Pemerintah mengalokasikan anggaran senilai Rp695,2 triliun untuk mengatasi dampak pandemi Covid-19 tahun ini. Dana ini salah satunya digunakan untuk memberikan bantalan pada pemulihan ekonomi masyarakat.
Ekonom senior Universitas Indonesia Chatib Basri mengatakan, stimulus fiskal tersebut masih tetap dibutuhkan pada 2021, meskipun nantinya vaksin telah ditemukan. Pemberian vaksin kepada masyarakat membutuhkan sumber daya yang besar dan membutuhkan waktu yang lama.
"Apa implikasinya? Maksimal jumlah pengunjung ke tempat publik 50%, pesawat ada batasnya. Kalau skala ekonominya masih 50%, ada risiko perusahaan tidak bisa beroperasi 100%," kata Chatib, Selasa (13/10).
Dalam kondisi ini maka di 2021 Indonesia belum bisa terlalu mengharapkan pertumbuhan investasi swasta. Oleh karena itu, stimulus fiskal yang diatur dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menjadi harapan.
Dia melihat saat ini loan to deposit ratio (LDR) perbankan turun. Dana yang tersimpan di bank banyak, tetapi tidak ada yang meminjam. Sebab, sektor swasta melihat belum ada permintaan untuk melakukan produksi.
"Kalau kita terlalu cepat melakukan disiplin fiskal saat investasi swastanya belum kick in, yang terjadi adalah kontraksi ekonomi," tuturnya.
Sementara itu Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro mengatakan, pihaknya melihat setelah adanya pemulihan di Juni, berbagai indikator belanja memang melandai kembali. Dia mengamati, setiap ada tren kenaikan kasus Covid-19 yang diikuti pembatasan sosial berskala besar (PSBB), kepercayaan masyarakat untuk belanja relatif terganggu.
Dari riset Kantor Ekonom Bank Mandiri, berdasarkan pemasukan kelompok pekerjaan, pemasukan kelompok pegawai relatif stabil. Tetapi, pemasukan kelompok wiraswasta dan informal relatif terganggu.
"Dari sini kita bisa paham, kebijakan stimulus di 2021 untuk mendorong daya beli masih dibutuhkan," ujarnya.