Pemerintah berencana menutup keran ekspor pasir kuarsa atau pasir silika. Hal ini dilakukan guna meningkatkan nilai ekspor melalui pengolahan menjadi barang bernilai tambah.
"Kami mempertimbangkan untuk melarang ekspor pasir kuarsa. Terserah orang mau protes silakan, masa negara kita enggak boleh maju-maju. Negara lain boleh membuat kebijakan itu (larangan ekspor), kok kita enggak boleh," ujar Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia di sela-sela konferensi pers, Jumat (21/7).
Pengelolaan pasir kuarsa dilakukan dengan membangun ekosistem pabrik kaca dan panel surya. Langkah tersebut merupakan salah satu bagian dari hilirisasi di sektor pasir kuarsa. Dengan pembangunan pabrik tersebut, ujar Bahlil, Indonesia akan menjadi salah satu negara penyuplai panel surya terbesar di dunia.
Dia optimistis, permintaan panel surya akan meningkat seiring kian populernya pamor energi hijau alias green energy.
"Kita punya cadangan pasir kuarsa yang merupakan salah satu terbesar di dunia. Ini merupakan bahan baku utama untuk membangun kaca dan panel surya. Ke depan banyak perusahaan green energy, mereka membutuhkan itu," ujarnya.
Bangun pabrik terbesar kedua di dunia
Sebelumnya Bahlil berangkat ke China untuk menemui investor potensial pada Selasa (18/7). Di sana, dia mengunjungi fasilitas produksi Xinyi Group, salah satu perusahaan dalam industri kaca dan panel surya, di kota Wuhu, Tiongkok.
Kunjungan tersebut merupakan tindak lanjut atas rencana investasi Xinyi Group di Kawasan Rempang Eco-City, di Batam, Kepulauan Riau. Jika tak ada aral melintang, investasi itu akan membuahkan pabrik terbesar kedua di dunia.
"Xinyi akan membangun pabrik kaca, salah satu terbesar di dunia setelah China, itu yang mereka presentasikan ke kami. Hasil pertemuan dari kunjungan saya ke China tersebut apa? Saya akan laporkan ke presiden (Joko Widodo). Tapi ada secercah harapan yang baik," tuturnya.
Bahlil menyebut Xinyi merupakan salah satu pemain yang terbesar di dunia. Perusahaan tersebut menguasai market share dunia lebih dari 20%.
Dia menyebut, kunjungannya ke China juga untuk memperlihatkan dukungan terhadap perusahaan-perusahaan asing yang ingin mengembangkan bisnisnya di Indonesia. Juga guna mencerminkan komitmen pemerintah Indonesia untuk terus mendorong hilirisasi dalam berbagai sektor industri.
"Selama ini kan kita telah melakukan hilirisasi nikel. Kita mempunyai komoditas pasir kuarsa, silika yang selama ini kita ekspor raw material. Dengan kita membangun ekosistem pabrik kaca dan solar panel, ini merupakan bagian daripada hilirisasi di sektor pasir kuarsa," ungkap Bahlil.
Sementara itu, CEO Xinyi Group Gerry Tung menyampaikan apresiasinya kepada pemerintah Indonesia atas kemudahan dalam penanaman modal di Indonesia. Meningkatnya iklim investasi dan potensi ekonomi Indonesia merupakan salah satu faktor yang mendorong Xinyi Group memutuskan untuk menambah investasinya di Indonesia.
"Selama beberapa tahun ini kami sudah memperhatikan investasi di Indonesia sangat bagus. Telah banyak perubahan. Kami sudah investasi di Gresik, sekarang karena kami melihat perkembangan sangat bagus jadi kami tertarik untuk berkembang ke industri yang baru, termasuk yang di Batam ini,” ujar Gerry.
Xinyi Group yang merupakan perusahaan dari Xinyi Glass dan Xinyi Solar adalah perusahaan multinasional yang berbasis di Hong Kong dan memiliki operasi di seluruh dunia. Perusahaan ini adalah salah satu produsen kaca terbesar, dengan berbagai produk kaca yang digunakan dalam sektor otomotif, konstruksi, dan energi. Selain itu, Xinyi Group juga merupakan pemimpin dalam pembuatan panel surya, memanfaatkan teknologi berkelanjutan untuk mendukung transisi global ke energi terbarukan.
Catatan Kementerian Investasi/BKPM, selama periode 2018 hingga kuartal I-2023, China menempati peringkat asal penanaman modal asing (PMA) kedua terbesar dengan total capaian US$24,55 miliar. Investasi tersebut tersebar di lima besar wilayah di Indonesia, yaitu: Sulawesi Tengah (US$6,88 miliar), Jawa Barat (US$5,21 miliar), Maluku Utara (US$3,83 miliar), DKI Jakarta (US$1,74 miliar), dan Banten (US$1,45 miliar). Investasi China di Indonesia didominasi sektor industri logam dasar (US$8,61 miliar); transportasi, pergudangan dan telekomunikasi (US$6,69 miliar); listrik, gas dan air (US$2,75 miliar); real estate, kawasan industri dan perkantoran (US$1,74 miliar); serta industri kimia (US$1,95 miliar).