, namun juga di luar negeri. 

Per September 2017, penjualan perusahaan yang didirikan Rahkmat Sulistio pada 1940 itu turun tipis sebesar 1,8% menjadi Rp 1,85 triliun dibandingkan September 2016. Penurunan penjualan tersebut lantaran adanya kelesuan penjualan di produk minuman herbal energi. Namun, untuk produk obat-obatan herbal tercatat naik sekaligus membuat segmen herbal dan supplement masih berkontribusi besar terhadap penjualan mencapai Rp 1,19 triliun. Pada periode tersebut, Sido Muncul berhasil meraup laba bersih Rp 380,28 miliar atau naik 8,08% dibandingkan September 2016. 

Sido Muncul terus meluncurkan produk obat-obatan herbal yang baru. Hal itu sebagai salah satu strategi perseroan untuk menutupi penurunan penjualan di segmen energy drink.

Anak usaha PT Hotel Candi Baru itu juga mendirikan perusahaan baru di Nigeria bernama Muncul Nigeria Limited dengan modal sebesar 10 juta Naira yang terbagi dalam 10 juta lembar saham. Direktur Sido Muncul David Hidayat, Senin (15/1) mengatakan pendirian perusahaan tersebut ditargetkan sanggup meningkatkan ekspor ke Nigeria dan wilayah sekitarnya. Sehingga, pendapatan perusahaan dari ekspor juga ikut meningkat.

"Dengan dibukanya perusahaan tersebut, kami yakin dapat mendukung dan memperluas jaringan pemasaran produk-produk kami di Nigeria dan sekitarnya dan berdampak positif pada kelangsungan usaha perusahaan," ujar David. 

Tak hanya Sido Muncul saja yang melirik pasar Nigeria. Perusahaan asli asal Indonesia, Indofood sebelumnya juga telah membuka pabrik di Nigeria.

Salah satu produk Indofood yaitu Indomie menjadi mie intan yang banyak digemari oleh masyrakat di Afrika. Tercatat, sudah ada 10 pabrik Indomie di Nigeria. Tak hanya itu, produk kopi dan peralatan kesehatan asal Indonesia juga mengincar pasar Nigeria.

Pada 2016, total perdagangan antara kedua negara yakni Indonesia -Nigeria mencapai US$ 1,6 miliar, dengan nilai ekspor Indonesia mencapai US$ 310,8 juta dan nilai impor sebesar US$ 1,28 miliar. Artinya ada defisit bagi Indonesia yang sebagian besar berasal dari impor minyak dan gas. Namun, jika dilihat dari sektor nonmigas, sesungguhnya Indonesia mengantongi surplus US$302,72 juta. 

img
Satriani Ari Wulan
Reporter
img
Satriani Ari Wulan
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan