close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi sisa makanan. Foto Freepik.
icon caption
Ilustrasi sisa makanan. Foto Freepik.
Bisnis - Pangan
Kamis, 18 Juli 2024 18:00

Makanan terbuang Rp551 T, bagaimana pengelolaan food waste?

Indonesia menempati urutan pertama negara di ASEAN untuk urusan membuang makanan. Jumlah sampah makanan di Indonesia mencapai 20,94 juta ton.
swipe

Indonesia menempati urutan pertama negara di ASEAN untuk urusan membuang makanan. Dalam dokumen Peta Jalan Pengelolaan Susut dan Sisa Pangan Dalam Mendukung Pencapaian Ketahanan Pangan Menuju Indonesia Emas 2045 yang dikeluarkan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas), menunjukkan jumlah sampah makanan di Indonesia mencapai 20,94 juta ton pada tahun 2021.

Bappenas menemukan kerugian ekonomi yang muncul dari susut dan sisa pangan atau merujuk pada istilah yang lebih populer, yaitu food loss and waste ini amat besar. Nilai ekonomi makanan terbuang tersebut mencapai Rp551 triliun dalam setiap tahun atau mencapai 4% hingga 5% dari produk domestik bruto (PDB).

Adapun komoditas yang paling sering terbuang adalah beras. Kebutuhan beras atau jagung pada 2045 saja diperkirakan mencapai 42 juta ton. Dari jumlah itu, sebanyak 5,6 juta ton akan terbuang.

Sementara, DKI Jakarta tercatat menjadi provinsi yang paling banyak membuang makanan. Warga DKI Jakarta rata-rata menghasilkan 281.000 ton sampah makanan setiap tahun.

Upaya pengelolaan

Deputi Kerawanan Pangan dan Gizi Badan Pangan Nasional (Bapanas), Nyoto Suwignyo mengklaim telah melakukan sejumlah upaya pengelolaan susut dan sisa pangan (SSP). Salah satunya, penyelamatan pangan sebagai langkah strategis yang menghubungkan dengan upaya penanganan kerawanan pangan dan gizi. Caranya dengan memanfaatkan potensi pangan berlebih untuk disalurkan kepada masyarakat yang membutuhkan. 

Nyoto menjabarkan, sejak tahun 2022, pihaknya menggencarkan gerakan selamatkan pangan di sejumlah provinsi. Dimulai dari Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) pada 2022, dilanjutkan melibatkan 12 provinsi di 2023, dan 15 provinsi pada 2024. Sebagai aksi nyata, tujuh provinsi dan tujuh kabupaten telah mengeluarkan kebijakan daerah untuk mendukung terlaksananya gerakan selamatkan pangan ini melalui penetapan Instruksi maupun Surat Edaran Gubernur/Bupati/Wali kota.

“Secara global, upaya penyelamatan pangan merupakan langkah strategis yang menghubungkan upaya penanganan kerawanan pangan dan gizi dengan memanfaatkan potensi pangan berlebih untuk disalurkan kepada masyarakat yang membutuhkan,” katanya kepada Alinea.id, Rabu (17/7).

Sementara, Direktur Kewaspadaan Pangan dan Gizi Bapanas, Nita Yulianis mengaku, terdapat beberapa tantangan yang dihadapi dalam pengelolaan SSP. Seperti, tidak tersedianya regulasi untuk perlindungan hukum, kekhawatiran donatur bahwa pangan yang didonasikan akan diperjual-belikan, belum meluasnya kesadaran terkait pengelolaan SSP, pelabelan ‘best before’ dan ‘expired date’ pada kemasan makanan yang belum diterapkan secara terpisah di Indonesia, serta keterbatasan sarana, prasarana, dan sumber daya manusia.

Maka dari itu, kata Nita, solusinya perlu ada inovasi dan teknologi, kebijakan dan regulasi yang mendukung, pendekatan berbasis data dan pemantauan, keberlanjutan lingkungan dan ekonomi sirkular, pendekatan sistemik dan terintegrasi, partisipasi dan kolaborasi multisektor, serta peningkatan kapasitas dan edukasi.

Berdasarkan piramida hierarki upaya penyelamatan pangan, fokus utama diprioritaskan pemanfaatannya sebagai pangan, dengan aksi pada prioritas pertama mengarah pada upaya mencegah terjadinya susut dan sisa pangan. Selanjutnya sebagai prioritas kedua, yaitu pada tahapan mendonasikan pangan berlebih. 

“Sekiranya tidak bisa diselamatkan lagi, tentunya pada prioritas selanjutnya, yaitu pemanfaatan untuk pakan, industri, kompos, dan paling akhir ke TPA (tempat pembuangan akhir),” ujarnya.

Belum efektif

Pendiri Foodbank of Indonesia (FOI), Hendro Utomo menyebut, penanganan sampah makanan membutuhkan dana sebesar Rp300 triliun hingga Rp500 triliun. Jika upaya tersebut dilakukan sendiri dan tanpa adanya kerja sama dengan pihak lain, maka biaya yang harus dikeluarkan akan sangat mahal. 

Menurutnya, usaha untuk menekan kemubaziran pangan harus berujung pada diakhirinya kelaparan. Artinya, bisa membuka akses pangan bagi setiap warga terutama kaum rentan.

“Bagaimanapun biaya yang dikeluarkan memakai uang negara kan berasal dari pajak warga,” ujarnya, Selasa (16/7).

Hendro menilai, pemerintah baru sampai pada tahap edukasi pentingnya menekan kemubaziran pangan. Kebijakan bersifat regulasi baru dimulai di beberapa daerah dan sifatnya tidak mengikat. 

PR & Marketing Officer FoodCycle, Kukuh Napaki meyakini penyelesaian masalah sampah makanan tetap harus berjalan karena masalah yang ditimbulkan bukan hanya mubazir, namun bisa menelan korban jiwa. Dia mencontohkan tragedi persampahan di TPA Leuwigajah, Cimahi, Jawa Barat, 2005 lalu.

Diketahui akumulasi gas metan usai hujan mengguyur selama berhari-hari mengakibatkan terjadinya ledakan dan longsor. Longsoran sampah menimpa dua desa di Cimahi yakni Cilimus dan Pojok serta menewaskan 157 orang.

"Tragedi apa pun bisa terjadi ke depannya jika situasi terus berlanjut," tuturnya.

Sayangnya, meski pemerintah telah menjalankan kebijakan terkait food waste, tapi belum efektif. Dia menilai pemerintah pusat dan daerah hanya menyelesaikan masalah food waste dan loss di hilirnya, yakni pada saat makanan tersebut sudah menjadi sampah. 

Program-program seperti bank sampah di tingkat kelurahan hingga RT/RW merupakan salah satu contoh yang banyak dijumpai. "Namun hal tersebut belum efektif bila tidak menyelesaikan permasalahan di hulunya, yakni para pelaku industri makanan yang menjadi penyumbang food waste terbesar," lanjutnya. 

Menurutnya, perlu penegakan aturan terkait pelabelan expired dan best before date hingga pemberian insentif pajak. Hal itu disebut akan mendorong para pelaku industri makanan dan konsumennya mengurangi food waste.

"Strategi serupa dapat diterapkan juga dalam program makan bergizi gratis. Dengan menyinergikan para pelaku industri dan demand yang ada, makanan yang berlebih tersebut dapat diserap dalam program makan bergizi gratis," tuturnya. 

img
Immanuel Christian
Reporter
img
Satriani Ari Wulan
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan