Pagi-pagi sekali Samsul Tampubolon sudah beranjak menuju kawasan Jalan Daan Mogot Kalideres Jakarta Barat. Setelah menemui juragannya guna mengambil barang jualan, ia buru-buru membuka lapak kecilnya di pinggir jalan. Tepat di dekat halte bus. Menurut pria asal Sumatera Utara itu, biasanya lokasi yang ia pilih, banyak lalu lalang pengguna jalan.
Tak lama, beberapa gepok uang pecahan Rp50 ribu, Rp20 ribu, Rp10 ribu, dan Rp5 ribuan sudah berjajar rapi dibalut plastik tipis. Berjudi dengan nasib baik, Samsul berharap bisnis penukaran uang pecahan yang ia jalankan laris manis hari itu, Rabu (13/6).
"Yang ramai kemarin Senin (11/6), banyak yang nyari (jasa penukaran uang pinggir jalan). Nah, makin ke sini makin sepi, tapi saya akan buka sampai besok, siapa tahu masih ada yang cari," ujar Samsul.
Ia kukuh menjalankan usaha itu, kendati keuntungan yang didapat tak bisa dipastikan. Biasanya ia menetapkan biaya tambahan sebesar Rp15.000, untuk penukaran uang pecahan 5000-an dan margin Rp10.000 untuk pecahan 2.000-an.
"Jadi ini hitungannya tiap Rp100 ribu minimal mereka bisa tukar uang. Nah, ini untuk pecahan yang Rp5 ribu, Rp10 ribu, dan Rp20 ribu kan sudah udah agak langka, jadi kita kasih biaya tambahan Rp15 ribu. Sementara, kalau yang pecahan Rp2 ribu sih masih banyak, jadi biaya tambahannya cukup Rp10 ribu saja," paparnya pada Alinea.
Meski margin sudah dipatok, Samsul urung mendapat keuntungan secara penuh. Lantaran sumber uang ini ia dapat bukan langsung dari Bank Indonesia, melainkan tangan kedua yang enggan ia beberkan identitasnya, maka sistem bagi hasil pun berlaku.
"Kita dapat dari orang lagi, enggak langsung dari Bank Indonesia, jadi jadi nanti kita nyetor ke dia. Nanti kalau dagangan (uang) habis, ya ambil lagi ke dia. Sistemnya bagi hasil, dengan besaran berapa-berapanya enggak tentu," jelasnya.
Samsul tak sendiri menggeluti usaha ini, jelang momen Lebaran. Marndoan Hutagaol, warga asal Sumatera Utara ini juga membuka lapak penukaran uang, tak jauh dari lokasi pertama. Menurut Hutagaol, ia bisa mengantongi keuntungan hingga 2% dari setiap transaksi, dengan margin Rp10 ribu.
"Kalau saya 10.000 biaya tambahannya, tapi saya ada bosnya. Jadi saya dapat 2% saja, Mas. Bos saya yang kayaknya nyari duit. Entah ke BI, entah bagaimana dapatnya," ungkapnya.
Meski dipatok biaya tambahan, animo masyarakat untuk menukar uang di pinggir jalan relatif tinggi. Alasan efisiensi umumnya jadi pertimbangan pengguna jasa. Contohnya, Nurma dan Rohman warga Rawa Buaya Jakarta Barat, yang mengaku sangat membutuhkan uang pecahan secara cepat. Uang itu sedianya akan dibagikan kepada sanak famili saat Lebaran.
"Ya kita mau cari yang cepat dan dekat rumah juga, ya walaupun ada ongkosnya enggak apa-apa lah," katanya.
Pertimbangan serupa dirasakan warga Rawa Lele Kalideres Maswati, yang mengaku kekurangan uang pecahan, karena jumlah keluarganya terlampau banyak.
"Kemarin sebenarnya sudah tukar uang di bank, tapi pas dihitung, kayaknya kurang, soalnya saudara saya banyak. Maklum orang Betawi," katanya seraya tertawa.
Baik Samsul maupun Marndoan akan membuka jasa penukaran uang hingga esok hari (14/6). Mereka meyakini, masih ada masyarakat yang mencari dan membutuhkan uang pecahan untuk dibagikan di Lebaran nanti.
Antara tradisi dan kepraktisan
Kebiasaan memberi uang THR alias persenan ke sanak saudara kala Lebaran tiba, sama tuanya dengan tradisi mudik itu sendiri. Bahkan jauh lebih tua, jika mudik mulai mewabah pada medio 1970-an, kala arus urbanisasi meledak karena pembangunan yang digenjot di era Orde Baru. Sementara tradisi memberi persenan, sudah dilakukan, sebelum itu oleh sejumlah warga Betawi di Ibu Kota. Ini mirip seperti tradisi angpau atau salam tempel warga Tionghoa.
Jasa penukaran uang pinggir jalan (Kudus/ Alinea).
Anak-anak, dalam hal ini, menjadi pihak yang paling bersuka cita. Pasalnya, persenan biasanya diberikan pada mereka atau siapapun yang belum bekerja dan menikah.
Peluang ini lantas tak disia-siakan sebagian warga di Jakarta. Dengan dalih lebih praktis dan tak memberlakukan prosedur berbelit-belit laiknya bank konvensional, jasa penukaran uang mencuri hati masyarakat.
Apalagi hari-hari jelang Lebaran, mereka sangat mudah dijumpai di tempat keramaian, termasuk terminal, stasiun kereta api, hingga pinggir jalan arteri.
Jasa penukaran uang ini pun, sudah pasti berbeda dengan sistem penukaran uang yang ada bank. Jasa penukaran uang di pinggir jalan ini memberlakukan biaya tertentu saban bertransaksi.
"Kalau di bank gratis enggak ada biaya tambahan, beda dengan penukaran yang ada di pinggir jalan. Kalau itu dikenakan biaya tambahan berapa persen begitu," ujar Deputy Gubernur Bank Indonesia Rosmaya Hadi, saat membuka acara penukaran uang di IRTI Monas, Jakarta (23/5) silam.
Biaya tambahannya pun beragam, tergantung jenis pecahan yang ditukarkan. Semakin langka, maka biasanya harga yang dipatok lebih tinggi.
Kendati bisa memangkas waktu dan cenderung praktis, namun warga yang ingin memakai jasa ini perlu berhati-hati. Rosmaya tentu tak bisa menjamin keaslian uang yang dijajakan di pinggir jalan.