Makan siang gratis dan ancaman meroketnya inflasi serta utang negara
Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) masih terus merancang tata laksana program makan siang gratis yang digadang-gadang bakal dilaksanakan pada 2025. Dari hitungan Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, Drajad Wibowo, yang merancang program ini, makan siang dan susu gratis ditaksir memerlukan anggaran sekitar Rp450 triliun hingga 2029.
Meski begitu, dalam tahap awal, program unggulan pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden nomor urut 02 ini akan menyerap anggaran sekitar Rp100 triliun hingga Rp120 triliun. Duit ini seluruhnya bakal ditanggung oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025.
“Agar benar-benar keberlanjutan setelah pelantikan presiden itu bisa menggunakan RAPBN (2025) yang telah mengakomodasi program-program ikonik dari presiden terpilih,” kata Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa, dalam keterangan pers usai rapat paripurna yang membahas Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dan Kebijakan Fiskal tahun 2025, di Jakarta, Senin (26/2).
Meski anggaran program makan siang gratis seluruhnya ditanggung APBN 2025, namun Presiden Jokowi mengamanatkan para punggawanya untuk menjaga defisit APBN 2025 di kisaran 2,48% hingga 2,8% dari produk domestik bruto (PDB). Angka ini lebih besar dari defisit 2024 yang ditargetkan di angka 2,29% dari PDB.
Defisit makin lebar
Dengan alokasi program seluruhnya dari APBN 2025, Social Policy Officer The Prakarsa Darmawan Prasetya khawatir, kebijakan makan siang gratis justru akan memperlebar defisit di tahun depan. Apalagi, jika tidak ada tambahan anggaran khusus atau realokasi dana dari program lain, seperti bantuan sosial (bansos) yang sama-sama merupakan kebijakan populis.
“Programnya menelan biaya yang cukup besar, bahkan bisa dikatakan separuh dari anggaran bansos di eranya Jokowi di 2024. Dan yang perlu ditakutkan adalah kalau ini tidak menambah anggaran. Artinya, kalau ini tidak didapat dari realokasi budget lainnya, yang dihasilkan adalah defisit,” kata peneliti yang kerap disapa Awan itu, kepada Alinea.id, Rabu (28/2).
Terpisah, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menghitung, program makan siang gratis dapat membuat defisit membengkak di kisaran 3% hingga 3,2%. Hal ini diakibatkan oleh realokasi anggaran yang tidak signifikan dan perencanaan yang tak tepat.
Ketidaktepatan ini dapat terjadi apabila pemerintah menyunat anggaran bansos untuk menambal pembiayaan program makan siang gratis. “Ini tidak tepat karena pemerintah saat ini menggenjot dan menjaga ekonomi di tengah pelemahan harga komoditas dan lesunya ekonomi dunia, terutama mitra-mitra dagang Indonesia,” ujar Bhima, saat dihubungi Alinea.id, Rabu (28/2).
Kekhawatiran akan melonjaknya defisit APBN 2025 karena program makan siang gratis pun disuarakan pula oleh Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor Leste Satu Kahkonen. Dia bilang, pemerintah baru nanti seharusnya dapat merancang program berikut anggaran makan siang gratis dengan sangat matang.
Hal ini perlu dilakukan untuk menjaga agar defisit APBN tetap berada di bawah level 3%, seperti yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 17/2023 tentang Keuangan Negara.
“Kami harap Indonesia dapat mematuhi batas defisit fiskal 3% dari PDB yang ditentukan dalam undang-undang dan juga mempertahankan stabilitas makroekonomi dan stabilitas fiskal,” ujarnya, di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Selasa (27/2).
Bahan pangan terancam naik
Di balik defisit, ada potensi perebutan bahan pangan antara pemerintah untuk menyediakan makan siang gratis dengan masyarakat umum untuk mencukupi kebutuhan pangan hariannya. Mengingat masih semrawutnya tata kelola pangan nasional, kondisi itu dikhawatirkan dapat melambungkan harga bahan pangan jauh lebih tinggi lagi.
Saat ini saja harga-harga kebutuhan pokok, salah satunya beras masih bertahan di Rp15.850 per kilogram (kg) pada Rabu (28/2) per pukul 12.00 WIB, naik dari hari sebelumnya yang masih di kisaran Rp15.800 per kg. Selain beras, ada pula telur, ayam, minyak goreng, daging ayam, gula pasir, bawang merah, serta bawang putih yang masih bertahan di harga tinggi.
“Program makan siang gratis belum bisa menyasar seluruh komponen masyarakat. Di sisi lain, sebagian besar masyarakat masih harus beli kebutuhan pangan pokok mereka. Kalau terjadi perebutan, akan membuat harga-harga bahan pangan naik,” kata Bhima.
Harga bahan pangan yang naik tersebut pun akan sangat berpotensi untuk mengungkit tingkat inflasi, terutamanya dari komponen harga bahan pangan bergejolak alias volatile food. Padahal, sekarang saja tingkat inflasi volatile food sudah menjadi komponen utama penyumbang inflasi nasional.
Saat inflasi melonjak, praktis akan berdampak pada melemahnya daya beli masyarakat, khususnya dari golongan masyarakat menengah yang rentan miskin. Pada akhirnya, masyarakat golongan ini pun dikhawatirkan akan semakin rentan hingga bisa jadi masuk ke dalam golongan di bawahnya, kelompok miskin.
“Makanya pemerintah jangan sampai kehilangan fokus. Jangan sampai anggaran makan siang gratis membuat defisit melebar, karena kualitas anggaran kurang,” tegas Bhima.
Karena itu, alih-alih berambisi menerapkan program makan siang gratis, ada baiknya jika pemerintah menganggarkan dana program tersebut untuk memperkuat ketahanan pangan nasional. Ini juga menjadi opsi yang paling baik, di tengah ketidakpastian ekonomi global karena berbagai konflik geopolitik yang terjadi sekaligus resesi di berbagai negara mitra dagang Indonesia.
“Jangan sampai hanya demi program populis ini jadi mengganggu capaian indikator ekonomi kita yang lainnya,” imbuh dia.
Utang membengkak
Penganggaran makan siang gratis pun dikhawatirkan juga akan meningkatkan porsi utang Indonesia. Darmawan bilang, hal ini tidak lain disebabkan oleh defisit yang melebar. Sebab, saat defisit terungkit, pemerintah akan menambah jumlah utang untuk menutup defisit tersebut. Padahal, utang adalah instrumen yang buruk untuk menambal defisit APBN.
“Kalau realokasinya sudah tidak tepat di awal pelaksanaan, dampaknya akan terbawa terus ke tahun-tahun selanjutnya,” kata Dermawan.
Karenanya, menurutnya, sebaiknya pemerintah memperluas basis penerima bansos terlebih dulu agar tidak terjadi efek domino pada perekonomian nasional. Jangkauannya tak hanya masyarakat miskin, namun juga kepada masyarakat rentan miskin. Hal ini guna melindungi masyarakat golongan menengah agar tidak mudah terjatuh apabila terjadi goncangan.
“Kalau masyarakat golongan menengah sudah kuat dan punya bumper untuk melindungi diri mereka dari jatuh miskin, baru pemerintah bisa menerapkan program makan siang gratis ini. Tapi dengan catatan anggarannya tidak boleh diambil dari dana bansos,” ujarnya.
Sementara itu, Drajad, tim ahli dari TKN Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka menegaskan, program makan siang dan susu gratis akan dijalankan dengan tetap menerapkan disiplin fiskal yang kuat. Pada saat yang sama, Prabowo dan Gibran juga memasang target ambisius kenaikan ekonomi di kisaran 6% hingga 7%.
“Disiplin fiskal sangat mutlak. Karena itu harus ada terobosan penerimaan negara,” ujar Drajad, kepada Alinea.id, Selasa (27/2).