Bank Indonesia memangkas proyeksi pertumbuhan kredit pada tahun ini menjadi 8% (year-on-year/yoy) dari outlook semula 10%-12% lantaran permintaan melambat.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan permintaan kredit terhadap perbankan hingga November 2019 masih melambat, padahal pasokan likuiditas di perbankan mencukupi. Belum kuatnya permintaan terhadap kredit perbankan paling banyak dari segmen debitur korporasi.
Oleh karena itu, Bank Sentral mencoba realistis dengan memangkas 200 basis poin (2%) untuk proyeksi (outlook) pertumbuhan kredit perbankan menjadi 8% dari 10%-12%. Jika berkaca pada 2018, realisasi pertumbuhan kredit mencapai 12,1%.
"Dewan Gubernur telah mendiskusikan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan kredit yang melambat. Ini karena dipengaruhi masih lemahnya pemrintaan kredit dari sisi korporasi yang masih belum kuat," ujarnya dalam konferensi pers di Gedung BI, Jakarta, Kamis (21/11).
Penurunan proyeksi ini juga tidak lepas dari realisasi pertumbuhan kredit hingga September 2019. Di bulan kesembilan tahun ini, pertumbuhan kredit melambat menjadi 7,89% (yoy) dibanding Agustus 2019 sebesar 8,59%.
Lambannya pertumbuhan kredit itu sejalan dengan Dana Pihak Ketiga (DPK) di September 2019 yang hanya tumbuh 7,47% (yoy) atau melambat dibandingkan dengan pertumbuhan Agustus 2019 yang sebesar 7,62% (yoy).
Dengan begitu, hingga Novemebr 2019, proyeksi terbaru Bank Sentral untuk pertumbuhan kredit 2019 menjadi 8% (yoy), sedangkan DPK tumbuh 8% (yoy) juga.
Mengenai penyebab lambannya pertumbuhan kredit, Perry melihat tidak terdapat masalah dari sisi suplai atau penawaran likuiditas perbankan. Namun dia mengakui, dari sisi penawaran, distribusi likuiditas juga belum merata di kelompok Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) I, BUKU II, dan BUKU III.
Dia mengatakan lambannya permintaan kredit adalah penyebab utama lambannya realisasi penyaluran kredit. Beberapa indikator yang menggambarkan lambatnya permintaan kredit adalah survei Bank Sentral terhadap dunia usaha yang menyimpulkan 53% responden korporasi belum merencanakan investasinya untuk 2020 karena masih berkutat dalam konsolidasi perusahaan.
"Indikator lainnya adalah menurunnya impor barang modal dan bahan baku Hal itu menunjukkan kegiatan produksi belum bertumbuh pesat," ujarnya.
Selain itu, Bank Sentral juga melihat terdapat pergesaran sumber pendanaan. Korporasi kini mulai banyak mengandalkan sumber pendanaan dari pasar modal dengan menerbitkan obligasi. Berbagai indikator itu membuat BI berkesimpulan permintaan kredit belum mendukung fungsi intermediasi perbankan.
Proyeksi dari BI untuk pertumbuhan kredit ini menunjukkan gambaran yang paling rendah untuk kinerja intermediasi perbankan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) masih memasang proyeksi pertumbuhan kredit di 8%-10%, berdasarkan paparannya di rapat dengan Komisi XI DPR pada Senin awal pekan ini.
Sedangkan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) memproyeksikan pertumbuhan kredit masih dapat mencapai 10% tahun ini. (Ant)