Terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja sebagai pengganti UU Nomor 11 Tahun 2020 menuai perdebatan. Terutama dalam klaster ketenagakerjaan. Selain soal hari libur, kontroversi terjadi pada formula pengupahan dan pekerja alih daya (outsourcing). Selain organisasi buruh, protes juga dari pengusaha.
Soal pengupahan, Perppu Cipta Kerja menggunakan formula akumulasi dari pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu. Sementara di UU Nomor 11 Tahun 2020 memakai formula pertumbuhan ekonomi atau inflasi. Menurut Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani, formula baru memberatkan dunia usaha, terutama yang padat karya.
Dia menyangsikan tujuan perubahan variabel itu bisa mendorong daya beli warga. Bagi Hariyadi, inflasi tidak bisa dijadikan patokan kenaikan UMR karena inflasi tiap provinsi berbeda. Dia berharap aturan turunan dari Perppu No 2/2022 bisa mendorong upah di daerah yang tertinggal dari yang seharusnya dan menahan laju upah di daerah yang naik tidak terkendali.
Organisasi buruh pun mempersoalkan formula pengupahan. Bagi Presiden Partai Buruh Said Iqbal, ada empat persoalan soal pengupahan di Perppu Cipta Kerja. Salah satunya soal formula pengupahan yang tidak jelas.
"Mestinya cukup berbunyi ‘kenaikan upah minimum didasarkan pada inflasi dan pertumbuhan ekonomi’. Tidak perlu indeks tertentu," kata Said.
Dibandingkan dengan UU Nomor 13/2003, formula pengupahan jauh berubah. Di UU Ketenakerjaan itu, upah minimum ditetapkan berdasarkan kebutuhan hidup layak. Sejak beleid ini berlaku pemerintah secara berkala melakukan survei kebutuhan hidup layak. Formula baru tidak mengadopsi ini.
Ihwal pekerja alih daya, kata Said, Perppu Cipta Kerja hendak mengubah pembebasan untuk semua jenis pekerjaan seperti diatur di UU Nomor 11/2020. Artinya, perusahaan dapat menyerahkan sebagian pekerjaan kepada perusahaan alih daya. Ia mendesak pengaturan pekerja alih daya kembali mengadopsi isi UU Nomor 13/2003: outsourcing hanya kegiatan penunjang.
Sebaliknya, Hariyadi mewakili dunia usaha, berharap pemerintah tetap membebaskan pekerja alih daya untuk semua jenis pekerjaan. Pembatasan jenis pekerjaan untuk pekerja alih daya berpotensi menghambat ekosistem ekonomi yang sehat dan fleksibel untuk menarik investor.
Kementerian Ketenagakerjaan bisa memahami sejumlah pihak keberatan dengan isi Perppu Cipta Kerja. Isi regulasi baru itu merupakan hasil menyerap aspirasi publik, baik pelaku usaha, buruh maupun pemda. Pengaturan pekerja alih daya, kata Dirjen Pembinaan Hubungan Industri dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kemenaker, Indah Anggoro Putri, untuk memberi kepastian. Pembatasan, klaim dia, tidak mengurangi peluang perusahaan untuk mengembangkan usahanya.