Konsumsi rumah tangga, yang selama ini menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi domestik, menunjukkan tanda-tanda pelemahan yang mengkhawatirkan. Diperkirakan pertumbuhannya akan lebih rendah dibandingkan kuartal I-2024.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal mengatakan lesunya konsumsi terjadi setelah periode pemilihan umum (pemilu) dan ramadan, terlihat dari Indeks Penjualan Riil yang merupakan leading indicator konsumsi sepanjang kuartal II-2024 hanya tumbuh 1,25% dari kuartal sebelumnya 5,61%.
"Beberapa jenis barang yang mengalami pelemahan, yakni penjualan suku cadang dan aksesori; bahan bakar kendaraan bermotor; serta makanan, minuman dan tembakau," kata Faisal, dikutip Jumat (26/7).
Optimisme kelas menengah turun
Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) sepanjang semester I-2024 tercatat merosot menjadi 124.7, lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun 2023 yang mencapai 125. Penurunan ini terjadi meskipun tahun 2024 bertepatan dengan momen pemilu nasional, yang seharusnya memberikan dorongan positif pada sentimen konsumen.
Turunnya IKK terjadi sejak Mei 2024, dari 125.2 menjadi 123.3 pada Juni. Terutama disebabkan oleh memburuknya persepsi terhadap ketersediaan lapangan kerja, yang berdampak signifikan pada Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini dan Indeks Ekspektasi Kondisi Ekonomi.
"Lemahnya keyakinan berkonsumsi terlihat dari masyarakat kelas menengah dan bawah. Kesenjangan keyakinan atara kalangan atas dan menengah-bawah semakin lebar, terutama mereka yang pengeluarannya di Rp1 juta hingga Rp2 juta per bulan," kata Faisal.
Kondisi ini, lanjutnya, menunjukkan potensi ketimpangan dalam pemulihan ekonomi yang dapat memperlemah daya beli secara keseluruhan.
Upah minim
Mengendurnya konsumsi rumah tangga dipicu oleh minimnya upah. Pada 2023, rata-rata upah riil tahunan terkontraksi. Pada 2024, angkanya hanya tumbuh 0,7% secara tahunan atau year on year (yoy).
"Banyak sektor yang masih turun tingkat upah riilnya," kata Faisal.
Hal tersebut terlihat dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang tercatat minus. Sejak awal tahun hingga Mei 2024, PPN turun 6%, dari periode yang sama di tahun sebelumnya yang tumbuh 21%. Sementara dari sisi realisasi, hingga Mei 2024, nilainya baru mencapai 34,8%, lebih rendah dari periode yang sama tahun lalu yang mencapai 40,50%.
Indikasi perlambatan konsumsi juga terlihat dari tren penurunan proporsi konsumsi sejak tahun lalu. Pada kuartal II, proporsi konsumsi lebih rendah dibandingkan kuartal I-2024. Alokasi pendapatan untuk konsumsi yang turun diduga terjadi karena kenaikan angsuran pinjaman pada periode suku bunga tinggi. Rata-rata suku bunga dasar kredit, terutama untuk pinjaman kredit perumahan rakyat (KPR) dan non-KPR, telah banyak mengalami penyesuaian, dengan suku bunga non-KPR lebih tinggi. Pinjaman rumah tangga KPR memiliki proporsi besar, mencapai 33% dari total kredit konsumsi.
"Proporsi rumah tangga untuk konsumsi turun, yang meningkat adalah pengeluaran cicilan untuk pinjaman," ujarnya.
Hal tersebut tergambar pada turunnya simpanan masyarakat di perbankan, terutama untuk kelas menengah yang memiliki simpanan di bawah Rp100 juta. Pada April 2024, pertumbuhan simpanan turun menjadi 4,1%, dibandingkan dengan 7,8% pada Maret 2024.
Tingkat pengangguran tinggi
Di sisi lain, penciptaan lapangan kerja saat ini pun masih belum optimal. Hal ini tecermin dari menurunnya proporsi penduduk yang bekerja penuh waktu. Penduduk yang bekerja di bawah jam kerja normal atau kurang dari 35 jam seminggu dan masih mencari pekerjaan atau biasa disebut setengah pengangguran pada Februari 2024 justru meningkat menjadi 8,52% ketimbang Februari 2023 yang hanya mencapai 6,9%.
Perlambatan konsumsi rumah tangga juga didukung oleh tingginya angka pengangguran di Indonesia yang diakibatkan oleh belum pulihnya industri manufaktur pascapandemi Covid-19. Beberapa industri dalam negeri, baik yang berorientasi pasar internasional maupun domestik, masih mengalami perlambatan produksi yang menyebabkan pemutusan hubungan kerja (PHK) terus berlanjut, terutama pada industri tekstil dan produk tekstil (TPT).
Sepanjang Januari hingga Mei 2024, terdapat 69.400 orang yang terkena PHK. Tingginya angka PHK di industri TPT sebagian disebabkan oleh naiknya impor yang menggerus pasar domestik. Total impor TPT Indonesia pada kuartal II-2024 meningkat tajam sebesar 35,5%. Sejak berlakunya Permendag No. 36 Tahun 2023 yang direvisi menjadi Permendag No. 8 Tahun 2024 tentang kebijakan dan pengaturan impor, lonjakan barang-barang impor dengan harga lebih murah membanjiri pasar domestik, merugikan perusahaan-perusahaan dalam negeri.