close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi. Pixabay
icon caption
Ilustrasi. Pixabay
Bisnis
Selasa, 30 April 2024 13:55

Potensi kerugian ekonomi akibat perubahan iklim

Isu perubahan iklim, sebagai ancaman terbesar di dunia modern.  Apalagi, risiko turunannya bisa mengancam kapan saja.
swipe

Sebuah Jurnal terbaru dari Potsdam Institute for Climate Impact Research, Jerman, membuat gambaran yang mengkhawatirkan tentang potensi kerugian ekonomi global akibat krisis iklim yang semakin parah. Menurut jurnal ilmiah berjudul "Komitmen Ekonomi terhadap Perubahan Iklim," dan disusun oleh tim peneliti terkemuka itu, kerusakan infrastruktur yang dipicu oleh perubahan cuaca ekstrem, kenaikan suhu, dan curah hujan yang meningkat bakal memotong pendapatan dunia sebesar 19% pada 2049.

Proyeksi dalam laporan tersebut, mengungkapkan bahwa kerugian ekonomi akibat krisis iklim diperkirakan mencapai US$38 triliun per tahun pada 2049. Angka ini, setara dengan sekitar Rp614.000 triliun. Sekaligus menggambarkan dampak serius yang mungkin dihadapi oleh negara-negara di seluruh dunia.

Di sisi lain, Bank Dunia juga telah menyoroti potensi kerugian ekonomi yang besar, jika tidak mengambil berbagai langkah untuk memitigasi perubahan iklim.  Di mana, Produk domestik bruto (PDB) global yang diperkirakan mencapai US$200 triliun pada 2050, bisa terancam oleh dampak krisis iklim yang tidak terkendali.

Yang lebih mencemaskan lagi, biaya untuk membatasi pemanasan global hingga 2 derajat celsius hanya sekitar US$6 triliun melalui transisi energi. Padahal, kerugian ekonomi akibat krisis iklim diperkirakan mencapai enam kali lipat dari biaya tersebut.

Tidak heran jika, Bank Dunia menyoroti urgensi untuk bertindak sekarang untuk mengurangi risiko dan kerugian masa depan. Dengan perubahan iklim yang semakin nyata dan dampaknya yang semakin terasa, tindakan global yang cepat dan efektif untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan memitigasi dampak yang tidak terelakkan, menjadi penting dilakukan.

Itulah sebabnya, pakar ilmu pengelolaan sumber daya pesisir dan lautan dari IPB, Yonvitner, menyoroti isu perubahan iklim, sebagai ancaman terbesar di dunia modern.  Apalagi, risiko turunannya bisa mengancam kapan saja. Selain itu, ia juga menggarisbawahi kebijakan pembangunan yang tidak tepat dapat memicu risiko besar bagi kawasan pesisir dan laut, seperti banjir rob dan land subsidence.

"Selain itu juga ada potensi kehilangan biodiversitas, kerentanan pulau, limbah plastik, kerentanan sumber daya ikan, risiko investasi dan berujung pada kemiskinan," kata Yonvitner pada pidato ilmiah yang dilansir di kanal YouTube IPB University.

Menurutnya, kebijakan pembangunan yang tidak tepat, juga berpotensi menghilangkan biodiversitas, kerentanan pulau, limbah plastik, kerentanan sumberdaya ikan, risiko investasi dan berujung pada kemiskinan.

Bahkan, Yonvitner memaparkan potensi kerugian ekonomi akibat perubahan iklim. Di mana, estimasi potensi nilai kerugian mencapai Rp110,4-Rp577 triliun hanya akibat perubahan iklim. Jika angka itu digabung dengan kerugian akibat kerusakan ekosistem, jumlahnya diperkirakan membengkak menjadi Rp4.328,4 triliun.

Kerusakan ekosistem pesisir dapat mencapai kerugian sebesar 31,7%, kerugian akibat bencana hidrometeorologi mencapai 30,8%, dan dampak kerugian pada kebutuhan dasar seperti air, energi, dan pangan mencapai 30,8% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) 2020 yang mencapai Rp15.434 triliun. 

Yonvitner juga menyampaikan dampak serius perubahan iklim pada ekosistem pesisir dan laut Indonesia. Menurutnya, perubahan iklim mengancam keberlanjutan mangrove, terumbu karang, dan padang lamun. Di mana, perubahan mangrove dapat mencapai 967.000 hingga 1.693.000 hektare, dengan perkiraan kerugian ekonomi antara Rp1.837,1 hingga Rp3.217,5 triliun. Angka ini, setara dengan 24,8% hingga 43,5% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.

Selain itu, kerusakan pada terumbu karang mencapai 377.679 hektare atau sekitar 15%, dengan dampak ekonomi diperkirakan mencapai Rp1.303,8 triliun. Padang lamun juga diperkirakan mengalami kerusakan sebesar 7%, dengan nilai kerugian estimasi sebesar Rp5,8 triliun.

Selain itu, peningkatan tinggi muka air laut dari 0,35 hingga 0,8 meter dapat menyebabkan dampak ekonomi sebesar Rp1,3 triliun per hektare setiap tahun pada lahan produktif. Di wilayah pesisir, setiap kenaikan 0,01 meter/tahun memiliki potensi kerugian ekonomi sebesar Rp6,1 triliun. Kejadian ekstrim yang mendorong banjir di pesisir, juga dapat menyebabkan kerugian ekonomi mencapai Rp424 miliar hingga Rp2,7 triliun.

Untuk itu, Yonvitner menekankan perlunya perhatian dari pemerintah terhadap kawasan pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil yang telah terbukti menjadi area yang rentan dan berisiko akibat perubahan iklim. Dia menyebut bahwa regulasi-regulasi yang ada seperti undang-undang, peraturan pemerintah, dan peraturan menteri telah ada sebagai dasar dalam pembangunan kawasan tersebut. 

Yonvitner juga membahas kekayaan biodiversitas alam yang dimiliki Indonesia. Sebagai negara kepulauan terbesar dengan 17.504 pulau yang dihubungkan oleh laut, 6,4 juta km² luas perairan, panjang garis pantai mencapai 108 ribu km², dan wilayah teritorial sebesar 290 ribu km², Indonesia memiliki kekuatan bangsa yang signifikan. Potensi sumber daya alam Indonesia mencakup 12 juta ton ikan per tahun, 293.000 hektare potensi lamun, 3,4 juta hektare mangrove, dan 2,52 juta hektare terumbu karang, dengan dugaan potensi ekonomi sebesar US$ 3,1 triliun dan sekitar 45 juta kesempatan kerja. 

“Pentingnya pengelolaan sumber daya pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil secara berbasis risiko sebagai solusi untuk mengatasi tantangan yang dihadapi. Diharapkan dengan pengetahuan dan upaya kolaboratif, dapat terwujud keberlanjutan ekonomi dan lingkungan di masa depan.” kata Yonvitner.

Sementara, Direktur Celios Bhima Yudhistira mengungkapkan, frekuensi bencana alam yang berkaitan dengan iklim, seperti banjir dan gempa bumi, mengancam sektor-sektor vital dan ekonomi global.

Dampak langsung dari perubahan iklim telah terasa dalam penurunan pendapatan sektor perikanan, perkebunan, dan industri manufaktur. Kurangnya stabilitas iklim juga mengganggu masa panen, menurunkan produktivitas lahan, merusak rantai pasokan. Serta menyebabkan penurunan pendapatan baik bagi masyarakat maupun pemerintah.

Untuk mengatasi tantangan ini, pemerintah dan sektor swasta diimbau untuk mengambil tindakan mitigasi dan adaptasi yang kuat. Strategi-strategi ini, termasuk patuh terhadap regulasi lingkungan yang lebih ketat, memperbaiki rantai pasokan, dan memodifikasi pola produksi untuk menjadi lebih ramah lingkungan.

Selain itu, edukasi dan kesadaran akan pentingnya memilih produk yang berkelanjutan dan ramah lingkungan juga diperlukan. Investasi yang lebih berfokus pada sektor-sektor yang berpotensi terkena dampak perubahan iklim, seperti energi terbarukan dan pengelolaan limbah, diharapkan dapat membawa perubahan positif dalam menghadapi krisis ini.

“Ada beberapa jenis strategi. Salah satunya, mulai mematuhi standardisasi peraturan lingkungan yang lebih ketat, memiliki standar Environmental, Social, and Governance (ESG). Juga melakukan retifikasi dari rantai pasoknya, mengubah pola produksi, membekali para pekerja sumber daya manusia (SDM) dengan keahlihan baru sehingga dapat beradaptasi terhadap perubahan iklim.” kata Bhima.

Kurangnnya kesadaran akan perubahan iklim di Indonesia, terutama di kalangan konsumen, perusahaan, dan UMKM, dinilai akibat masih minimnya edukasi soal persoalan tersebut. Untuk itu, pemerintah diminta untuk meningkatkan upaya edukasi dan kesadaran. Agar semua pihak dapat bersama-sama menghadapi tantangan yang dihadirkan oleh perubahan iklim demi keberlanjutan ekonomi global, tambah Bhima. 

Sementara ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda memperingatkan, perubahan iklim dapat mengancam keberlanjutan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) secara global. Meskipun dalam jangka pendek, adanya kerusakan alam akibat aktivitas ekonomi seperti pertambangan dapat meningkatkan PDB, namun hal ini berdampak negatif dalam jangka menengah dan panjang karena pertumbuhan yang tidak berkelanjutan. 

“Tindakan mitigasi harus diambil dengan cepat dan secara serius, karena perubahan iklim telah menjadi ancaman nyata bagi keberlanjutan ekonomi dan lingkungan.” kata Nailul.

Nailul juga menyoroti urgensi langkah-langkah mitigasi yang harus diambil oleh pemerintah untuk mencegah kerusakan lingkungan yang semakin mempercepat perubahan iklim. Salah satu langkah yang diusulkan adalah meningkatkan kesadaran akan penggunaan bahan bakar ramah lingkungan untuk listrik dan kegiatan produksi. Implementasi standar Environmental, Social, and Governance (ESG) dalam kegiatan produksi juga dianggap penting untuk menjaga keberlanjutan ekonomi.

Langkah besar dalam mengalihkan sumber energi dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) konvensional ke Pembangkit Listrik Tenaga Energi Terbarukan (PLT EBT) juga diperlukan. Komitmen serius dari pemerintah dibutuhkan untuk mempercepat peralihan ini guna mengurangi emisi gas rumah kaca dan memitigasi dampak perubahan iklim. Pengembangan energi ramah lingkungan juga harus melibatkan semua pihak, mulai dari pemerintah hingga tingkat desa, serta melibatkan semua stakeholders terkait. Langkah-langkah ini diharapkan dapat membawa perubahan signifikan dalam menjaga keberlanjutan pertumbuhan ekonomi Indonesia dan global.

img
Aldo Ariyanto
Reporter
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan