Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan terus mendesak Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti untuk merevisi larangan penjualan benih lobster.
"Sebenarnya kami hanya mau meluruskan saja, hanya satu saja yang kami minta untuk direvisi yaitu Pasal 7 PM 56/2016. Padahal sebenarnya kalau lobster diternak dengan baik, dikontrol dengan baik, tidak ada masalah. Jadi nelayan itu punya peluang untuk mengembangkan itu," ujar Menko Luhut di kantornya, Jakarta Pusat, Senin (8/4).
Saat ini, aturan tersebut tercantum dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan 56/2016 tentang Larangan Penangkapan dan/atau Pengeluaran Lobster, Kepiting dan Rajungan dari Wilayah Negara Republik Indonesia. Terutama untuk Pasal 7 yang mengatakan setiap orang dilarang menjual benih lobster untuk budidaya.
Sebelumnya, Rabu (3/4) dalam akun twitter resminya @susipudjiastuti menjelaskan alasannya melarang penjualan benih lobster sekaligus sebagai bentuk penolakan terhadap permintaan revisi pasal tersebut.
Susi menerangkan bahwa larangan yang diterapkan sudah sesuai dengan aturan yang berlaku di seluruh negara di dunia. Apalagi, negara masih memiliki keterbatasan dalam melakukan artificial breeding pada lobster.
Hal ini membuat benih lobster termasuk ke dalam kategori plasma nutfah atau kekayaan alam yang dilindungi untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan sains.
Sehingga, pengambilan apalagi penjualan SDA terkategori plasma nutfah sejatinya adalah bentuk pelanggaran paling keras.
"Di seluruh negara di dunia kebanyakan sudah mengkategorikan pengambilan plasma nutfah sebagai kegiatan subversi, artinya melanggar peraturan negara yang paling keras," ujar Susi.
Beleid larangan penangkapan dan penjualan lobster itu berlaku untuk lobster dengan berat di bawah 200 gram. Pasalnya, Susi hendak memastikan pasokan lobster tetap ada dan dipanen setelah nilainya sudah tinggi, yakni setelah melewati berat 200 gram tersebut.
Menurut Susi, jika bibit lobster diambil, maka Indonesia tidak akan memiliki lobster dengan ukuran besar. Padahal, dulu Indonesia bisa mengekspor puluhan ribu ton lobster.
“Sekarang tidak sampai seribu ton lobster besar. Jadi mohon stop pengambilan benur (benih lobster), jangan sampai lobster hilang dari laut Indonesia, seperti yang terjadi pada sidat dan sebagainya," kata Susi.
Selama ini, benih lobster dijual oleh penangkap dengan harga Rp10.000 hingga Rp30.000. Saat sampai di pengepul, harga naik menjadi Rp 100.000 dan bisa dihargai Rp 150.000 jika sudah sampai negara lain seperti Vietnam.
Padahal, kalau lobster telah menjadi besar dan berukuran di atas 8 ons, harganya bisa mencapai lebih dari Rp4 juta. Menurut Susi, hal ini kerap terjadi, lantaran ketidaktahuan masyakarat dan kurangnya ketegasan dari pemerintah sehingga ujung-ujungnya hanya merugikan negara dan masyarakat itu sendiri.
"Pada saat hari raya natal atau tahun baru China bahkan bisa lebih dari Rp5 juta harganya, yang kecil saja minimal ratusan ribu," tambah Susi.
Merespons hal itu, Menko Luhut tetap bersikeras bahwa hal tersebut dapat diperbaiki dengan pengawasan yang lebih ketat lagi ke depannya.
"Pasti ada saja kurangnya, tapi kenapa sih harus dilarang,” kata dia.
Perseteruan antara Luhut dan Susi terkait aturan benih lobster tersebut dimulai setelah Luhut menggelar rapat koordinasi bersama dengan pejabat Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terkait budidaya benih lobster di kantornya, Selasa (2/4) lalu.
Hasil rakor tersebut, Luhut menghendaki pengecualian terhadap benih lobster agar diperbolehkan untuk transaksi jual beli dengan tujuan khusus budidaya saja. Luhut saat itu menegaskan, meski meminta penjualan benih lobster diperbolehkan, akan tetapi transaksinya akan dibatasi pemerintah yaitu hanya boleh berlangsung jual beli di daerah tempat sumber penangkapan benih.
Selain itu, ia bahkan merencanakan pembangunan proyek percontohan budidaya lobster. Wilayah yang dimungkinkan menjadi target lokasi proyek percontohan tersebut di antaranya adalah kawasan selatan Kabupaten Sukabumi, yakni Pelabuhan Ratu dan Cisolok.