Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto merasa janggal dengan draf Peraturan Pemerintah (PP) Minerba yang akan diterbitkan. Sebab, aturan yang mengatur Izin Pertambangan Rakyat (IPR) dan Surat Izin Pertambangan Batuan (SIPB) dikeluarkan oleh pemerintah pusat melalui PP.
Baginya, aturan ini tidak sesuai dengan ruh Undang-Undang (UU) Nomor 3 tahun 2020 tentang Minerba. Merujuk Pasal 35 UU Minerba, kata dia, IPR dan SIPB dapat didelegeasikan kepada pemerintah daerah (pemda).
"Bunyinya seperti itu. Dan ketentuan ini adalah hasil kesepakatan setelah dilakukan sinkronisasi antara draf RUU Minerba dengan draf RUU Omnibus Law Cipta Kerja," ujar Mulyanto, dalam keterangannya, Jumat (11/12).
Menurutnya, kesepakatan itu diambil agar RUU Minerba tidak bertentangan dengan Draf RUU Cipta Kerja, yang sentralistik. "Namun ruh RUU Minerba tetap, agar IPR dan SIPB menjadi kewenangan daerah," katanya.
"Saya ingat betul soal sentralisasi perizinan ini sebab saya salah seorang anggota Panja RUU Minerba dan juga anggota Panja RUU Cipta Kerja," tambahnya.
Politikus PKS itu merasa, draf awal RUU Cipta Kerja amat sentralistik terhadap kewenangan pemda, termasuk soal perizinan tambang. Namun, seiring perjalanannya, draf itu mendapat pertentangan dari sebagian besar anggota DPR. Sehingga perizinan dan kewenangan pemda secara proporsional dikembalikan ke daerah.
"Soalnya akan menjadi aneh kalau dalam UU Cipta Kerja yang diacu saja sudah mengembalikan kewenangan perizinan tersebut secara proporsional ke daerah, tapi dalam PP Minerba soal IPR dan SIPB masih terpusat dan sentralistik," tuturnya.
Kendati demikian, fraksi PKS meminta draf PP Minerba yang terkait kewenangan IPR dan SIPB, dikembalikan kepada Pemerintah Daerah. "Ini kan soal galian pasir, tanah urugan, batu gamping dan lain-lain, soal bahan tambang kecil-kecilan. Pemerintah jangan mempersulit rakyatnya" tegasnya.