close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Dari data Bloomberg, kurs rupiah terus merosot sejak 24 Januari 2018 pada level Rp13.314 per dollar AS. Sejak saat itu, kurs rupiah telah terdepresiasi 5,54% ke level Rp14.052 per dollar AS pada penutupan perdagangan Selasa (8/5) di pasar spot. / Sukirno
icon caption
Dari data Bloomberg, kurs rupiah terus merosot sejak 24 Januari 2018 pada level Rp13.314 per dollar AS. Sejak saat itu, kurs rupiah telah terdepresiasi 5,54% ke level Rp14.052 per dollar AS pada penutupan perdagangan Selasa (8/5) di pasar spot. / Sukirno
Bisnis
Selasa, 08 Mei 2018 20:41

Kurs dollar melonjak, BI siram valas Rp100 triliun

Nilai tukar rupiah terus ambrol menembus Rp14.000 per dollar Amerika Serikat, membuat Bank Indonesia harus mengucurkan valas Rp100 triliun.
swipe

Nilai tukar rupiah terus ambrol menembus Rp14.000 per dollar Amerika Serikat, membuat Bank Indonesia harus mengucurkan valas Rp100 triliun.

Dari data Bloomberg, kurs rupiah terus merosot sejak 24 Januari 2018 pada level Rp13.314 per dollar AS. Sejak saat itu, kurs rupiah telah terdepresiasi 5,54% ke level Rp14.052 per dollar AS pada penutupan perdagangan Selasa (8/5) di pasar spot.

Pada Januari 2018, Cadangan devisa yang dimiliki oleh Bank Indonesia mencapai US$131,98 miliar. Namun, pelemahan kurs rupiah terus berlangsung hingga menembus Rp14.000, membuat bank sentral mengintervensi pasar valuta asing.

Tercatat, BI telah mengucurkan Cadev sebesar US$7,2 miliar setara dengan Rp100 triliun (kurs Rp14.000 per dollar AS) pada periode Januari-April 2018.

Cadev tergerus menjadi US$124,86 miliar pada April 2018, dari US$131,98 pada Januari 2018. Tergerusnya Cadev pada April 2018 terutama dipengaruhi oleh penggunaan devisa untuk pembayaran utang luar negeri pemerintah dan stabilisasi nilai tukar rupiah di tengah ketidakpasatian pasar keuangan global yang masih tinggi. 

Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara menilai volatilitas kurs rupiah terhadap dollar AS saat ini tidak setinggi pada 2013 dan 2015.

"Volatilitas tidak seperti 2013 dan 2015 yang saat itu memang keras sekali," kata Mirza saat ditemui di Gedung Kemenko Perekonomian, Jakarta, seperti dilansir Antara, Selasa (8/5).

Mirza menceritakan terjadinya pergerakan kurs di negara-negara berkembang pada 2013 ketika pelaku pasar merespon rencana kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral AS (The Fed).

Hal serupa juga terjadi ketika Bank Sentral AS benar-benar menaikkan suku bunga acuan sehingga kurs kembali bergejolak pada 2015 karena aliran modal keluar dari negara-negara berkembang.

Mirza mengatakan kondisi saat ini berbeda dengan situasi pada periode 2013 dan 2015 karena kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral AS sudah bisa diprediksi oleh pelaku pasar.

"Sekarang kenaikan suku bunga terus berlanjut. Volatilitas ini sementara saja dan dialami berbagai negara," katanya.

Ia menambahkan perlemahan kurs terhadap dollar AS ini tidak hanya terjadi di negara-negara maju dan berkembang, namun juga negara yang memiliki defisit neraca perdagangan barang dan jasa.

Sebelumnya, nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta, Selasa sore, bergerak melemah sebesar 50 poin menjadi Rp14.043 dibandingkan posisi sebelumnya Rp13.993 per dollar AS.

Kepala Riset Monex Investindo Futures Ariston Tjendra menambahkan kenaikan imbal hasil obligasi AS dan penguatan data ekonomi AS secara umum turut membuat mata uang dollar AS kembali terapresiasi.

Ia mengatakan pelaku pasar yang sedang mengantisipasi pidato Ketua The Fed Jerome Powell yang kemungkinan akan membahas kelanjutan dari kebijakan moneter turut mempengaruhi pergerakan mata uang di negara berkembang.

Sementara itu, dalam kurs tengah Bank Indonesia (BI) pada Selasa (8/5) mencatat nilai tukar rupiah bergerak melemah ke posisi Rp14.036 dibandingkan posisi sebelumnya Rp13.956 per dollar AS.

img
Sukirno
Reporter
img
Sukirno
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan