Anggota Komisi XI DPR Misbakhun mengungkapkan, Lembaga Pengelola Investasi (LPI) yang baru saja dibentuk pemerintah, tidak berada di bawah pengawasan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Oleh karena itu, pengawasan lembaga baru ini harus diperketat. Agar tidak menimbulkan kerugian negara seperti kasus Jiwasraya, Asabri, atau BPJS Ketenagakerjaan. Apalagi LPI mendapatkan penyertaan modal negara (PMN) sebagai modal awal untuk menjalankan tugasnya.
Adapun saat ini dalam strukturnya, LPI hanya diawasi oleh dewan pengawas yang terdiri dari Menteri Keuangan dan Menteri BUMN, akuntan publik, dan Komisi XI DPR.
"LPI tidak diaudit oleh BPK, tetapi ada audit dari akuntan publik. Uangnya dari PMN. Itulah sebabnya ada pengawasan DPR. LPI menjadi mitra baru bagi Komisi XI," katanya dalam webinar, Rabu (31/3).
Pengawasan ketat harus dilakukan oleh Komisi XI DPR untuk menghindari terulangnya kasus yang terjadi pada lembaga investasi Malaysia, 1MDB. 1MDB pada mulanya dibentuk oleh Perdana Menteri Malaysia Nadjib Razak di 2009. Di mana Nadjib Razak juga duduk sebagai dewan penasihat di lembaga sofereign wealth fund (SWF).
1MDB ditugaskan untuk menstimulus perekonomian dengan menggenjot berbagai proyek infrastruktur strategis. Menggunakan dana cadangan devisa dari Bank Sentral Malaysia. Namun, belakangan otoritas hukum Malaysia mengungkap adanya praktik pencucian uang di lembaga tersebut. Di mana uang sebesar US$680 juta ditransfer ke rekening Najib Razak, dan menjerat kepala pemerintahan Malaysia tersebut dalam kasus hukum.
Belajar dari kasus itu, Misbhakun mengingatkan agar LPI tidak jatuh pada kubangan yang sama.
"Kasus ini tidak boleh terjadi di INA/LPI kita. Profesional yang ada di sana harus memikirkan hal itu. Penggunaan uang negara harus hati-hati," ujarnya.
Sebagai informasi, LPI telah diberi modal awal sebesar Rp75 triliun. Di mana Rp15 triliun telah disetor pada tahun lalu dan Rp15 triliun lainnya diberikan di tahun ini. Sementara dana lain sebesar Rp45 triliun akan diberikan dalam bentuk saham dari BUMN.