Laju digitalisasi perbankan syariah gaet semakin banyak nasabah
Pola perilaku masyarakat dalam melakukan aktivitas ekonomi telah berubah dalam waktu singkat. Pembatasan fisik yang diterapkan sejak awal pandemi Covid-19 praktis membuat masyarakat terbiasa mengerjakan berbagai kegiatan ekonomi seperti jual-beli hingga pembayaran secara daring (online).
Hal ini lantas membuat digitalisasi yang sebelumnya berjalan apa adanya, menjadi semakin cepat bahkan merupakan keniscayaan bagi seluruh sektor ekonomi di dunia, termasuk juga Indonesia. “Di tengah banyaknya tantangan yang disebabkan pandemi, transformasi digital menjadi kunci untuk bisa mempertahankan dan mengembangkan usaha,” kata Direktur Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia (BI) Dudi Dermawan dalam keterangannya kepada Alinea.id beberapa waktu lalu.
Selain itu, tak dipungkiri jika percepatan digitalisasi juga dimaksudkan pula untuk mereguk ceruk pasar ekonomi digital di Indonesia. Di mana menurut laporan terbaru e-Conomy South East Asia (SEA) akan mencapai Gross Merchandise Value (GMV) sebesar US$77 miliar pada 2022. Sementara hingga 2025, ekonomi digital diperkirakan akan senilai US$130 miliar, dengan pertumbuhan tahunan sebesar 19% dan pada 2030 akan mencapai US$220 miliar sampai US$360 miliar. Adapun sampai saat ini, nilai ekonomi digital tanah air telah mencapai lebih dari US$70 miliar, menjadikannya yang terbesar di ASEAN.
Di sektor keuangan, khususnya perbankan, digitalisasi sebenarnya sudah terjadi 35 tahun yang lalu, sejak mesin ATM (Anjungan Tunai Mandiri) pertama kali digunakan oleh Bank Niaga. Kemudian berlanjut dengan diaplikasikannya computer banking dan mobile banking di tahun 2000-an.
“Dalam beberapa tahun terakhir, transformasi digital di industri perbankan bahkan telah berhasil melahirkan beberapa bank digital sebagai bentuk transformasi dari perbankan yang sudah ada atau perbankan baru berbentuk bank digital,” kata Ekonom Senior Indonesia Financial Group (IFG) Ibrahim Kholilul Rohman kepada Alinea.id, Selasa (6/12).
Digitalisasi pada industri perbankan, lanjut dia, terlihat dari studi IFG progress kepada 58 bank di Indonesia. Di mana 41% dari total bank tersebut memiliki proses bisnis secara tradisional, 39% menjalankan proses bisnis secara non-tradisional dan sisanya masih dalam masa transisi dari tradisional menjadi non-traditional.
Sementara itu, dari sisi customer experience, level digitalisasi perbankan dianalisa dengan menggunakan digital surface index atau indeks komposit yang menggambarkan kinerja sebuah bank, baik dari pembukaan rekening bank, layanan nasabah, keamanan pada aplikasi perbankan, pengajuan pinjaman, hingga penutupan rekening bank yang semuanya dilakukan secara daring. Hasilnya, 53% bank sudah masuk kategori bank digital dan 47% lainnya masih berstatus non-digital.
Meski memiliki porsi yang lebih banyak, namun menurut Ibrahim digitalisasi pada perbankan masih harus terus digenjot. “Sehingga perbankan dalam melayani nasabah dapat lebih efektif,” ujar Pengajar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) itu.
Apalagi, pasca pagebluk masyarakat lebih memilih untuk melakukan berbagai transaksi keuangan melalui gawai dengan internet atau mobile banking di dalamnya. Dus, transaksi dapat berjalan lebih praktis dan efisien tanpa nasabah harus datang ke kantor fisik bank.
Transformasi bank syariah
Sementara itu, dari sisi perbankan syariah, menurut Komisaris Utama Bank Syariah Indonesia (BSI) Adiwarman Karim, transformasi digital telah dilakukan sejak munculnya Bank Aladin yang merupakan bank murni digital pertama di Indonesia. Selain juga adaptasi internet banking yang diadopsi oleh bank-bank syariah lainnya.
Namun terlepas dari itu, dia melihat pentingnya digitalisasi bagi perbankan syariah. Pasalnya, dengan transformasi digital, bank syariah dapat menurunkan biaya bank untuk akuisisi nasabah baru. Selain juga dapat menurunkan biaya transaksi nasabah.
“Kemudian akan efektif juga untuk meningkatkan transparansi sistem bagi hasil antara bank dengan nasabah. Ini kalau di bank syariah,” kata dia, kepada Alinea.id, Selasa (6/12).
Di sisi lain, dengan semakin maksimal dan terintegrasinya sistem digital bank syariah, bank dapat lebih cepat menangani keluhan yang diajukan oleh nasabah. Hal ini praktis akan menambah kenyamanan dan keamanan nasabah saat bertransaksi di bank syariah tersebut.
“Karena berbagai manfaat itu, tidak heran kalau sekarang bank syariah semakin getol dalam melakukan transformasi digital,” lanjut Adiwarman.
Namun demikian, dibandingkan bank konvensional, bank syariah dinilai lebih terlambat dalam bertransformasi. Bahkan, banyak masyarakat yang telah memberi stempel ‘bank yang paling tertinggal untuk digitalisasi’.
Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Amin Nurdin bilang, biaya investasi mahal lah yang menyebabkan digitalisasi bank syariah berjalan lebih lambat. Pasalnya, ketika suatu bank hendak melakukan transformasi digital, maka bank itu harus membangun sebuah ekosistem digital. Sehingga tidak cukup hanya dengan membangun sistem teknologi dan informasi saja tapi juga untuk merekrut ahli digital yang dapat menerjemahkan prinsip perbankan menjadi produk dari bank itu.
“Kalau untuk BSI, bank beraset besar, rasanya biaya investasi tidak akan membuatnya terlalu berpikir untuk berinvestasi di sana. Tapi untuk bank lain yang skala usahanya masih kecil, secara tahapan lebih tertinggal. Karenanya ketika ini dikembangkan, maka itu menjadi nilai plus bagi bank syariah” jelasnya, kepada Alinea.id, Selasa (6/12).
Namun, jika digitalisasi perbankan syariah mulai didorong sejak sekarang, setidaknya bisa seimbang dengan bank-bank konvensional yang juga masih berjuang untuk bertransformasi. Sementara itu, menurut survei yang dilakukan Islamic Financial Services Board (IFSB), sebanyak 77% dari Islamic Bankings mengindikasikan proses transformasi digital sistem perbankannya mengalami progres dan hanya 3% yang baru berencana untuk memulai digitalisasi.
“Tapi jangan dibandingkan dengan bank besar seperti Mandiri, BCA, atau bank besar lainnya,” imbuh Amin.
Karenanya, untuk meningkatkan digitalisasi perbankan syariah industri perlu terlebih dahulu menyiapkan ekosistem yang kuat. Hal ini dilakukan dengan meningkatkan inklusi keuangan masyarakat karena ini erat kaitannya dengan pertambahan jumlah nasabah perbankan. Selain juga UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah) yang juga menjadi target nasabah.
“Jadi yang diharapkan adalah antara industri dan pemerintah bisa saling membantu memperluas jaringan ekosistem dan kolaborasi di antara mereka untuk mempermudah akuisisi nasabah bank syariah,” tegas dia.
Di saat yang sama, perlu pula bagi pemerintah untuk menyiapkan infrastruktur digital, terutama jaringan internet yang cepat dan stabil. Pasalnya, digitalisasi hanya dapat berjalan lancar jika infrastruktur sudah memadai.
Hadirnya super app
Sementara itu, urgensi digitalisasi sebenarnya sudah disadari pula oleh para penyelenggara bank syariah, salah satunya PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI). Dalam keterangan yang diterima Alinea.id, Selasa (6/12), Direktur Utama BSI Herry Gunadi menjelaskan, transformasi digital yang dilakukan secara konsisten dan terarah akan mendorong percepatan pertumbuhan perseroan.
Karenanya, sejak awal berdirinya, yakni pada 1 Februari 2021, BSI telah memulai upaya digitalisasi melalui proses online banking. “Digitalisasi yang sedang ditempuh perseroan di antaranya adalah merealisasikan mobile banking BSI menjadi super app, yaitu BSI Mobile,” katanya.
Dengan inovasi, nasabah tidak hanya bisa melakukan transaksi keuangan saja, melainkan dapat melakukan berbagai kegiatan ekonomi lainnya. Karena fitur yang terdapat dalam aplikasi pun semakin lengkap dan canggih.
Selain dari sisi platform, bank dengan kode emiten BRIS ini juga tengah mempersiapkan talenta digital untuk menciptakan fundamental sistem informasi dan teknologi (IT) yang kuat. Dengan demikian, ke depannya proses digitalisasi dapat berjalan lebih efisien dan lebih memudahkan nasabah dalam bertransaksi.
“Nantinya BSI Mobile super app ini tidak hanya dapat digunakan untuk transaksi, tapi juga untuk pembiayaan lain termasuk untuk mendukung ekosistem islami, seperti berzakat, sedekah, hingga bisa membantu menentukan alat kiblat, letak masjid, sampai tersedianya layanan ayat Al-Quran pendek,” jelas Direktur Teknologi Informasi BSI Achmad Syafi’i.
Dengan berbagai upaya tersebut, BSI pun berhasil mencatatkan transaksi melalui BSI Mobile secara kumulatif sebanyak 187,2 juta pada kuartal-III 2022, naik 152% dari periode yang sama di tahun sebelumnya (year on year/yoy), dengan nilai mencapai Rp664 miliar. Sementara jumlah pengguna layanan BSI Mobile telah mencapai 4,44 juta pengguna pada periode yang sama, naik 43% dari kuartal-III 2021.
“Profil nasabah BSI sebanyak 97% telah beralih menggunakan e-channel untuk beraktivitas perbankan,” sambung Direktur Utama BSI Hery Gunadi.
Perolehan ini praktis membuat pendapatan dari sisi fee-based income bank dengan kode emiten BRSI ini naik 86% menjadi Rp173 miliar, dari sebelumnya yang hanya sebesar Rp93 miliar. Sementara itu, hingga akhir kuartal-III 2022 BSI mencatatkan perolehan laba sebesar Rp3,21 triliun, naik 42% yoy.
Tercatat, Dana Pihak Ketiga (DPK) sebesar Rp245,18 triliun atau tumbuh 11,86% yang mayoritas berasal dari dana masuk ke tabungan wadiah. Di mana layanan ini bebas biaya administrasi bulanan dengan fasilitas e-banking.
Kemudian pembiayaan tercatat sebesar US$199,82 triliun yang mana 37,32% diantaranya berasal dari pembiayaan bisnis mikro, 35,81% dari pembiayaan kartu dan 30,15% dari pembiayaan gadai.
“Capaian ini juga didukung oleh kualitas pembiayaan yang sehat, tercermin dari non-performing loan (NPL) yang terjaga di 0,59%,” lanjut Hery.
Dari sisi kualitas aset, BSI mampu menumbuhkan aset hingga 11,53% yoy menjadi Rp280 triliun, Return of Equity (ROE) naik 17,44% dan efisiensi biaya cost of fund (COF) menjadi 1,56%.
Selain BSI, transformasi digital juga tengah getol dilakukan Bank Muamalat. Bahkan, sejak pandemi hingga September kemarin, bank syariah pertama di Indonesia ini berhasil memproses transaksi digital lebih dari Rp46 triliun dari lebih dari 33 juta transaksi. Artinya, sejak pagebluk transaksi digital perseroan naik menjadi 90%. Padahal, sebelumnya hanya sekitar 30%.
“Karena itu, kami sangat serius dalam mengembangkan infrastruktur digital banking. Apalagi, semua bank kini berada di playing field yang sama sehingga menjadi peluang yang harus dimanfaatkan oleh bank syariah,” ujar Direktur Utama Bank Muamalat Achmad K Permana, dalam gelaran Market Outlook 2023, Kamis (10/11).