close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Direktur Riset Indef Aviliani saat memaparkan materi dalam diskusi
icon caption
Direktur Riset Indef Aviliani saat memaparkan materi dalam diskusi "Salah Kaprah Negara Maju?" di Kawasan Pasar Minggu, Jakarta, Kamis (27/2/2020). Alinea.id/Nanda Aria.
Bisnis
Kamis, 27 Februari 2020 19:06

Label negara maju dinilai bahaya bagi perdagangan Indonesia

Indef menyatakan pendapatan nasional bruto (PNB) per kapita masih rendah.
swipe

Institute for Development of Economics and Finance (Indef) ukuran yang dipakai United State Trade Representative (USTR) untuk menaikkan status Indonesia menjadi negara maju tidak tepat.

Direktur Riset Indef Aviliani mengatakan, berdasarkan hitungan pendapatan nasional bruto (PNB) per kapita, Indonesia masih di bawah standar yang ditetapkan Bank Dunia yaitu sebesar US$12.375.

"PNB Indonesia hanya US$3.840 di 2018 dan sebesar US$4.000 di 2019, masih jauh dari standar yang ditetapkan Bank Dunia," katanya di Kawasan Pasar Minggu, Jakarta, Kamis (27/2).

Selain itu, lanjutnya, tingkat kemiskinan Indonesia juga masih tinggi. Penduduk dengan pengeluaran di bawah US$1,9 per hari masih tinggi, yakni sebesar 5,7% dari total penduduk pada 2017. Sedangkan penduduk dengan pengeluaran US$3,2 per hari mencapai 27,3% dari keseluruhan.

Sementara, di negara maju, tingkat pengeluaran US$1,9 per hari rata-rata hanya sebesar 0,6%, dan pengeluaran US$3,2 per hari hanya 0,9% dari total penduduk.

Di samping itu, Aviliani mengatakan, ditetapkannya Indonesia sebagai negara maju hanya berdasarkan pada kontribusi perdagangan Indonesia terhadap dunia yang di atas 0,5%, yaitu sebesar 0,9% di 2018.

"Benar bahwa share ekspor Indonesia pada 2018 mencapai 0,9% terhadap total ekspor dunia. Namun ini tidak cukup untuk menjadikan Indonesia dinilai sebagai negara maju karena tidak didukung oleh indikator lain seperti GNI per capita serta indikator kesejahteraan lainnya," jelasnya.

Aviliani menyebut peringkat Indonesia juga jauh di bawah Vietnam, Thailand, dan Malaysia, di posisi 29 dunia. Kontribusi ekspor Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) pun dinilai paling rendah di antara negara-negara G-20.

"Peranan ekspor indonesia tidak signifikan bagi pertumbuhan ekonomi. Peranan ekspor terhadap PDB Indonesia hanya kisaran 20%-25%. Berbeda dengan Vietnam yang peranan ekspornya mencapai 105% terhadap PDB," katanya.

Untuk itu, lanjutnya, pemerintah harus melayangkan protes kepada USTR agar mengembalikan status Indonesia sebagai negara berkembang. Pasalnya, dengan status negara maju tersebut akan berdampak buruk kepada perdagangan dalam negeri.

Indonesia akan dikenakan hukum countervailing duties (CVD), di mana keringanan bea masuk 2% produk Indonesia akan hilang, dan volume standar impor yang diabaikan akan dihapuskan.

Kebijakan itu, membuat USTR berwenang untuk melakukan penyelidikan atas berbagai produk impor Indonesia dan akan dikenakan hukuman jika negara memberi subsidi untuk menekan harga barang ekspor.

"Hal ini menimbulkan implikasi bahwa ke depan produk ekspor Indonesia menjadi lebih mahal di pasar AS karena pengenaan tarif," ujarnya.

Memicu daya saing

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengklaim penetapan CVD tidak akan berpengaruh banyak terhadap perdagangan Indonesia. Sebab, selama ini, bea masuk hanya berlaku untuk lima komoditas saja.

Sri pun merespons santai aturan baru perwakilan dagang Amerika tersebut. Menurut dia, dengan dihapusnya status Indonesia dari negara berkembang, harapannya dapat menjadi pemicu peningkatan daya saing produk dalam negeri.

"Indonesia kan selama ini sudah masuk sebagai negara berpendapatan menengah, jadi ya memang harus terus meningkatkan competitiveness kita aja," ujarnya.

Menurut Sri, selama ini yang menjadi sorotan dari berbagai pihak terkait perkembangan perekonomian Indonesia adalah masalah produktivitas, daya saing, dan juga keterhubungan antar daerah.

Lebih lanjut, Sri mengatakan jangan sampai pemberlakuan CVD tersebut, mengarah kepada penghapusan skema Generalize System of Preference (GSP) yang selama ini berlaku untuk komoditas ekspor Indonesia ke AS.

Sebagai informasi, saat ini komoditas Indonesia yang dikenakan CVD oleh AS adalah biodiesel, karbon, batang baja, udang beku, Monosodium Glutamate (MSG), serta berbagai jenis polyethlene plastic, menara angin (wind towers).

img
Nanda Aria Putra
Reporter
img
Laila Ramdhini
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan