Konglomerat ramai-ramai caplok bank bermodal mini
Sejumlah bank dalam jajaran bank umum kegiatan usaha (BUKU) I terkena tenggat pemenuhan batas modal minimum. Grup perusahaan besar pun ramai-ramai mengakuisisi bank bermodal di bawah Rp1 triliun.
Aksi korporasi ini sekaligus memenuhi dua tujuan, perluasan cakupan bisnis dan memenuhi modal minimum bank-bank kecil. Hal ini sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 12/POJK.03/2020 tentang Konsolidasi Bank Umum.
Beleid yang berlaku sejak 17 Maret 2020 ini mewajibkan modal inti bank minimal sebesar Rp3 triliun pada 2022. Ketentuan ini akan diberlakukan bertahap, yakni modal inti minimal Rp1 triliun pada 31 Desember 2020, Rp2 triliun pada 2021 dan Rp3 triliun pada akhir tahun 2022.
Alinea.id mencatat ada dua akuisisi yang telah dirampungkan oleh grup usaha milik taipan lokal. Sementara, dua lagi sedang dalam proses penyelesaian. “Ini akan dilanjutkan tahun 2021, dengan memberikan kemudahan dan percepatan proses perizinan, serta dukungan pengaturan untuk meningkatkan permodalan minimum secara bertahap,” kata Ketua Dewan Komisioner (DK) OJK Wimboh Santoso di Jakarta, Jumat (15/1).
Adapun beberapa akuisisi yang telah selesai pada 2020, antara lain dilakukan oleh PT Matahari Department Store Tbk (LPFF). Desember lalu, perusahan ritel fesyen milik Grup Lippo itu telah membeli 728 juta saham PT Bank Nationalnobu Tbk. Mengantongi harga per saham Rp755, kini LPFF memiliki 16,4% saham NOBU dengan nilai Rp549,64 miliar.
Pembelian saham ini sendiri dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama pada 4 November LPFF membeli 265 juta saham senilai Rp302 miliar. Lalu, tahap kedua pada 11 November dengan pembelian 199 juta saham senilai Rp196,30 miliar dan tahap ketiga pada 28 Desember dengan pembelian saham 198,30 juta saham senilai Rp51,34 miliar.
“Semua tahapan adalah satu set transaksi,” kata Corporate Secretary & Legal Director Matahari Miranti Hadisusilo, dikutip dari keterbukaan informasi, Minggu (24/1).
Menuju bank digital
Lebih lanjut, dia menjelaskan, alasan Matahari mengakuisisi NOBU ialah karena perseroan itu memiliki ambisi yang kuat untuk menjadi bank digital unggulan. Selaras dengan tujuan LPFF untuk menjadi peritel omnichannel, yang menyediakan produk dan jasa keuangan melalui outlet one stop shopping.
Singkatnya, melalui aksi korporasi ini LPFF berharap dapat membantu NOBU dalam memberikan beragam permintaan pinjaman kepada pemasok perseroan dan jaringan Matahari lainnya. Selain itu, perseroan diharapkan pula dapat mempengaruhi pemasoknya untuk menyimpan kelebihan dana mereka di NOBU, alih-alih di bank lainnya.
“Perseroan percaya bahwa investasi dan kemitraan dengan NOBU akan membawa peluang potensial untuk mengembangkan bisnisnya di seluruh nusantara,” ujar Miranti.
Aksi akuisisi yang juga telah selesai pada 2020 dilakukan oleh PT NTI Global Indonesia (NTI) dan PT Berkah Anugerah Abadi (BAA) terhadap Bank Maybank Syariah. Proses tersebut dimulai pada 2019 lalu dan berakhir pada 2020 setelah terbitnya ketentuan OJK dan nama bank berganti menjadi Bank Net Syariah.
Setelah proses itu, maka porsi saham yang dimiliki NTI sebanyak 661.548 saham atau setara dengan 70% dari seluruh saham bank. Sedang BAA memiliki porsi saham sebesar 30% atau sebanyak 283.521 lembar saham.
Mengacu pada Laporan Keungan perusahaan, modal inti utama setelah akuisisi atau per 30 September 2020 sebesar Rp651,29 miliar. Naik dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya, yang sebesar Rp593,99 miliar.
Tak berhenti di situ, untuk memperkuat basis permodalannya, Bank Net Syariah juga akan melakukan proses penawaran saham umum perdana (initial public offering/IPO). Rencananya, perusahaan akan melepas 5 miliar saham atau setara dengan kepemilikan 37,90% dari modal disetor, yang hingga 30 September 2020 berjumlah Rp819,307 miliar.
Direktur Bank Net Syariah Basuki Hidayat mengatakan, perusahaannya mematok harga saham dengan nominal Rp100 per lembar. Sehingga, diperkirakan dana yang akan didapat dari hasil IPO mencapai Rp515 miliar hingga Rp525 miliar.
“Keseluruhan dana akan digunakan oleh perseroan untuk modal kerja, seperti biaya pemeliharaan IT dan penunjangnya dan modal kerja lainnya. Ini sejalan dengan rencana strategis bank yang akan bertransformasi sebagai bank digital,” ujar dia, saat dikonfirmasi Alinea.id, Sabtu (23/1).
Aksi akuisisi selanjutnya dilakukan oleh perusahaan milik Chairul Tanjung, PT Mega Corpora sejak tahun lalu. Tak tanggung-tanggung, pengusaha yang sering disebut Si Anak Singkong itu bakal mengakuisisi dua bank dalam waktu hampir berdekatan, yakni Bank Harda Internasional dan PT Bank Pembangunan Daerah (BPD) Bengkulu.
Terkait Bank Harda, perseroan nantinya bakal mengakuisisi 3,06 miliar saham atau setara 73,71% dari seluruh saham Bank. Diperkirakan, proses akuisisi akan selesai seluruhnya pada Februari 2021.
Namun, sebelum itu Bank Harda akan terlebih dulu menggelar Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) pada 29 Januari, untuk meminta izin kepada seluruh pemegang saham mengenai proses ini.
“Penambahan modal untuk memperkuat struktur pemodalan Perseroan, sehingga dapat menambah kemampuan Perseroan guna meningkatkan kegiatan usaha, ketahanan dan daya saing,” ujar Direktur Bank Harda Barlian Halim, secara tertulis kepada Alinea.id, Sabtu (23/1).
Sementara itu, per Desember 2019, Bank Harda tercatat memiliki modal inti sebesar Rp242,5 miliar dan meningkat menjadi Rp290,9 miliar per September 2020. Dengan modal inti tersebut, setidaknya perseroan harus mencari tambahan dana hingga Rp700 miliar untuk memenuhi target modal minimum Rp1 triliun hingga akhir tahun 2020 dan Rp2 triliun hingga Desember 2021.
Tidak jauh berbeda dengan Bank Harda, Mega Corpora juga telah memutuskan untuk menyuntikkan dana kepada Bank Bengkulu melalui proses pembelian 26% sahamnya. Meskipun sebenarnya dana yang dibutuhkan untuk mencapai target modal inti minimum itu hanya sekitar Rp150 miliar. Pasalnya, Bank Bengkulu sendiri telah memiliki modal inti sebesar Rp853,1 miliar hingga September 2020.
Sebelumnya, Direktur Utama Bank Bengkulu Agusalim mengatakan Mega Corpora telah menyetorkan dana Rp100 miliar untuk tahap pertama proses akuisisi. “Dengan penyetoran dana setoran modal tersebut, Alhamdulillah modal Bank Bengkulu sudah mencapai Rp1 triliun lebih,” ujar dia, usai menandatangani perjanjian kerjasama pengikatan penyetoran modal dengan Mega Corpora, Senin (28/12).
Selanjutnya, Bank Bengkulu akan menunggu verifikasi dari OJK untuk dapat menetapkan bank daerah itu sebagai BUKU II. Sementara proses pembelian saham oleh Mega Corpora masih akan berlangsung hingga April 2021.
“Setelah jadi bank BUKU II, Bank Bengkulu akan meningkatkan layanan teknologi e-banking, perdagangan valuta asing, dan produk lainnya yang sebelumnya tidak dimiliki Bank Bengkulu,” imbuh dia.
Sebelumnya, yakni pada 2019 aksi korporasi ini juga sudah banyak dilakukan oleh gurita bisnis milik konglomerat-konglomerat lokal. Seperti diantaranya akuisisi PT Bank Royal Indonesia dan PT Bank Rabobank Internasional oleh PT Bank Central Asia Tbk. (BCA).
Dalam proses tersebut, BCA memberikan suntikan modal pada Bank Royal yang kini telah berubah nama menjadi Bank Digital BCA sebesar Rp1 triliun. Angka ini di luar dana akuisisi yang diberikan pada November 2019 sebesar Rp988 miliar. Sehingga, saat ini modal inti Bank Digital BCA menjadi sebesar Rp1,34 triliun.
Kemudian, BCA bersama anak perusahaannya, yakni PT BCA Finance mengakuisisi 100% saham PT Bank Rabobank Internasional senilai Rp397 miliar. Setelah proses tersebut, Rabobank yang berganti nama menjadi Bank Interim digabungkan ke dalam PT Bank BCA Syariah.
Alhasil, modal BCA Syariah pun kian tebal. Hal itu terlihat dari modal inti perseroan yang menjadi Rp2,7 triliun dan total aset mencapai Rp9,2 triliun pasca penggabungan. “Dengan pemodalan ini, kita akan lepas pembiayaan dengan tetap melihat kondisi ekonomi di tengah pandemi dan perkembangan efek vaksin,” tutur Direktur BCA Syariah Rickyadi Widjaja, awal Desember lalu.
Modal inti melesat
Masih di tahun 2019, akuisisi dilakukan oleh Mantan Direktur Utama Bank BTPN Jerry Ng dan pemegang saham BTPN Sugito Walujo terhadap bank dengan modal yang sangat kecil, Bank Jago. Saat itu, modal inti Bank Jago per September 2019 yang hanya sebesar Rp85,33 miliar langsung melesat usai akuisisi.
Sehingga, per Desember 2019 modal inti perusahaan menjadi Rp662,11 miliar. Bahkan, per September 2020 Bank Jago sudah bisa masuk ke dalam BUKU II dengan modal inti Rp1,06 triliun. Adapun kepemilikan Jerry dan Sugito di Bank Jago ialah sebesar 51% saham. Dengan masing-masing menggenggam 37,65% dari total saham dan 13,35% dari keseluruhan saham.
Sementara itu, demi mencapai target modal minimun Rp2 triliun pada 2021 sebagaimana ditetapkan OJK, aksi korporasi ini pun terus dilakukan. Teranyar, akuisisi dilakukan oleh salah satu anak perusahaan milik Grup Salim, yaitu PT Indolife Pensiontama.
Dalam laporan PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) mengenai pemegang saham emiten di atas 5% yang dipublikasikan pada 4 Januari lalu, terungkap bahwa gurita bisnis Grup Salim itu telah membeli 422,8 juta saham PT Bank Mega Tbk (MEGA) milik Chairul Tanjung.
Transaksi pengalihan 6,07% saham tersebut dilakukan sebanyak tiga tahap, dengan potensi nilai Rp2,9 triliun. Pada tahap pertama Indolife Pensiontama telah membeli 304,61 juta saham, tahap kedua 22,62 juta saham dan tahap tiga 95,57 juta saham.
Sementara itu, Ekonom CORE Indonesia Piter Abdullah menganggap akuisisi oleh grup-grup konglomerasi ini sebagai suatu hal yang lumrah dilakukan. Terlebih, bank-bank nasional kini dituntut untuk memiliki modal inti minimum sebesar Rp3 triliun pada 2022.
Hal itulah yang memaksa bank-bank, terutama bank kecil berlomba-lomba menutup kekurangan modal inti mereka. Dus, otoritas tidak akan mencabut izin bank mereka dan terdegradasi menjadi Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
“Sudah ada ketentuannya. Kalau mereka tidak memenuhi, mereka kan akan jadi BPR. Makanya itu lah yang dipaksa oleh OJK. Jadi, mereka harus bergabung atau dia harus diakuisisi. Ini makanya banyak yang merger dan akuisisi,” ujar dia kepada Alinea.id, Sabtu (23/1).
Di sisi lain, Piter menilai konsolidasi perbankan ini, baik melalui akuisisi atau aksi korporasi lain memang perlu dilakukan. Utamanya, demi memperbaiki kondisi perbankan nasional yang saat ini tidak tersegmentasi dan jumlah yang cukup banyak.
Berdasarkan laporan Statistik Perbankan Indonesia (SPI), hingga Oktober 2020 masih ada dua bank yang memiliki modal inti di bawah Rp1 triliun. Adapun bank dengan modal inti antara Rp1 triliun-Rp10 triliun ada 28 bank. Bank dengan modal inti antara Rp10 triliun-Rp50 triliun ada sebanyak 49 bank, sedangkan bank dengan modal inti di atas Rp50 triliun ada 31 bank.
“Kita ada 10 bank besar, kalau digabung jadi 1 menguasai mungkin sekitar 80% dari aset bank. Jadi, yang kecil-kecil itu terlalu kecil. Ini jelek. Ini yang kemudian menimbulkan banyak masalah di perbankan kita. Perbankan kita itu banyak anomali. Karena memang dia tersegmentasi,” tutur dia.
Kondisi tersebut lantas membuat perbankan yang seharusnya menjadi transmisi dari kebijakan moneter, tidak bisa bekerja secara sempurna. Hal itu terlihat saat suku bunga acuan oleh Bank Indonesia (BI) sudah turun, namun di sisi lain bunga bank sama sekali tidak mengalami penurunan.
“Makanya, sekarang ini OJK mengeluarkan kebijakan baru, yang memaksa mereka ini lebih keras lagi. Mereka dipaksa untuk merger dan akuisisi,” tambahnya.
Sejalan dengan Piter, Direktur Eksekutif INDEF Tauhid Ahmad juga menilai, konsolidasi perbankan sangat perlu dilakukan. Tidak hanya untuk memperbesar permodalan bank, namun juga memperkuat struktur managemen, hingga memperluas segmen pasar. Namun, konsolidasi harus dilakukan dengan memperhatikan ruang gerak dan cakupan pasar antara satu bank dengan bank lain.
“Sehingga tidak terjadi aglomerasi dari sisi perbankan. Jadi, pengumpulan pada kelompok-kelompok tertentu pada perbankan,” kata dia, kepada Alinea.id, Minggu (24/1).
Di sisi lain, Tauhid mengkhawatirkan kemungkinan konsolidasi oleh konglomerat-konglomerat lokal yang akan menimbulkan dominasi pada bank-bank besar saja. Sebab, di Indonesia bank BUKU I dengan modal inti kurang dari Rp1 triliun dan kredit macet atau non-performing loan (NPL) yang cenderung terus meningkat masih banyak dijumpai.
Karenanya, untuk menghindari risiko tersebut, pihaknya meminta agar pemerintah mengeluarkan kebijakan yang lebih adil bagi para pelaku usaha. “Paling tidak pada level yang sama. Level pengusaha yang cukup adil bagi pelaku usaha sendiri,” tambahnya.
Sementara itu, untuk menghindari resiko yang diakibatkan oleh aksi korporasi ini, OJK telah menerbitkan aturan terkait konglomerasi. Payung hukum pengaturan pengawasan ini tertuang di dalam POJK Nomor 45/2020 yang diteken Ketua DK OJK Wimboh Santoso pada 14 Oktober 2020 lalu.
Berdasarkan beleid tersebut, otoritas menetapkan kriteria konglomerasi keuangan yaitu memiliki total aset grup atau kelompok usaha minimal Rp100 triliun. Selain itu, grup konglomerasi juga diwajibkan untuk berkegiatan di lebih dari satu jenis lembaga jasa keuangan (LJK).
Dihubungi terpisah, Staf Ahli OJK Ryan Kiryanto mengatakan, saat ini OJK tengah memberikan pengawasan ketat terhadap 48 konglomerasi di sektor keuangan. Tercatat, hingga 2019, perusahaan konglomerasi keuangan memiliki total aset hingga Rp7.187 triliun. Kemudian, dalam catatan OJK ada 34 konglomerasi dengan bank sebagai entitas utama, di sektor asuransi ada 8 konglomerasi, perusahaan pembiayaan 2 konglomerasi dan di sektor LJK Khusus ada 1 konglomerasi.
“Semakin banyaknya sektor keuangan dalam sebuah konglomerasi dapat menimbulkan potensi keuangan yang berkomplikasi. Di sisi lain, juga bisa menghasilkan pendapatan maksimal. Ini akan efektif dan maksimal untuk bisa jadi lebih cepat dengan takaran yang tepat,” ujar dia, Jumat (22/1).