close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Agus D.W. Martowardojo mengakhiri masa jabatan sebagai Gubernur Bank Indonesia. / Antara Foto
icon caption
Agus D.W. Martowardojo mengakhiri masa jabatan sebagai Gubernur Bank Indonesia. / Antara Foto
Bisnis
Rabu, 23 Mei 2018 04:46

Kisah Agus Marto memimpin Bank Indonesia 5 tahun

Agus Dermawan Wintarto Martowardojo mengisahkan perjalanan memimpin Bank Indonesia selama 5 tahun.
swipe

Agus Dermawan Wintarto Martowardojo mengisahkan perjalanan memimpin Bank Indonesia selama 5 tahun.

Menutup masa jabatannya sebagai Gubernur Bank Indonesia (BI), Agus Martowardojo mengungkapkan kinerja BI selama 2013-2018 di hadapan Komisi XI DPR RI.

Agus mengungkapkan saat dirinya diangkat menjadi Gubernur BI pada 26 Maret 2013, kondisi perekonomian Indonesia tengah menghadapi masa sulit. Hanya berselang dua hari ketika Agus menjabat sebagai Gubernur BI, Bank Sentral Amerika Federal Reserve memberikan sinyal akan mengurangi stimulus moneter. 

“Hal ini mengakibatkan aliran modal asing ke Indonesia sangat kuat sehingga memberikan tekanan pada nilai tukar rupiah,” kata Agus di DPR RI, Jakarta, Selasa (22/5).

Agus juga mengatakan tantangan lainnya datang dari kondisi global dimana pada 2013, krisis terjadi karena harga komoditas utama di dunia menurun. Tantangan itu terus berlanjut hingga 2015 saat integrasi ekonomi Asean dibuka.

“Integrasi itu memungkinkan pengambilan barang jasa modal sampai tenaga kerja terdidik itu bisa dilakukan secara bebas tanpa hambatan,” kata dia.

Memasuki 2013 sampai pada 2014, tingkat inflasi cukup tinggi yakni berkisar 8,3% - 8,38%. Angka tersebut berada jauh di atas negara-negara Asean. Selain itu, neraca transaksi berjalan mengalami defisit yang terus melebar sejak kuartal IV-2011 hingga kuartal IV-2014. Defisit tersebut bisa mencapai 2,6% sampai 4% terutama di rentang 2013-2014.

Namun demikian, Agus menyebut dalam tiga tahun terakhir pihaknya telah mengembalikan inflasi ke angka yang lebih baik. “Inflasi kita di tiga tahun terakhir ada pada kisaran 3%, jadi kita sudah bisa mengelola inflasi kita dengan lebih baik. Bahkan, sudah mulai sejalan dengan negara-negara yang ada di Asean,” katanya.

Selain itu, Agus mengungkapkan pemerintah dan seluruh stakeholder telah melakukan upaya perbaikan bersama sepanjang 2016-2017. sehingga, pada tahun tersebut defisit transaksi berjalan sudah berada di angka yang lebih sehat yaitu di kisaran 1,7% sampai 1,71%.

Lebih lanjut, BI mengeluarkan kebijakan yang cukup mengejutkan yakni menaikkan suku acuan bunga dari 5,75% pada 2013 menjadi 7,5% pada November 2014. Agus mengaku langkah itu terpaksa diambil demi menjaga stabilitas ekonomi.

“Kami bersyukur bahwa langkah-langkah tersebut terbukti efektif dan membawa stabilitas pada perekonomian Indonesia. Selanjutnya berbagai indikator mulai menunjukkan perbaikan dan mengarah pada fundamental perekonomian yang lebih berkualitas, dilihat dari transaksi berjalan sudah mulai turun,” katanya.

Agus juga mengakui dalam masa kepemimpinannya, terjadi penurunan nilai mata uang rupiah terhadap dollar AS. Hal ini, menurutnya, disebabkan karena banyak faktor. Adapun faktor tersebut yakni neraca perdagangan yang tidak seimbang, ekspor lebih rendah dibanding impor, produksi manufaktur dan sektor riil lainnya yang rendah, serta perubahan global.

Agus menuturkan, sejak 2012, penurunan nilai mata uang ini tidak bisa dihindari karena transaksi berjalan terus mengalami defisit. Defisit yang besar terjadi pada 2013 sampai 2014 yakni mencapai US$27 miliar. Saat ini, defisit sebenarnya sudah turun menjadi US$17 miliar.

“Defisit ini akan terus menyebabkan pelemahan rupiah,” kata dia.

Saat ini, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS sudah menuju level Rp14.200 per dollar AS. Untuk mengembalikan kejayaan rupiah, kata Agus, perlu dilakukan berbagai strategi. Hal ini, juga membutuhkan campur tangan berbagai pihak.

Agus D.W. Martowardojo (Antara Foto)

Fragile five

Kendati demikian, Agus menjelaskan meskipun kondisi itu terus memburuk, Indonesia tidak masuk ke dalam kelompok negara fragile five. Kelompok fragile five adalah lima negara yang rentan terdampak krisis global karena kondisi ekonomi Amerika Serikat (AS). 

Kelompok tersebut juga menggambarkan negara berkembang yang masih ketergantungan kepada aliran modal asing untuk membiayai pertumbuhan.

Agus mengungkapkan pada 2013, Indonesia sempat masuk ke dalam kelompok fragile five atau bertepatan era taper tantrum. Negara yang masuk dalam kelompok fragile five adalah India, Afrika Selatan, Brasil, Turki dan Indonesia. 

“Namun, satu tahun kemudian pada 2014 Indonesia berhasil keluar dari fragile five,” katanya.

Saat ini menurut Agus pengelolaan ekonomi dan sistem keuangan Indonesia lebih baik dibandingkan beberapa tahun lalu. Agus mengungkapkan Indonesia lebih baik dibandingkan periode tahun sebelumnya. Pasalnya Indonesia telah mendapatkan status atau rating yang lebih tinggi satu notch dari investment grade yang diberikan oleh Fitch Ratings dan Moodys.

Di akhir masa jabatannya, Agus berharap BI harus berubah dan bisa menyesuaikan diri terhadap suasana ekonomi yang terus berubah, memelihara stabilitas makro ekonomi, serta meningkatkan sistem keuangan.

“Bank Indonesia tidak boleh hanya menjadi Bank Sentral biasa-biasa saja. kita harus menjadi Bank Sentral yang memang dihormati di regional. Kemudian Bank Indonesia menuju 2024 akan menjadi lembaga Bank Sentral yang kredibel dan terbaik di regional,” katanya.

 


 

img
Laila Ramdhini
Reporter
img
Sukirno
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan