Presiden Joko Widodo atau Jokowi berniat merekomendasikan kepada presiden terpilih, Prabowo Subianto, untuk menggarap tambak yang mangkrak di Pantura. Luasnya sekitar 78.000 hektare, terbentang dari Serang sampai Banyuwangi.
Awalnya, lahan itu merupakan tambak udang yang dibangun Presiden Soeharto pada 1984, tetapi berhenti beroperasi sejak 1998. Untuk memanfaatkannya kembali, Jokowi mengatakan, membutuhkan anggaran hingga Rp13 triliun. Wacana itu disampaikan Jokowi kala meresmikan modeling budi daya ikan nila salin milik Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di Karawang, Jawa Barat pada 8 Mei 2024 lalu.
Menurut Manajer Kampanye Pesisir, Laut, dan Pulau Kecil Eksekutif Nasional Walhi, Parid Ridwanuddin, rencana menghidupkan kembali tambak mangkrak di sepanjang Pantura bisa membuang anggaran. Sebab, saat ini daya dukung lingkungan pesisir Pantura sudah menurun.
Wiayah Pantura sendiri sudah cukup padat tambak budi daya intensif, semi intensif, dan tambak sederhana. Sementara hampir semua tambak mengalami masalah daya dukung lingkungan yang mengganggu perikanan budi daya.
“Tahun 2022 KKP sendiri menulis, Banten untuk tambak budi daya semi intensif itu luasnya lebih dari 7,3 juta meter persegi, Jakarta 105.000 meter persegi, Jawa Barat hampir 31 juta meter persegi, Jawa Tengah hampir 49 juta meter persegi, Jawa Timur hampir 14 juta meter persegi,” ujar Parid kepada Alinea.id, Jumat (13/9).
“Kalau kita lihat tambak sederhana di Banten juga luas sekali, hampir 105 juta meter persegi, Jawa Barat hampir 300 juta meter persegi. Jadi ini luas sekali.”
Parid berujar, ketimbang membenahi tambak mangkrak, lebih baik pemerintah yang baru nanti mengoptimalkan tambak yang dikelola masyarakat, agar meningkat produksinya. Semisal tambak rakyat di Bumi Dipasena, Tulang Bawang, Lampung.
Tambak tersebut memiliki luas 16.250 hektare, dengan jumlah tambak sebanyak 17.139 petak. Dari luasan tambak itu, 6.800 hektare merupakan lahan pertambakan mandiri, dengan sertifikat hak milik, sedangkan 9.450 hektare adalah lahan perusahaan dengan hak guna usaha.
Jumlah kepala keluarga penambak sendiri mencapai 6.500 dan produksinya 30-70 ton per hari. Rata-rata hasil produksi bulanan sejak 2020-2021 sebanyak 15.895 ton per bulan atau 44,15 ton per hari.
“Seharusnya tambak-tambak udang yang jalan semacam ini yang didukung oleh pemerintah,” tutur Parid.
“Rencana membuka kembali tambak udang di sepanjang Pantura itu sebetulnya bukan gagasan yang benar karena kami di Walhi menyebut, Jawa sudah ‘tenggelam’. Jawa sudah mengalami beban ekologis yang sangat berat. Orientasi pembangunan di Jawa itu seharusnya pemulihan, bukan lagi ada beban bisnis baru.”
Parid menilai, asalkan didukung secara serius dari sisi modal pembudidayaan dan pemasaran, bukan tidak mungkin muncul sentra tambak budi daya baru di pesisir Pantura, layaknya di Bumi Dipasena.
“Walhi mendorong pemerintah harus melakukan intensifikasi, bukan ekstensifikasi. Perluasan atau menghidupkan yang lama di Pulau Jawa, tapi yang sudah jalan itu yang di-support dengan sangat serius,” ujar Parid.
Sementara itu, Ketua Bidang Pelestarian dan Pengembangan Budaya Pesisir Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Arie Soeharso menilai, sebelum pemerintah ingin mengaktifkan tambak mangkrak, perlu diketahui sekarang sektor perikanan budi daya sedang menghadapi persoalan pelik. Mulai dari serangan penyakit baru, tingginya biaya produksi, hingga lemahnya pemasaran ekspor.
“Sementara pemerintah selalu membuat target produksi udang dengan angka yang tidak masuk akal. Kalau pemerintah tetap ingin mencapai target produksi udang yang mereka impikan, maka sudah jelas tambak-tambak mangkrak yang ada itu dioptimalkan kembali,” ucap Arie, Jumat (13/9).
“Dengan catatan, dukungan penuh dari pemerintah untuk pembudidaya dalam menyelesaikan masalah di atas.”
Menurut Arie, dikelola korporasi atau masyarakat akan sama saja, bila tidak ada kontribusi dari pemerintah di sektor perikanan budi daya. Dia merasa, lebih penting pemerintah merancang formulasi untuk meningkatkan standar perikanan budi daya dengan konsep utama keberlanjutan dan keadilan.
“Tapi standar itu tidak mungkin bisa diterapkan kalau kondisi usaha budi daya udang kita sendiri tidak menggairahkan,” tutur Arie.
Kondisi terkini, ujar Arie, pengusaha dan masyarakat yang memiliki modal lebih memilih mencari lahan baru. Bahkan bekerja sama dengan pemerintah lokal untuk membuka tambak-tambak baru, yang menggerus banyak hutan mangrove, pesisir, dan laut daripada harus mengurusi tambak-tambak tua.
“Yang pada dasarnya berisiko menurunkan daya dukung lingkungan pesisir,” ujar Arie.