Sekitar 11.000 usaha penggilingan padi gulung tikar. Dengan demikian, berdasarkan data Badan Pangan Nasional (Bapanas), hanya tersisa 169.000 pelaku usaha penggilingan.
Anggota Komisi IV DPR, Andi Akmal Pasluddin, menyampaikan, banyaknya penggilingan yang tutup lantaran tidak bisa melawan korporasi besar yang membeli gabah petani dengan harga tinggi. Ini mengakibatkan persaingan tidak sehat.
"Ada korporasi besar yang membeli gabah petani dengan harga tinggi sehingga mayoritas petani melarikan gabahnya pada satu perusahaan saja. Ini akhirnya menjadi persaingan tidak sehat," ujarnya dalam keterangannya.
Andi mengungkapkan, korporasi besar umumnya membeli gabah petani di atas harga pembelian pemerintah (HPP) Rp7.000. "Jarang sekali gabah petani mendapat harga sebaik itu."
"Biasanya harga gabah di tingkat petani hanya selisih sedikit dari harga pembelian pemerintah (HPP) gabah yang ditetapkan. Beberapa daerah malah ditemukan harga gabah di bawah HPP," imbuh politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.
Kementerian Pertanian (Kementan) pun diminta turun tangan dengan mengevaluasi kebijakan perberasan, termasuk melakukan standardisasi penggilingan padi. Sebab, perlu keseimbangan yang lebih baik antara keuntungan petani dan kelangsungan usaha penggilingan padi.
Selain itu, pemerintah diminta membina pelaku penggilingan padi agar bisa bermitra dengan petani. Menurutnya, kemitraan untuk memastikan pasokan gabah stabil dengan harga bersaing sehingga menguntungkan kedua pihak.
"Mengatasi tingginya harga gabah sambil mempertahankan kelangsungan usaha penggilingan padi memerlukan pendekatan yang komprehensif dan kerja sama antara berbagai pemangku kepentingan," katanya.
"Dengan langkah-langkah diversifikasi usaha, promosi dan pemasaran, koordinasi dengan asosiasi pertanian, kredit usaha kecil, pelatihan dan peningkatan kompetensi, dan koordinasi pasar mesti ada 'campur tangan' pemerintah. Sehingga, semua elemen rakyat yang berkecimpung di dunia pertanian pangan dapat bertahan pada situasi sulit," urai Andi.