Konflik yang terjadi di Suriah membuat harga minyak mentah dunia melonjak semakin mendekati US$100 per barel.
Harga minyak berjangka melonjak hampir 3% pada akhir perdagangan Rabu (Kamis pagi WIB), dipicu penurunan persediaan minyak mentah AS. Lonjakan terjadi setelah sumber-sumber mengisyaratkan eksportir utama Arab Saudi ingin melihat harga minyak mentah lebih dekat ke US$100 per barel.
Arab Saudi akan senang apabila minyak mentah naik menjadi US$80 atau bahkan US$100 per barel. Tiga sumber industri mengatakan, tanda Riyadh tidak akan mencari perubahan pada kesepakatan pemotongan pasokan OPEC dan produsen minyak utama lainnya.
Patokan global, minyak mentah Brent untuk pengiriman Juni naik US$1,90 atau 2,7% ditutup pada level US$73,48 per barel di London ICE Futures Exchange.
Sementara itu, patokan AS, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) untuk penyerahan Mei, naik US$1,95 atau 2,9%, menjadi menetap di US$68,47 per barel di New York Mercantile Exchange, tertinggi sejak akhir 2014.
Harga-harga didukung oleh penurunan stok minyak AS pekan lalu, dengan bensin dan distilasi turun lebih besar dari yang diperkirakan akibat permintaan yang lebih kuat, menurut data dari Badan Informasi Energi AS (EIA).
Sementara persediaan minyak mentah AS turun 1,1 juta barel sebagai akibat dari penurunan 1,3 juta barel per hari dalam impor minyak mentah neto.
"Ini mungkin merupakan salah satu laporan paling bullish dalam beberapa waktu terakhir, dengan penurunan persediaan di semua jenis secara keseluruhan," kata John Kilduff, mitra di Again Capital Management di New York, seperti dilansir Reuters.
"Di luar berita utama, permintaan bensin sangat kuat, hampir seperti musim panas, dan ekspor minyak mentah naik kembali menuju 2 juta barel per hari di 1,75 juta." Pembelian dalam mengantisipasi laporan dimulai Selasa (17/4) malam, kata Brian LaRose, seorang analis teknis dengan United-ICAP.
Pasar juga menemukan dukungan dari harapan bahwa pemotongan produksi Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) akan dipertahankan. OPEC dan 10 produsen saingnya telah mengekang produksi 1,8 juta barel per hari sejak Januari 2017 dan berjanji untuk melakukannya hingga akhir tahun ini.
Komite tingkat menteri OPEC yang bertugas memantau kesepakatan pasokan dengan negara-negara non-OPEC, yang dipimpin oleh Rusia, akan bertemu di kota Jeddah pada Jumat (21/4).
"Meskipun harga minyak lebih dari US$70 per barel dan fakta bahwa kelebihan pasokan telah dihapus, penghapusan bertahap dari pemotongan produksi tidak akan menjadi agenda," kata analis minyak Commerzbank, Carsten Fritsch.
Minyak telah didukung oleh persepsi di kalangan investor bahwa ketegangan di Timur Tengah dapat menyebabkan gangguan pasokan, termasuk sanksi AS yang diperbarui terhadap Iran, serta penurunan produksi di Venezuela yang dilanda krisis.
Bank Belanda ING mengatakan dalam sebuah catatan kepada para kliennya bahwa Brent telah naik kembali di atas US$70 pada April "karena risiko-risiko geopolitik bersama dengan beberapa perkembangan yang secara fundamental bullish di pasar".
ING menaikkan perkiraan harga rata-rata 2018 untuk Brent menjadi US$66,50 dari US$60,25, dan perkiraan WTI 2018 menjadi US$62,50 dari US$57,75.
Namun demikian, untuk tahun depan, ING memperkirakan harga lebih rendah karena meningkatnya produksi minyak mentah AS, yang melonjak seperempat sejak pertengahan 2016.