KPPOD: Kemandirian fiskal daerah masih rendah
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Arman Suparman menyoroti rendahnya daya saing Indonesia dan persoalan kemandirian fiskal daerah yang belum tercapai. Rendahnya daya saing Indonesia tercermin dalam beberapa indeks internasional yaitu Global Competitiveness Index (2019), Ease of Doing Business (2020). Indeks Asia Competitivenes Institute (2017). Hal ini menunjukan adanya disparitas kemampuan bersaing yang besar antardaerah di Indonesia.
Selain itu, merujuk laporan BPK 2019, Kemandirian fiskal daerah masih rendah, di mana hanya satu daerah yang dikategorikan sangat mandiri yakni Kabupaten Badung.
"Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah yang besar dalam meningkatkan daya saing, khususnya daya saing daerah," kata Arman dalam keteranganya kepada Alinea.id, Senin (13/12).
Menurut Arman, pengesahan Rancangan Undang-Undang Hubungan Keuangan Pusat Daerah (RUU HKPD), dapat menghadirkan nuansa kepastian melalui pemberlakuan asas closed list, serta simplifikasi pada sejumlah nomenklatur pajak. Apalagi terdapat jenis pajak baru seperti Pajak Alat Berat (PAB) dan Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) yang merupakan fusi atas beberapa jenis pajak dalam UU 28/2009 seperti pajak hotel, pajak restoran, pajak parkir, pajak penerangan jalan, dan pajak hiburan.
Terdapat beberapa rasionalisasi retribusi, khususnya retribusi perizinan tertentu seperti retribusi persetujuan bangunan Gedung yang merupakan perubahan dari retribusi IMB sebagai imbas atas berlakunya UU Cipta Kerja.
"KPPOD mengapresiasi hadirnya UU HKPD sebagai regulasi yang diharapkan mampu memberikan dampak signifikan terhadap upaya peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Kajian KPPOD menemukan bahwa terdapat tiga dimensi kebermanfaatan yang dapat dihadirkan oleh regulasi ini, yakni dari sisi insentif fiskal, ruang otonomi, dan peningkatan PAD itu sendiri," ujar dia.
UU HKPD mendorong pemda untuk memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha. Kemudian dari sisi otonomi, UU ini menciptakan ruang bagi otonomi daerah dalam menetapkan tarif dengan sistem range (batas maksimal) dan tidak memungut pajak yang potensinya tidak memadai. UU ini juga menetapkan pemda berwenang untuk menarik opsen sebagai pungutan tambahan atas pajak tertentu sehingga berpotensi meningkatkan PAD.
"Hal ini sebenarnya memperkuat PP 10/2021 sebagai turunan dari UU Cipta Kerja dan mempertegas PP 24/2019 dimana daerah memberikan insentif fiskal sesuai dengan peraturan perundang-undangan," tegas Arman.
UU ini juga, lanjut Arman, menghadirkan skema Opsen dimana terdapat pungutan tambahan terhadap jenis pajak tertentu. Pajak yang dimaksud adalah Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), dan Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB). Arman menambahkan bahwa skema opsen dalam UU ini yang dibayarkan wajib pajak tidak berbeda jauh dengan tarif existing.
"Ke depannya, kita menanti peraturan pemerintah terkait opsen agar tidak membingungkan pembayaran pajak" tegas Arman.
Namun, KPPOD juga menemukan adanya potensi dampak ekonomi negatif yang bisa ditimbulkan oleh UU ini. Hal itu dilihat dari pengaturan beberapa Pajak Daerah, misalnya Pajak Barang dan Jasa Tertentu untuk Tenaga Listrik. Secara substansi, pengaturan PBJT tenaga listrik dalam UU ini telah sesuai dengan beberapa poin putusan MK.
Menurut Arman, penarikan pajak atas penggunaan tenaga listrik yang dihasilkan sendiri mengindikasikan bahwa terdapat keterbatasan pemerintah dalam meyediakan infrastruktur dan penyediaan tenaga listrik secara mandiri menandakan ada partisipasi masyarakat dalam perekonomian daerah.
"Dua hal ini perlu dipertimbangkan agar tetap memperhatikan keseimbangan dan melihat kontribusi pelaku usaha yang memiliki tenaga listrik yang dihasilkan sendiri terhadap perekonomian daerah," katanya.
KPPOD melihat bahwa penarikan pajak atas penggunaan listrik yang dihasilkan sendiri menimbulkan dampak ekonomi negatif. Selain itu, kenaikan persentase Pajak Bumi dan Bangunan untuk Pedesaan dan Perkotaan (PBB-P2) juga berpotensi membebani pelaku usaha dan kelompok masyarakat tertentu.
Terkait pengaturan evaluasi Perda PDRD, UU ini hanya memberlakukan sanksi terhadap pemerintah daerah yang tidak mengindahkan hasil excecutive review, namun tidak ada konsekuensi terhadap reviewer yang melakukan peninjauan Ranperda melebihi tenggat waktu yang ditentukan.
Menyoroti mekanisme Transfer Keuangan dan Dana Desa (TKDD) dalam regulasi ini, KPPOD memberikan ekspektasi bahwa TKDD mampu mendorong kinerja Pemerintah Daerah. KPPOD melihat bahwa pengaturan Dana Bagi Hasil (DBH) masih "alam-sentris". Padahal masa kini telah terjadi pergeseran struktur ekonomi, sehingga perlu ada DBH sektor sekunder dan tersier sebagai penghargaan terhadap potensi daerah yang bermanfaat bagi pusat.
Selain itu, pengaturan Dana Alokasi Umum (DAU) mesti menyiapkan pengaturan atau asistensi kepada daerah bagaimana membuat penganggaran sesuai dengan prioritas daerah selaras dengan konsep standar pelayanan minimum.
Terkait Dana Otonomi Khusus (Otsus) dan Dana Keistimewaan, diperlukan adanya perbaikan tata kelola dana Otsus dan dana keistmewaan melalui pembinaan dan pengawasan; penajaman formula alokasi dari provinsi kepada pemerintah kabupaten kota; penajaman persyaratan penyaluran, aspek akuntabilitas pelaporan, target kinerja; dan pemberian insentif dalam peraturan pemerintah.