close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
LPEM Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia menemukan terjadi pertumbuhan yang signifikan terkait akses masyarakat terhadap layanan inklusi keuangan/Cantika Adinda Putri Noveria
icon caption
LPEM Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia menemukan terjadi pertumbuhan yang signifikan terkait akses masyarakat terhadap layanan inklusi keuangan/Cantika Adinda Putri Noveria
Bisnis
Selasa, 10 April 2018 15:30

LPEM UI: Inklusi keuangan tumbuh signifikan

Peningkatan jumlah pengguna LKD dan Laku Pandai secara signifikan, disebabkan peran agen yang semakin meningkat.
swipe

LPEM Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia menemukan pertumbuhan yang signifikan  akses masyarakat terhadap layanan inklusi keuangan. Baik itu melalui Laku Pandai maupun Layanan Keuangan Digital (LKD).

Berdasarkan hasil penelitian terbaru LPEM Ul periode Oktober 2017-Januari 2018, diketahui, tingkat inklusi layanan Laku Pandai mencapai 43% dan LKD mencapai 28%. 

Peningkatan jumlah pengguna LKD dan Laku Pandai secara signifikan, disebabkan peran agen yang semakin meningkat. Agen LKD meningkat dari 37 juta per 100 ribu penduduk dewasa pada 2015 menjadi 107 juta per 100 ribu penduduk dewasa pada 2017, atau meningkat sebesar 189,2%. 

Sementara itu, agen Laku Pandai meningkat lebih dari 22 kali lipat antara September 2015 sampai dengan September 2017. Dari sekitar 19.400 agen di September 2015, menjadi sekitar 428 ribu agen di September 2017. 

Peneliti Senior dari LPEM UI, Chaikal Nuryakin, mengatakan, biaya akses yang lebih rendah dibandingkan layanan keuangan bank dan non-bank, menjadi alasan masyarakat mengakses Laku Pandai. Kualitas layanan Laku Pandai juga dinilai lebih baik dibandingkan layanan keuangan non-bank dan non-formal.

Sementara, LKD dinilai unggul soal pelayanan dan keberhasilan transaksi dibandingkan dengan lembaga non-formal. 

“Akses terhadap Laku Pandai mendorong pertumbuhan kepemilikan rekening menjadi 25% dan LKD sekitar 5%. Agen Laku Pandai sebaiknya dibekali dengan sarana dan sistem pembukaan rekening sederhana. Masyarakat harus terus diimbau membuka rekening. Dengan begitu, pertumbuhan akses layanan inklusi keuangan itu sejalan dengan pertumbuhan pembukaan rekening baru,” ujar Chaikal, Selasa (10/4) di Jakarta. 

Penelitian dilakukan di 10 Provinsi dan 22 Kabupaten/Kota. Menyasar sekitar 1.038 responden. Terdiri atas 233 pengguna LKD, 448 pengguna Laku Pandai, dan 357 yang bukan pengguna layanan inklusi keuangan tersebut.

Provinsi yang menjadi wilayah studi meliputi Sumatera Utara, Riau, Bangka Belitung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Utara. 

Anggota Tim Peneliti LPEM Universitas Indonesia, Prani Sastiono, menambahkan, masih ada hambatan pertumbuhan inklusi keuangan melalui Laku Pandai dan LKD. Antara lain, responden masih belum mengetahui adanya Laku Pandai dan LKD. Responden lainnya menyatakan tidak membutuhkan layanan tersebut. 

Biaya yang lebih tinggi untuk penarikan dan pembayaran menyebabkan Laku Pandai kehilangan keunggulan. Bila dibandingkan layanan serupa yang disediakan lembaga non-bank dan non-formal. Responden beranggapan layanan Laku Pandai dan LKD, belum semudah dalam melakukan transaksi dibandingkan keuangan non-formal. 

Selain itu, cukup banyak responden yang tidak mampu memenuhi saldo minimal rekening Laku Pandai sebesar Rp 20.000 dan tidak bersedia membeli kartu LKD sebesar Rp 50.000. "Rata-rata willingnes to pay (wtp) dari kartu LKD untuk bukan pengguna hanya berkisar Rp5.000-8.000 dengan saldo minimal pertama antara Rp10.000 -28.000. Biaya top up sebesar Rp2.000 -2.500," ujar Prani.

Untuk itu, perlu dilakukan pemetaan lokasi dan sosialisasi di wilayah masyarakat yang belum banyak memiliki rekening bank. Daerah dengan jumlah kantor cabang bank, ATM, dan koperasi simpan pinjam serta jumlah rekening yang masih rendah sangat potensial menjadi lokasi sasaran agen Laku Pandai dan LKD. 

Dengan berbagai kendala yang masih dialami di daerah, diperlukan kehadiran Jaringan Agen Manager (Agent Network Management/AMM) dari setiap bank di setiap kecamatan. Sebagai upaya meningkatkan kemampuan literasi keuangan. Dengan begitu, semakin banyak agen-agen dan pengguna layanan inklusi keuangan yang tumbuh. 

Agen juga perlu diberikan insentif bila berhasil meningkatkan jumlah pemilik rekening masyarakat. Biaya dari berbagai layanan dibuka secara transparan kepada masyarakat. Sehingga tidak ada biaya-biaya tambahan yang memberatkan. Masyarakat juga diberi kesempatan mencoba menggunakan layanan Laku Pandai dan LKD melalui sosialisasi untuk meningkatkan kesadaran dan ketertarikan menggunakan layanan inklusi keuangan dan membuka rekening.

Pemerintah sendiri menargetkan inklusi keuangan di Indonesia mencapai 75% hingga akhir 2019. Pemerintah sudah menyiapkan strategi khusus untuk mencapai target tersebut. 

Di kesempatan yang sama, Deputi Direktur Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran Bank Indonesia, Rahmi Artati, menjelaskan Pemerintah memiliki lima program kerja (pokja). Lima pokja tersebut masing-masing dilakukan seluruh kementerian dan lemabaga secara integrasi. 

"Pertama edukasi oleh OJK. Termasuk penyaluran dana sosial non tunai. Kedua, hak properti masyarakat. Ketiga, properti masyarakat yang sudah sertifikasi tanah. Disitu diberikan akses keuangan yaitu tabungan. Ketiga, tentang saluran distribusi dan fasilitas intermediasi terkait LKD layanan laku pandai dan KUR. Keempat, layanan keuangan pemerintah, terkait penyaluran bantuan sosial. Kelima, perlindungan konsumen," terang Rahmi. 

img
Cantika Adinda Putri Noveria
Reporter
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan